Sebaik-baik Kalian adalah yang Belajar Al-Qur'an dan Mengamalkannya

Rabu, 02 Maret 2016

Takhrij Hadis Bukhori 5651


HADIST BUKHARI 5651

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Marah merupakan suatu emosi penting yang mempunyai fungsi esensial bagi kehidupan manusia, yakni membantunya dalam menjaga dirinya. Pada waktu seseorang sedang marah, energinya guna melakukan upaya fisik yang keras semakin meningkat. Ini memungkinkannya untuk mempertahankan diri atau menaklukkan segala hambatan yang menghadang di jalan dalam upayanya untuk merealisasikan tujuan-tujuannya.[1]
Marah dikeluarkan oleh kesombongan yang tersembunyi di bagian paling dalam di dalam hati setiap orang garang dan keras kepala. Di antara produk kemarahan adalah iri dan dengki. Pangkalan keduanya pada segumpal daging, jika dia baik, maka baik pula sekujur tubuh. Jika kedengkian, rasa iri, dan amarah adalah di antara pemyebab yang menggiring hamba ke kawasan kebinasaan, maka alangkah dia sangat membutuhkan pengetahuan tentang kebinasaan dan keburukan-keburukannya agar waspada menghadapi semua itu, menjagainya, membuangnya dari lubuk hati jika memang ada dan meniadakannya.[2] Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr yaitu Ibnu Ayyasy dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?" beliau bersabda: "Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda: "Janganlah kamu marah." (HR. Bukhari No. 5651)
Marah adalah emosi yang paling sering muncul dalam pembicaraan sehari-hari karena masyarakat umumnya mengidentikkan istilah emosi dengan marah. Dalam perspektif psikologi, memendam amarah bsa menimbulkan kegoncangan mental. Menarik untuk disimak bahwa ketika membahas emosi, para ahli tidak memulainya dengan definisi yang lazim, pembahasan tentang emosi biasanya diawali dengan contoh-contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari yang nyata dirasakan, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian.
Sesuai dengan fakta yang ada bahwa, pada hakikatnya setiap orang mempunyai kadar kecerdasan dan kecenderungan emosi yang berbeda satu sama lain. Karena mulai bangun tidur di pagi hari hingga menjelang tidur pada malam harinya, setiap orang mengalami berbagai pengalaman yang menimbulkan berbagai emosi. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba menganalisispemahaman hadits Bukhari no.5651 tentang mewaspadai marah.

B. Rumusan Masalah
a.       Bagaimana Kritik Historis Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651?
b.      Bagaimana Kajian linguistik Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651?
c.       Bagaimana Kajian tematis komprehensif Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651?
d.      Bagaimana Kajian konfirmatif Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651?
e.       Bagaimana Analisis  Realitas Historis Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651?

B. Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui Kritik Historis Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651.
b.      Mengetahui Kajian linguistik Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651.
c.       Mengetahui Kajian tematis komprehensif Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651.
d.      Mengetahui Kajian konfirmatif Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651.
e.       Mengetahui Analisis  Realitas Historis Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Takhrij Al-Hadits
1.      Teks Hadits tentang Marah (Ghadab)
Marah (Ghadab) adalah sikap emosi karena adanya pendapat yang bertentangan dengan kemauannya. Marah juga berarti suatu kondisi kejiwaan seseorang yang tidak senang terhadap sesuatu, karena tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Terkait dengan marah, dalam kitab Shahih Bukhari, kitab Adab Bab Mewaspadai marah (الحذر من الغضب) no. 5651 disebutkan hadits tentang wasiat Rasulullah kepada para sahabatnya untuk jangan marah (Ghadab).Teks Hadits tersebut yaitu:
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr yaitu Ibnu Ayyasy dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?" beliau bersabda: "Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda: "Janganlah kamu marah." (HR. Bukhari: 5651)

2. Takhrij Al-Hadits
Para ahli hadis sepakat bahwa penelitian sanad merupakan bagian penting dalam rangka penelitian hadis, disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya: hadis sebagai sumber ajaran Islam, hadis tidak seluruhnya tertulis pada masa Nabi saw. hidup, munculnya pemalsuan hadis, dan proses perhimpunan hadis yang dikenal dengan tadwin.[3]
Dalam penelitin hadis diperlukan acuan, yaitu kesahihan hadis, salah seorang ulama’ hadis merumuskan kaedah kesahihan hadis. Beliau adalah Abu Usman bin ‘Abdurrahman bin al-Salah. Rumusan yang dikemukakannya adalah: “hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘adil dan dhabit sampai akhir sanad serta tidak terdapat syaz (kejanggalan) dan ‘illat (cacat)”.[4]
Sedangkan kegiatan awal dari penelitian hadis ialah Takhrij al-Hadis (mengeluarkan hadis untuk dikaji) dari sudut bahasa, berarti berkumpulnya dua hal yang bertentangan dalam satu persoalan. Kata takhrij juga memiliki beberapa arti lain yaitu : al-Istinbath atau mengeluarkan dari sumbernya, al-Tadrib atau latihan, al-Taujih atau pengarahan, menjelaskan duduk persoalan.[5]
Takhrij al-Hadist bisa dilakukan dengan dua macam cara, Pertama, Takhrij al-Hadis Bi al-Lafdh, yaitu upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menelusuri lafadz-lafadz dari hadis yang dicari. Kedua, Takhrij al-Hadis Bi al-Maudhu’, yaitu upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang dibahas oleh sejumlah matan hadis.[6] Sedangkan penelitian ini menggunkan metode Takhrij al-Hadis Bi al-Lafdh, menggunakan softwere Mau’suah dan Lidwa yang mampu mengakses sembilan kitab sumber primer hadis.
Langkah pertama yang lakukan penulis untuk menemukan hadits riwayat Bukhari nomor 5651  adalah melakukan takhrij hadits dengan metode al-bahts al-sharfi dengan kata kunci لَا تَغْضَبْ. Dari pelacakan yang penulis lakukan melalui software Lidwa 9 Imam dengan menggunakan kalimat tersebut, maka ditemukan 10 buah Hadits tentang wasiat Nabi Janganlah kamu marah. Adapun Hadits Hadits tersebut dalam al-Kutub al-Tis’ah adalah dalam riwayat Imam Bukhari sebanyak 1 Hadits, Sunan al-Tirmidzi sebanyak 1 Hadits, Muwattho' Malik sebanyak 1 Hadits, Musnad Ahmad sebanyak 7 Hadits. Adapun secara rinci terdapat dalam tabel sebagai berikut:
No
Sumber
Kitab
Bab
No. Hadits
1
Imam Bukhari
Adab
Mewaspadai Marah
(الحذر من الغضب)
5651
2.
Sunan al-Tirmidzi
Berbakti dan menyambung silaturrahim
Mudah marah dan emosi
(ما جاء في كثرة الغضب)
1943
3
Muwattho' Malik
Lain-lain
Marah (ما جاء في الغضب)
1408
4
Musnad Ahmad
Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
Musnad Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash Radliyallahu ta'ala 'anhuma
)مسند عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله تعالى عنهما(
6346


Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
Musnad Abu Hurairah Radliyallahu '
)مسند أبي هريرة رضي الله عنه(
8389


Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu
)مسند أبي هريرة رضي الله عه(
9630

Musnad penduduk Makkah
Hadits Jariyah bin Qudamah Radliyallahu ta'ala 'anhu
)حديث جارية بن قدامة رضي الله تعالى عنه(
15398

Sisa musnad sahabat Anshar
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
)أحاديث رجال من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم(
22056

Sisa musnad sahabat Anshar
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
)أحاديث رجال من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم(
22081

Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam
)أحاديث رجال من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم(

22088

Periwayatan Hadits tersebut satu sama lain terkadang memiliki  perbedaan  sanad, namun matan sama, maka wasiat Nabi jangan kamu marah  yang terdapat pada dalam Shahih Bukhari terkadang terdapat dalam Hadits Riwayat lainnya. Penulis akan menyuguhkan hadits-hadits dari masing-masing kitab al-Kutub al-Tis’ah berikut:
a. Hadits Riwayat Imam Bukhari
حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr yaitu Ibnu Ayyasy dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?" beliau bersabda: "Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda: "Janganlah kamu marah." (HR.Bukhari:5651)

b. Hadits Riwayat Sunan al-Tirmidzi
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلِّمْنِي شَيْئًا وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعِيهِ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ ذَلِكَ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَأَبُو حَصِينٍ اسْمُهُ عُثْمَانُ بْنُ عَاصِمٍ الْأَسَدِيُّ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ayyasy dari Abu Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia berkata; Seorang laki-laki menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata, "Ajarkanlah sesuatu kepadaku, namun jangan engkau memperbanyaknya, sehingga aku mudah untuk mengingatnya." Maka beliau pun bersabda: "Janganlah kamu marah." Lalu beliau mengulang-ngulang ungkapan itu. Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abu Sa'id dan Sulaiman bin Shurd. Dan hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib bila ditinjau dari jalur ini.” (HR.At-Tirmidzi:1943)

c. Hadits Riwayat Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا دَرَّاجٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا يُبَاعِدُنِي مِنْ غَضَبِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah telah menceritakan kepada kami Darroj dari Abdurrahman bin Jubair dari Abdullah bin 'Amru, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Aliahi Wasallam: "Apa yang dapat menjauhkanku dari murka Allah Azza wa Jalla?" Beliau menjawab: "Janganlah kamu marah." (HR.Ahmad: 6346)

وَبِإِسْنَادِهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ حَتَّى أَعْقِلَهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَأَعَادَ عَلَيْهِ قَالَ لَا تَغْضَب
Artinya: “Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya dan dengan sanadnya, dari Abu Hurairah berkata; Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Perintahkanlah kepadaku dengan suatu perkara dan jangan engkau perbanyak sehingga aku lakukan, " beliau bersabda: "Janganlah kamu marah, " beliau ulangi dan ulangi lagi untuknya, "Janganlah kamu marah." (HR.Ahmad:8389)

حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ وَإِسْرَائِيلُ كِلَاهُمَا عَنِ أَبِي حَصِينٍ عَنِ أَبِي صَالِحٍ عَنِ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ فَمَرَّ أَوْ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ فَرَدَّدَ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَرْجِعُ فَيَقُولُ لَا تَغْضَب
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Aswad bin 'Amir berkata; telah mengabarkan kepada kami Abu Bakr dan Isra'il keduanya meriwayatkan dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah berkata; Seseorang datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Perintah sesuatu kepadaku!" beliau bersabda: "Janganlah engkau marah, " Abu Hurairah berkata; "Kemudian ia pergi dan kembali lagi seraya berkata; "Perintah sesuatu kepadaku!" beliau bersabda: "Janganlah engkau marah, " Abu Hurairah berkata; "Setiap kali orang itu kembali beliau mengulanginya lagi, beliau bersabda: "Janganlah engkau marah." (HR.Ahmad:9630)

قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي ابْنَ عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَمٍّ لَهُ يُقَالُ لَهُ جَارِيَةُ بْنُ قُدَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَأَعَادَ عَلَيْهِ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَغْضَبْ قَالَ يَحْيَى كَذَا قَالَ هِشَامٌ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ يَقُولُونَ لَمْ يُدْرِكْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
             Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Hisyam yaitu Ibnu 'Urwah, berkata; telah mengabarkan kepadaku bapakku dari Al Ahnaf bin Qais dari salah seorang pamannya yang bernama Jariyah bin Qudamah, Ada seorang laki-laki berkata kepadanya, Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan dan ringankanlah itu supaya saya dapat memahaminya?. lalu beliau bersabda: "Janganlah kamu marah", beliau mengulanginya berkali-kali, semuanya berbunyi, "Janganlah kamu marah". Yazid berkata; begini. Hisyam berkata; Wahai Rasulullah. Mereka berkata dia tidak mengetahui Nabi Shallallahu'alaihiwasallam.” (HR.Ahmad: 15398)

حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ عَمٍّ لِي قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ فَعُدْتُ لَهُ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَعُودُ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَغْضَب
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah mengabarkan kepada kami Ibnu Abi Az Zinad dari ayahnya dari 'Urwah dari Al Ahnaf bin Qais berkata; Telah mengabarkan kepadaku keponakanku, ia berkata; Aku berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam: Wahai Rasulullah! Sampaikanlah suatu perkataan padaku dan peringkaslah mudah-mudahan aku memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Jangan marah." Lalu aku mengulanginya berkali-kali, semuanya dibalas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam dengan sabda: "Jangan marah." (HR.Ahmad:22056)

حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَمٍّ لَهُ أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُلْ لِي قَوْلًا يَنْفَعُنِي وَأَقْلِلْ لَعَلِّي أَعِيهِ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَعَادَ لَهُ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يُرْجِعُ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَغْضَبْ
 Artinya: “Telah menceritakan kepada kami AbuKamil telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Al Ahnaf bin Qais dari pamannya bahwa ia mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam lalu berkata; Wahai Rasulullah! Sampaikanlah suatu perkataan yang berguna bagiku dan peringkaslah mudah-mudahan aku memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Jangan marah." Lalu aku mengulanginya berkali-kali, semuanya dibalas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam dengan sabda: "Jangan marah." (HR.Ahmad:22081)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ قَالَ الرَّجُلُ فَفَكَّرْتُ حِينَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ فَإِذَا الْغَضَبُ يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Razzaq telah mengabarkan kepada kami Ma'mar dari Az Zuhri dari Humaid bin 'Abdur Rahman dari seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam berkata; Wahai Rasulullah! Berwasiatlah padaku. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Jangan marah." Orang itu berkata; Lalu aku berfikir saat Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam mengucapkan sabda itu, ternyata marah menyatukan seluruh keburukan.” (HR.Ahmad: 22088)

B. I’tibar Sanad
Al-I’tibar, menurut bahasa merupakan mashdar dari kata ‘itabara, yang berarti memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain yang sejenis.
Menurut istilah yaitu menelusuri jalur-jalur hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain yang beresekutu dalam riwayatnya, ataukah tidak.
[7]
Adapun I’tibar sanad hadits riwayat Bukhari Nomor. 5651 dapat dilihat secara rinci dalam skema berikut:
 













C. Kritik Historis
            Dari sekian banyak jalur periwayatan Hadits yang disuguhkan di atas, tidak tampak adanya pertentangan di antara satu Hadits dengan Hadits lainnya, semua menyatakan bahwa Rasulullah berwasiat untuk “jangan marah”.
Dengan demikian peneliti sebelum memberikan kajian pemaknaan terhadap matan Hadits, mencoba untuk mengungkap sedikit tentang kredibilitas periwayat hadits dari berbagai runtutan sanadnya secara sekilas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kredibilitas  perawi sehingga bisa disimpulkan bahwa Hadits tersebut Shahih atau Dhaif. Penelitian Sanad penulis fokuskan pada riwayat Imam Bukhari nomor 5651 dari jalur Abu Hurairah. Adapun jalur Hadits tersebut dimulai dari Abu Hurairah kemudian teruskan kepada Abu Shalih, Abu Al Hashin, Abu Bakar, Abu Yusuf, terakhir mukhrij hadits ini Imam Bukhari. Adapun skema sanad hadis tersebut sebagai berikut :

a. Abu Hurairah
Menurut pendapat mayoritas, nama beliau adalah 'Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu Syams, dan ada pula yang berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah (inilah yang masyhur) atau Abu Hir, karena memiliki seekor kucing kecil yang selalu diajaknya bermain-main pada siang hari atau saat menggembalakan kambing-kambing milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau simpan di atas pohon pada malam harinya. Tersebut dalam Shahihul Bukhari, bahwa Nabi pernah memanggilnya, “Wahai, Abu Hir”.[8] Beliau lahir di Madinah,wafat juga di Madinah pada tahun 58 H.
Guru-gurunya antara lain: Rasulullah saw, Abu bin Ka’ab bin Qais, Basrah bin Abu Basrah, Hasan bin Sabit bin Munzir, Sa’id bin Malik bin Sunan bin ‘Ubaid, ‘Aisyah Binti Abu Bakr al-Siddiq, Usman bin ‘Affan bin Ibn al-Asi bin Amiyah,’Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muthallib bin Hasyim bin Abu Manaf, Umar bin Nufail dan lain-lain. Sedangkan mereka yang berguru kepadanya, antara lain: Abdu al-Rahman bin Ya’qub, ‘Ata’ bin Yazid, Amru bin Aswad, Malik bin ‘Abdu Amir, al-Mugirah bin Hakim, Yahya bin Abu Thalib, Halal bin Yazid, Abu Salih dan lain-lain.[9]
Para Ulama hadis sepakat bahwa kesiqahan Abu Hurairah tidak diragukan lagi, beliau adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam Musnad Baqiy bin Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Di antara yang meriwayatkan hadist darinya adalah Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain. Imam Bukhari pernah berkata: "Tercatat lebih dari 800 orang perawi hadits dari kalangan sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah".
Marwan bin Hakam pernah menguji tingkat hafalan Abu Hurairah terhadap hadits Nabi. Marwan memintanya untuk menyebutkan beberapa hadits, dan sekretaris Marwan mencatatnya. Setahun kemudian, Marwan memanggilnya lagi dan Abu Hurairah pun menyebutkan semua hadits yang pernah ia sampaikan tahun sebelumnya, tanpa tertinggal satu huruf.

b.Abu Shalih
Nama aslinya adalah Dzakwan, tabaqahnya termasuk al-Wustha Min al-Tabi’in, nasabnya al-Saman al-Ziyat, memiliki Kunyah Abu Salih. Ia lahir di Madinah dan wafat juga di Madinah pada tahun 101 H. Guru-gurunya antara lain, Ibrahim bin Abdillah bin Qaridz, Ishaq Maula Zaidah, Jabir bin Abdillah bin ‘Amr bin Haram, Zaid bin Khalid, Zaid bin al-Shamit, Sa’id bin Tharif, Sa’id bin Jubair bin Hisyam, ‘Aisyah Binti Abu Bakar, al-(Abu Abdu al-Rahman bin Sakhr (Abu Hurairah) dan lain-lain. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Ibrahim bin Abi Maimunah, Azraq bin Qais, Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Talhah Zaid Bi Sahl, Bakir bin Abdillah bin al-Asyaj, Habib bin Abi Sabit Qais bin Dinar, al-Hakam bin ‘Utaibah, Zaid bin Aslam, Sulaiman bin Mahran, Sulaiman bin Yasar, Abdullah bin Dinar Maula Ibn ‘Umar dan lain-lain.
Pendapat ‘ulama hadis tentang beliau, Ahmad bin Hanbal mengatakan tsiqat, Yahya bin Mu’in juga mengatakan tsiqah, Abu Hatim al-Razi berpendapat Siqah salih al-Hadis.[10] Kredibilitasya sebagai periwayat dapat diterima oleh ahli hadis. Sanadnya kepada Abu Hurairah bersambung karena adanya hubungan guru dan murid.
c. Abu Al Hashain
Utsman bin 'Ashim bin Hushain Al Kufi (wafat 127H), dikenal dengan Abu Hushain, seorang tabi'in dari Kufah. Beliau seorang imam dan al hafidz. Kealimannya disegani para ulama tabi'in. Beliau juga dikenal dengan sikap wara'-nya. Pernah sebagian pejabat menghadiahi beliau 2000 dirham ketika beliau sedang mencari nafkah, namun hadiah tersebut ditolak. Ketika muridnya bertanya alasannya, beliau menjawab "karena malu dan menjaga kemuliaan".
Pendapat ‘ulama tentang beliau Adz Dzahabi tsiqah tsabat, Yahya bin Ma'in, Abu Hatim tsiqah, An Nasa'I berpendapat tsiqah, Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats tsiqaat, dan Ibnu Hajar tsiqah tsabat.[11] Maka semua berpendapat tsiqah. Tidak ada salah satu pun dari kritikus hadis yang mencelanya, oleh karena itu kredibilitas beliau sebagai periwayat dapat diterima,
d. Syu'bah bin Ayyasy 
Abu Bakr Syu'bah bin Ayyasy bin Salim al-Hannath al-Asadi an-Nahsyali al-Kufi , atau lebih dikenal sebagai Syu'bah bin Ayyasy. Lahir pada tahun 95 H, wafat pada Jumadil awal 193 H. Beliau adalah seorang ulama dibidang Qira'at al-Qur'an. Ia merupakan perawi qira'at Ashim al-Kufi. Pendapat ‘ulama beliau Tsiqah.[12]
e. Abu Yusuf
Nama Lengkap beliau adalah Yahya bin Yusuf bin Abi Karimah. Atau dikenal Abu Yusuf. Beliau merupakan Kalangan Tabi'ul Atba' kalangan tua. Negeri semasa hidup di Baghdad dan wafat pada tahun 225 H.
Pendapat ‘ulama tentang beliau Abu Zur'ah, Ibnu Qani', Ibnu Hajar al 'Asqalani berpendapat Tsiqah.[13]


f. Imam Bukhari
Nama lengkap  Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah. Kuniyah beliau Abu Abdullah. Beliau dilahirkan pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at 13 Syawwal 194 H di Bukhara. Kecerdasan dan kejeniusan Bukhari nampak semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, sedikit sekali orang yang memiliki kelebihan seperti dirinya pada zamannya tersebut.
Imam Bukhari berjumpa dengan sekelompk kalangan atba'ut tabi'in muda, dan beliau meriwayatkan hadits dari mereka, sebagaimana beliau juga meriwayatkan dengan jumlah yang sangat besar dari kalangan selain mereka. Dalam masalah ini beliau bertutur; ' aku telah menulis dari sekitar seribu delapan puluh jiwa yang semuanya dari kalangan ahlul hadits. Guru-guru imam Bukhari terkemuka yang telah beliau riwayatkan haditsnya; Abu 'Ashim An Nabil, Makki bin Ibrahim, Muhammad bin 'Isa bin Ath Thabba', Ubaidullah bin Musa, Muhammad bin Salam Al Baikandi, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Manshur, Khallad bin Yahya bin Shafwan, Ayyub bin Sulaiman bin Bilal, Ahmad bin Isykab, dan masih banyak lagi.
Sangat banyak sekali para ulama yang memberikan kesaksian atas keilmuan imam Bukhari, diantara mereka ada yang dari kalangan guru-gurunya dan teman-teman seperiode dengannya. Adapun periode setelah meninggalnya bukhari sampai saat ini, kedudukan imam Bukhari selalu bersemayam di dalam relung hati kaum muslimin, baik yang berkecimpung dalam masalah hadits, bahkan dari kalangan awwam kaum muslimin sekali pun memberikan persaksian atas keagungan beliau.
 Diantara para tokoh ulama yang memberikan persaksian terhadap beliau adalah;
1)      Abu Bakar ibnu Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang lebih mengetahui hadits dari Muhammad bin Isma'il."
2)      'Abdan bin 'Utsman Al Marwazi berkata; 'aku tidak pernah melihat dengan kedua mataku, seorang pemuda yang lebih mendapat bashirah dari pemuda ini.' Saat itu telunjuknya diarahkan kepada Bukhari
3)      Qutaibah bin Sa'id menuturkan; 'aku duduk bermajelis dengan para ahli fikih, orang-orang zuhud dan ahli ibadah, tetapi aku tidak pernah melihat semenjak aku dapat mencerna ilmu orng yang seperti Muhammad bin Isma'il. Dia adalah sosok pada zamannya seperti 'Umar di kalangan para sahabat. Dan dia berkata; ' kalau seandainya Muhammad bin Isma'il adalah seorang sahabat maka dia merupakan ayat.
4)      Ahmad bin Hambal berkata; Khurasan tidak pernah melahirkan orang yang seperti Muhammad bin Isma'il.
5)      Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair menuturkan; kami tidak pernah melihat orang yang seperti Muhammad bin Ism'ail
6)      Bundar berkata; belum ada seorang lelaki yang memasuki Bashrah lebih mengetahui terhadap hadits dari saudara kami Abu Abdillah.
7)      Abu Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il, juga belum pernah ada orang yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya."
8)      Muslim (pengarang kitab Sahih) berkata ketika Bukhari menyingkap satu cacat hadits yang tidak di ketahuinya; "Biarkan saya mencium kedua kaki anda, wahai gurunya para guru dan pemimpin para ahli hadits, dan dokter hadits dalam masalah ilat hadits."
9)      al-Hafiz Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan nafas. Ia bagaikan lautan tak bertepi."
Bedasrkan data-data yang dijelaskan di atas bahwa, hadits riwayat Bukhari nomor 5651 memiliki banyak sanad, namun demikian, hadits tersebut bukan merupakan hadits mutawatir, melainkan hadits Gharib,hal itu sesuai dengan  hadis bukhori no 5651 yang kriteria hadisnya masuk hadis gharib karena jalur sanadnya hanya satu jalur sanad saja. Setelah sanad diteliti, seluruh periwayat bersifat Tsiqah Hafidz dan Tsiqah, sanadnya bersambung, terhindar dari syuyz dan illat, maka natijah (penilaian) yang diberikan, bahwa sanad Hadits Imam Bukhari nomor 5651 tentang mewaspadai marah ini berkualitas shahih.

3. Kajian Linguistik
Kajian linguistik dibutuhkan sebagai usaha memahami perbedaan-perbedaan lafadz yang ditemukan di antara hadis-hadis yang semakna, ini dikarenakan banyaknya matan hadis tersusun dengan lafadz yang berbeda apabila disandingkan dengan matan hadis lain yang sama kualitasnya, serta dalam satu tema kajian. Tentunya hal tersebut disebabkan adanya periwayatan hadis secara makna.
Mengingat bahasa yang digunakan hadis adalah bahasa Arab yang memerlukan ketelitian dalam memaknai dan memahaminya, maka kajian linguistik ini akan menyajikan makna (arti) kata-kata dengan rujukan kamus-kamus arab dan yang berkaitan dengan tata bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf). Misalnya bentuk kata kerja, kata benda, bentuk amr atau nahy, atau membedakan makna hakiki dengan makna majazi, makna ‘am atau khas dan sebagainya. Kajian linguistik ini di antaranya menyangkut bentuk kata dan arti itu sendiri.[14]
Jika dilihat matan hadis riwayat Bukhari Nomor 5651 maka dapat ditemukan kata-kata kunci yang mempengaruhi pemaknaan hadis. Kata-kata kunci tersebut antara lain:
أَوْصِنِي               : fiil amr mabni sukun, dan bersambung dengan ya’ mutakallim.
لَا تَغْضَبْ            : La nahyi dimana fungsinya menjajemkan (mensukunkan fiil setelahnya) mabni sukun
تَغْضَبْ                           : fiil mudhari yang jajem karna la nahyi mabni sukun, ta’ itu domir yang bersambung
فَرَدَّدَ                               : fiil madi yang berharokat/ mabnifathah, fail nya ar-rajul , maf’ul : al-qaul (perkataan) yang tersembunyi
قَالَ                    : fiilmadimabni fathah, failnya rajul
لَا تَغْضَبْ            : La nahyi dimana fungsinya menjajemkan (mensukun kan fiil setelahnya) mabni sukun. Jumlah لَا تَغْضَبْ merupakan maf’ul dari قَالَ.
            Dilihat dari sisi sematiknya Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651 dapat dijelaskan sebagai berikut:
فَرَدَّدَ مِرَارًا (beliau mengulang berulang kali). Maksudnya, dia mengulang pertanyaannya untuk mencari yang lebih bermanfaat atau lebih umum, tetapi beliau tidak melebihkan dari wasiat tersebut.[15]
قَالَ لَا تَغْضَبْ (beliau bersabda,”jangan marah”). Dalam riwayat Abu Kuraib disebutkan كل ذلك يقول (setiap kali itu beliau mengatakan,”jangan marah”). Dalamriwayat Utsman bin Abi syaibah disebutkan, ث مراتلاتغضب ثلا (jangan marah [tiga kali]). Di sini disebutkan jumlah pengulangan tersebut pada pembahasan terdahulu telah dikutip hadits Annas bahwa beliau SAW biasa mengulang perkataan hingga tiga kali agar dapat dipahami dengan baik dan beliau tidak ditanya kembali setelah mengucapkannya tiga kali.[16]
Al-khaththabi berkata, makna sabda Rasulullah,”jangan Marah” adalah jauhi sebab-sebab yang menimbulkan kemarahan dan jangan mendekati hal-hal yang mengarah kepadanya. Adapun emosi tidak termasuk dalam larangan, karena ia merupakan naluri yang tidak hilang dari tabiat seseorang. Ulama selainnya berkata, apa yang termasuk tabiat hewani, maka tidak mungkin ditolak. oleh karena itu, ia tidak termasuk dalam larangan, karena hal itu termasuk membebani sesuatu yang mustahil. Sedangkan apa yang termasuk sesuatu yang diusahakan dengan latihan, maka inilah yang dimaksut larangan itu. Dikatakan maknanya “jangan marah”, karena penyebab kemarahan adalah sikap angkuh, dan itu terjadi saat terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, maka keangkuhan itu mendorongnya untuk marah. Orang yang bersikap rendah hati, maka akan selamat daripada buruknya kemarahan. Menurut sebagian, maknanya adalah “jangan melakukan apa yang menyuruhmu marah”.[17]
Ibnu baththal berkata, melawan jiwa lebih sulit dari pada melawan musuh, karena NabiSAW menjadikan orang yang menguasai dirinya ketika marah sebagai orang yang kuat. Ulama selainnya berkata,”barangkali yang bertanya itu adalah seorang pemarah. Sementara Nabi SAW memerintahkan setiap orang apa yang lebih utama baginya. Oleh karena itu, beliau cukup berwasiat kepadanya untuk tidak marah.[18]
Ibnu At-Tin berkata, “Nabi SAW telah mengumpulkan dalam sabdanya, “jangan marah” kebaikan dunia dan akhirat, sebab marah dapat menyebabkan sikap saling memutuskan hubungan dan menghalangi sikap lemah-lembut dengan sesama. Bahkan dapat menyakiti orang yang dimarahi sehingga dapat mengurangi agama.[19]
Sementara al-Baidhawi berkata, “barang kali ketika Nabi SAW melihat semua kerusakan yang terjadi pada seseorang adalah berasal dari syahwat dan emosinya. Sedangkan syahwat orang yang bertanya tidak kuat lagi ketika dia bertanya tentang keburukan yang mesti dia hindari, maka beliau melarangnya marah yang merupakan mudharat yang paling besar disbanding yang lain. Apabila sesorang menguasai dirinya saat marah bebrarti telah mengalahkan  musuhnya yang paling kuat. Namun, bisa saja masuk dalam kategori menyebut yang lebih tinggi untuk mengisyaratkan yang lebih rendah, sebab musuh yang paling berbahaya bagi seseorang adalah syetan dan nafsunya. Sedangkan kemarahan itu timbul dari keduanya. Barangsiapa melawan keduanya hingga mengalahkan keduanya, maka dia lebih mampu lagi mengalahkan syahwatnya.[20]
Ibnu Hibban berkata sesudah mengutip hadits ini, “maksud, jangan melakukan hal-hal yang dilarang saat marah bukan berati beliau SAW melarang sesuatu yang telah menjadi tabi’at.” Sebagia nulama berkata,”Allah menciptakan marah dari api dan dijadikannya sebagaia naluri manusia.” Jika dimaksudkan untuk urusan tertentu maka berkobarlah api kemarahan hingga wajah dan kedua mata menjadi merah akibat darah, karena kulit menggambarkan apa yang ada dibaliknya. Ini terjadi bila seorang marah terhadap orang yang lebih rendah darinya dan ia mampu menguasainya. Adapun bila seorang marah kepada yang diatasnya niscaya darah tersedot dari bagian kulitnya kebagian jantung sehingga wajah menjadi pucat. Jika marah yang terjadi kepada yang setara, maka terjadi pergantian yang cepat antara terpancar dan tersedot sehingga wajah kadang menjadi merah dan kadang tampak pucat. Kemarahan bisa pula menimbulkan perubahan pada lahir dan batin seperti perubahan warna kulit, gemetar pada bagian-bagia badan, serta tindakanyang tidak terkontrol, dan perubahan besar dalam penampilan. Hingga apabila orang marah melihat dirinya saat marah niscaya akan membuat dirinya malu karena buruknya penampilan saat itu. Semua ini berkenaan dengan yang tampak. Adapun yang tidak tampak (batin) maka ia lebih bruk lagi, sebab ia melahirkan iri dan dengki di hati serta mendedendam keburukan. Sedangkan pengaruhnya pada lisan dalam bentuk celaan dan perkataan keji yangmembuat orang berakal malu dan menyesal saat marahnya reda. Pengaruh marah tampak  pula pada perbuatan memukul atau membunuh. Barang siapa mencermati kerusakan-kerusakan niscaya akan mengetahui kedudukan perkataan singkat NabiSAW,”jangan Marah”, berupa hikmah dan maslahat dalam menatap kerusakan serta dampak buruknya, semua ini berkenaan dengan marah dalam perkara dunia bukan dalam urusan agama.[21]
Oleh sebab itu, untuk menghilangkan kemarahan adalah dianjurkan untuk melatih diri agar bisa berbesar hati atau sabar, jangan menuruti sesuatu apapun yang diperintahkan oleh kemarahan, karena kemarahan selain memancing kesombongan, juga menimbulkan perpecahan sehingga menghilangkan rasa kasih sayang atau bisa juga menjadikan terputusnya tali silaturrahmi.

G. Kajian Tematik-Komprehensif
Dalam kajian pemaknaan hadis tentang marah (Ghadab) tersebut banyak hadis-hadis yang mendukung atau relevan dengan tema yang diteliti. Adapun hadis-hadis yang relevan dengan tema yang dikaji di antaranya di dalam teks hadisnya berikut:
a. Marah ketika memberi nasehat dan mengajar jika melihat sesuatu yang dibenci
            Rasulullahpun pernah marah. Namun beliau Marah ketika memberi nasehat dan mengajar jika melihat sesuatu yang dibenci. Sebagaimana sabda beliau:
ةشقشاحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ ابْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا أَكَادُ أُدْرِكُ الصَّلَاةَ مِمَّا يُطَوِّلُ بِنَا فُلَانٌ فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْ يَوْمِئِذٍ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ مُنَفِّرُونَ فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الْمَرِيضَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir berkata, telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ibnu Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari Abu Al Mas'ud Al Anshari berkata, seorang sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, aku hampir tidak sanggup shalat yang dipimpin seseorang dengan bacaannya yang panjang." Maka aku belum pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi peringatan dengan lebih marah dari yang disampaikannya hari itu seraya bersabda: "Wahai manusia, kalian membuat orang lari menjauh. Maka barangsiapa shalat mengimami orang-orang ringankanlah. Karena diantara mereka ada orang sakit, orang lemah dan orang yang punya keperluan".[22]
Dalam hal ini kaitannya dengan Hadits Riwayat Bukhari no.5651 bahwasannya Rasulullah memperbolehkan marah dalam urusan agama.

c. Jauhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dari perkara yang berdosa (Marah/Ghadab)
Disebutkan dalam Hadits lain bahwa Nabi Muhammad SAW terhindar dari perkara yang berdosa (marah/Ghadab). Marah dalam hal ini adalah marah yang di laranng sama halnya dengan larangan marah yang dimaksud hadits riwayat Bukhari no.5651. Adapun Hadits tersebut yaitu:
حَدَّثَنَاه أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدَةُ وَوَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ يَزِيدُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Artinya: Telah menceritakannya kepada kami Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Hisyam dari Bapaknya dari 'Aisyah dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah memukul dengan tangannya pelayan beliau atau pun seorang wanita pun, kecuali saat berjihad di jalan Allah, beliau tidak pernah membalas suatu kesalahan yang dilakukan orang kecuali bila keharaman-keharaman Allah 'azza wajalla dilanggar, beliau membalas karena Allah 'azza wajalla. Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdah dan Waki'; Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah seluruhnya dari Hisyam melalui jalur ini dengan adanya penambahan masing-masing dari mereka.[23]

d. Hadits tentang marah adalah tempat duduk syetan
Rasulullah SAW berwasiat “jangan marah” dalamHadits Riwayat Bukhari tentu ada maksud dan faedah tertentu yang terkandung di dalamnya. Dalam Hadits lain Rasulullah melarang marah karena marah adalah tempat duduk syetan, sebagaimana hadits berikut:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي عِمْرَانُ بْنُ مُوسَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ رَأَى أَبَا رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَام وَهُوَ يُصَلِّي قَائِمًا وَقَدْ غَرَزَ ضَفْرَهُ فِي قَفَاهُ فَحَلَّهَا أَبُو رَافِعٍ فَالْتَفَتَ حَسَنٌ إِلَيْهِ مُغْضَبًا فَقَالَ أَبُو رَافِعٍ أَقْبِلْ عَلَى صَلَاتِكَ وَلَا تَغْضَبْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ يَعْنِي مَقْعَدَ الشَّيْطَانِ يَعْنِي مَغْرَزَ ضَفْرِهِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ali telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dari Ibnu Juraij telah menceritakan kepadaku 'Imran bin Musa dari Sa'id bin Abi Sa'id Al-Maqburi dia menceritakan dari Ayahnya bahwasanya dia pernah melihat Abu Rafi', mantan sahaya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertemu dengan Hasan bin Ali radliallahu 'anhuma yang sedang shalat dalam keadaan berdiri dengan menyanggulkan rambutnya pada tengkuknya. Abu Rafi' melepasnya, sehingga Hasan menoleh kepadanya dengan marah, lalu Abu Rafi' berkata; Perhatikan shalatmu dan jangan marah, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Itu adalah tempat duduk syetan."[24]

e. Marahnya Rasulullah dalam hal memberi pringatan dalam urusan agama
Marah yang diperbolehkan dalam Islam adalah marah dalam hal member peringatan dalam urusan agama. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ الصَّلَاةِ فِي الْفَجْرِ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فُلَانٌ فِيهَا فَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُهُ غَضِبَ فِي مَوْضِعٍ كَانَ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْهُ يَوْمَئِذٍ ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَمَنْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ خَلْفَهُ الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Isma'il bin Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari Abu Mas'ud berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak ikut shalat shubuh berjama'ah disebabkan fulan yang memanjangkan bacaan saar shalat bersama kami." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah sebelumnya melebihi marahnya pada hari itu. Kemudian Beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sungguh di antara kalian ada orang yang dapat menyebabkan orang lain berlari memisahkan diri. Maka barangsiapa memimpin shalat bersama orang banyak hendaklah dia melaksanakannya dengan ringan. Karena di belakang dia ada orang yang lemah, orang tua yang lanjut usia dan orang yang punya keperluan."[25]
f. Cara Mencegah Marah
Untuk menghindari marah yang tercela seperti yang dilarang dalam hadits Riwayat Bukhari no.5651, Rasulullah telah memberikan kiat-kiat atau cara mencegah marah. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِي حَرْبِ بْنِ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ دَاوُدَ عَنْ بَكْرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا ذَرٍّ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا أَصَحُّ الْحَدِيثَيْنِ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abu Hind dari Abu Harb bin Abul Aswad dari Abu Dzar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami: "Jika salah seorang dari kalian marah dan ia dalam keadaan berdiri, hendakah ia duduk. Jika rasa marahnya hilang (maka itu yang dikehendaki), jika tidak hendaklah ia berbaring." Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid dari Dawud dari Bakr bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Abu Dzar dengan membawa pesan hadits ini." Abu Dawud berkata, "Hadits ini adalah yang paling shahih di antara dua hadits yang ada."[26]

حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا أَبُو وَائِلٍ الْقَاصُّ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُرْوَةَ بْنِ مُحَمَّدٍ السَّعْدِيِّ فَكَلَّمَهُ رَجُلٌ فَأَغْضَبَهُ فَقَامَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ رَجَعَ وَقَدْ تَوَضَّأَ فَقَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَطِيَّةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْغَضَبَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Khalaf dan Al Hasan bin Ali secara makna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Khalid berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Wail Al Qash ia berkata, "Kami masuk menemui Urwah bin Muhammad As Sa'di, lalu ada seorang laki-laki berbicara dengannya hingga membuatnya murka. Lantas ia berdiri berwudhu dan kembali lagi dalam keadaan telah berwudhu." Setelah itu ia berkata, " Bapakku telah menceritakan kepadaku, dari kakekku, Athiyah. Ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Sesungguhnya marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api, sementara api akan mati dengan air, maka jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berwudhu. [27]

g. Do’a mencegah marah
Marah yang dipengaruhi oleh syetan tentu akan membawa dampak buruk. Sehingga ketika marah hendaknya berdo’a. Sebagaimana do’a yang telah diajarkan Rasulullah dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ أَحَدُهُمَا غَضَبًا شَدِيدًا حَتَّى خُيِّلَ إِلَيَّ أَنَّ أَنْفَهُ يَتَمَزَّعُ مِنْ شِدَّةِ غَضَبِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُهُ مِنْ الْغَضَبِ فَقَالَ مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ قَالَ فَجَعَلَ مُعَاذٌ يَأْمُرُهُ فَأَبَى وَمَحِكَ وَجَعَلَ يَزْدَادُ غَضَبًا
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari Abdul Malik bin Umair dari 'Abdurrahman bin Abu Laila dari Mu'adz bin Jabal ia berkata, "Ada dua orang laki-laki saling mencela di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, salah seorang dari mereka sangat marah hingga aku berfikir seolah olah hidungnya pecah karena marah yang memuncak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Sungguh, aku benar-benar tahu sebuah kalimat yang jika dibaca oleh seseorang maka akan hilang kemarahan yang ia rasakan." Seseorang lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apa itu?" beliau bersabda: "ALLAHUMMA INNI A'UUDZU BIKA MINASYSYAITHAANIRRAJIIM (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari setan yang terkutuk)." Perawi berkata, "Mu'adz lantas menyuruh laki-laki itu untuk mengucapkannya, tetapi ia enggan dan justru bertambah amarahnya."[28]




H. Kritik Konfirmatif
Untuk memahami hadis-hadis tentang marah (Ghadab) dengan pemahaman yang medekati kebenaran, maka harus sesuai dengan petujuk al-Qur’an yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Oleh karena itu, tidak ada hadis sahih yang kandungannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat. Jikalau masih ada pertentangan antara keduanya, maka terdapat beberapa kemungkinan, diantaranya pemahaman erhadap hadis kurang tepat atau pertentangan pada hadis tersebut bersifat semu atau tidak hakiki.
Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst.Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan Rasul-Nya. Beda dengan amarah negatif yang bersumber dari nafsu lawwamah. Itu marah negatif. Hadis-hadis tentang marah (Ghadab) ketika dikonfirmasikan dengan ayat al-Qur’an sebagai berikut:
a.       Dilarangnya prilaku marah (Ghadab) yang buruk
QS. Ali Imran:119
هَا أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
Artinya: "Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: 'Kami beriman'; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari, lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): 'Marilah kamu, karena kemarahanmu itu'. Sesungguhnya, Allah mengetahui segala isi hati."
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ketika marah maupun benci, Allah mengetahui segala isi hati manusia. Maka sesungguhnya Allah melarang prilaku marah yang buruk.
b.      Marah Karena Allah
Marah karena Allah (ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali bila ia melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin. Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, bila orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak lain yang marah ialah Allah. Sebagaimana dalam sejarah Nabi Hud as dan kaum ‘Aad dalam QS. Al-A’raf:71
رِجْسٌ وَغَضَبٌ ۖ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ فَانْتَظِرُوا إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
Artinya: ia berkata, Sungguh sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk orang yamg menunggu bersama kamu".
Sejarah Islam juga mencatat juga peristiwa saat Nabi Musa as marah ketika pergi ke Gunung Thur untuk memenuhi panggilan Allah yang terdapat dalam QS. Al-A’raf: 154
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ ۖ وَفِي نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ
Artinya: “Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”
Sekilas peristiwa dalam sejarah Nabi Hud as., Musa as, jelaslah bahwa mereka marah bukan karena nafsu lawwamah, tetapi karena Allah SWT. Maka amarah itu tidak mengurangi kema’suman mereka. Sebab mereka “marah karena Allah”. dan Rasul adalah atas dasar kasih sayang. Sebab mereka tidak tega jika umat atau kaumnya mendapat azab akibat perbuatan mereka. Mereka marah karena mereka tahu bahwa Allah marah terhadap orang-orang semacam itu. Maka kemarahan mereka atas dasar Allah. Atau bisa juga dikatakan: “Yang marah pada hakikatnya Allah”

c.       Perintah Menahan Marah Dan Anjuran Memberi Maaf
Sehubungan dengan kondisi amarah, Allah memberikan panduan untuk menahan marah. Dan member anjuran untuk member maaf. Sebagaimana Firman Allah dalam QS: Ali Imran Ayat: 133-134

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
(133) Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
(134) (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

d.      Perintah Sabar
Salah satu menghindari perilaku marah adalah dengan sabar. Allah SWT memerintakan untuk bersikap sabar. Karena Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Asr:1-3
وَالْعَصْرِ
 إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ  
إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.



I. Analisis Realitas Historis
Setelah diperoleh pemahaman tekstual terhadap hadis tentang malu adalah sebagian dari iman melalaui matan hadis, selanjutnya dilakukan upaya menemukan konteks sosio-historis hadis-hadis tersebut. Langkah ini sangat penting karena mengingat koleksi hadis adalah bagian dari realitas tradisi keislaman yang dibangun oleh Nabi dan sahabatnya dalam lingkup situasi sosialnya, sehingga tidak akan terjadi distorsi informasi atau bahkan salah faham.[29] Analisis historis ini mensyaratkan adaya kajian mengenai situasi mikro, yakni sebab-sebab menculnya sebuah hadis (Asbab Wurud al-Hadis), dan situasi makro, yakni situasi kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Nabi Muhammad saw.[30]
Setelah mengadakan penelusuran terhadap literatur sebab-sebab munculya sebuah hadis (Asbab Wurud al-Hadis) tentang wasiat Nabi  jangan marah yaitu terkait denganHadits riwayat Bukharinomor 5651, penulis tidak menemukan sebab khusus yang melahirkan hadis yang sedang dikaji ini. Maka penulis mencoba memaparkan melalui situasi makro-nya, yakni:
a.       Anjuran bagi setiap muslim untuk memberikan nasihat dan mengenal perbuatan-perbuatan kebajikan, menambah wawasan ilmu yang bermanfaat serta memberikan nasihat yang baik.
b.      Larangan marah yang tercela
c.       Dianjurkan untuk mengulangi pembicaraan hingga pendengar menyadari pentingnya dan kedudukannya.
Penjelasan Pengarang kitab Al Ifshah berkata: “Boleh jadi Nabi mengetahui laki-laki tersebut sering marah, sehingga nasihat ini ditujukan khusus kepadanya. Nabi Muhammad SAW memuji orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya ketika marah”. Sabda beliau: “Bukanlah dikatakan orang yang kuat karena dapat membanting lawannya, tetapi orang yang kuat ialah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya di waktu marah”.
Allah juga memuji orang yang dapat mengendalikan nafsunya ketika marah dan suka memberi maaf kepada orang lain. Diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda: “Siapa menahan marahnya padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka kelak Allah akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segala makhluk, sehingga ia diberi hak memilih bidadari yang disukainya” Tersebut pada hadits lain: “Marah itu dari setan”.
Oleh karena itu, orang yang marah menyimpang dari keadaan normal, berkata yang bathil, berbuat yang tercela, menginginkan kedengkian, perseteruan dan perbuatan-perbuatan tercela. Semua itu adalah akibat dari rasa marah. Semoga Allah melindungi kita dari rasa marah. Tersebut pada hadits Sulaiman bin Shard: “Sesungguhnya mengucapkan ‘a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim’ dapat menghilangkan rasa marah”.
Karena sesungguhnya setanlah yang mendorong marah. Setiap orang yang menginginkan hal-hal yang terpuji, setan selalu membelokkannya dan menjauhkannya dari keridhaan Allah, maka mengucapkan “a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim” merupakan senjata yang paling kuat untuk menolak tipu daya setan ini.
Dalam riwayat yang sama, Abu Darda pernah berkata kepada Nabi Saw., “Tunjukkan aku satu amal yang bisa memasukkan dalam surga” lalu Nabi menjawab: “Jangan marah, maka bagimu surga”. Dalam riwayat Usman bin Abi Syaibah berkata: “tahgdlob tsalasa marrat”, menunjukkan larangan mutlak untuk memperbanyak marah”.[31] Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 134:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ayat di atas adalah menerangkan tentang kehidupan manusia dengan lingkungan sosialnya. Sebuah nasihat yang ditujukan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orangn lain sebagai bentuk orang yang bertaqwa, nasihat pertama adalah mereka yang biasanya atau terus-menerus menafkahkan hartanya di jalan Allah baik diwaktu di lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu dia sempit tidak memiliki kelebihannya, sifat kedua yang ditonjolkan adalah yang mampu menahan amarah, bahkan yang memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan akan sangat terpuji mereka yang berbuat kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan karena Allah menyukai, yakni melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya tanpa henti untuk, orang-orang yang berbuat kebajikan. Dalam menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Yaitu dia menahan diri sehingga tidak mencetuskan kata-kata buruk atau perbuatan negatif. Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan, seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus bekas-bekas luka itu. Untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan yang sekedar menahan amarah atau memaafkan, tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan keslahan atau menyambung tali persaudaraan.[32]

J. Kritik Praksis
Setelah menganalisa matan dan realitas historis hadis-hadis tentang jangan marah, maka selanjutnya makna-makna yang telah ditemukan dimaknai secara general dengan cara menangkap makna universal yang tercakup dalam hadist. Pemaknaan generalisasi pada tahap ini, membuka jalan bagi pemaknaan hadis secara global. Pemaknaan hadis Nabi yang tepat, dapat dijadikan sebagai sebuah usaha merefleksikan teks hadis, hingga berfungsi sebagai wahana perekam kejadian masa lalu yang mungkin dapat dipahami dalam memaknai situasi kekinian. Berdasarkan analisis isi dalam analisis realitas, maka ditemukan makna tesktual hadis dan signifikansi konteksnya, kemudian digeneralisasikan dengan menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis atau meminjam istilah Fazlur Rahman kita temukan “ideal moral” yang hendak diwujudkan sebuah teks karena setiap pernyataan Nabi Muhammad saw. harus diasumsikan, memiliki tujuan moral-sosial yang bersifat universal.[33]
Terkait Hadits yang diteliti tentang marah, dalam memasuki era modern sekarang ini, persoalan moral tetap menjadi salah satu dari sekian banyak kompleksitas persoalan kemanusiaan yang senantiasa harus dicermati secara serius. Sebab seiring dengan laju modernitas kemajmukan dan kompleksitas persoalan manusia pun semakin bertambah. Seiring dengan perjuangan abadi manusia untuk menegakkan moral, Tuhan memberikan hidayah yang akan menolongnya, yaitu al-Qur’an dan diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah di muka bumi yang dihiasi dengan akhlaqul karimah.
Kehidupan modern saat ini memang membuat segala hal menjadi lebih mudah. Namun hidup di zaman modern juga membuat manusia menjadi gampang terpicu amarah. Menurut analisa seorang psikolog dari University of Central Lancashire Dr. Sandi Mann, agresi dan amarah  yang awalnya dimiliki manusia sebagai bagian dari mempertahankan hidup kini telah berubah. Di zaman modern ini, amarah kerap "salah sasaran" dan tidak pada tempatnya. Alhasil, seseorang bisa marah akibat dipicu hal sepele dan relatif tidak berhubungan dengan penyebab munculnya rasa itu. Rasa marah pun muncul pada momen-momen sepele dan tidak tepat.[34] Adapun beberapa contoh perilaku marah,yaitu:
1.      seperti marah karena menunggu terlalu lama
2.      Marah-marah memakai komputer yang “lelet”
3.      Marah karena kemacetan lalu lintas
4.      Marah-marah kepada orang lain tanpa sebab yang jelas.
5.      Mudah tersinggung akibat perbuatan atau ucapan orang lain.
6.      Tidak mampu mengendalikan diri saat menghadapi situasi yang tidak di kehendaki
Namun marah itu sendiri secara umum ada tiga bentuk, yaitu:[35]
1.        Kemarahan yang Terpuji
Marah yang terpuji adalah marah karena Allah, yaitu marah ketika terjadi pelanggaran terhadap syari’at Allah ta’ala, bahkan Allah ta’ala pun marah karena hal tersebut, sebagaimana firman-Nya,
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Artinya: “Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah marah kepada mereka dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah sejelek-jeleknya tempat kembali.” (Al-Fath: 6)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha bercerita tentang kemarahan Rasulullah SAW:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَىْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلاَّ أَنْ يُنْتَهَكَ شَىْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memukul apa pun dengan tangannya sama sekali, tidak istri dan tidak pula pembantu, kecuali ketika beliau berjihad di jalan Allah. Dan tatkala beliau disakiti, maka tidak pernah beliau membalas pelakunya sedikit pun, kecuali apabila dilanggar satu hal yang Allah haramkan, maka beliau membalas karena Allah ‘azza wa jalla.”(HR. Muslim)
Maka seorang mukmin harus marah kepada orang-orang kafir disebabkan kekafiran mereka, demikian pula marah kepada pelaku bid’ah dan maksiat sesuai kadar bid’ah dan maksiatnya. Ini adalah marah yang terpuji. Sebaliknya, jika seorang mukmin malah senang dengan pelaku syirik, atau tidak marah terhadap pelaku bid’ah dan maksiat, maka itu adalah sikap yang jelek, bahkan senang dengan pelaku syirik karena kesyirikannya adalah kekafiran kepada Allah ta’ala.
2.      Kemarahan yang Tercela
Marah yang tercela adalah marah yang bukan karena Allah, yang berdasarkan pada sesuatu yang tercela, seperti marah karena kesombongan, hizbiyyah (fanatisme golongan), dan berbagai sebab yang tercela lainnya.
3.      Kemarahan yang Mubah
Marah yang mubah adalah marah karena tabiat (sifat dasar manusia), seperti marah karena disakiti atau dihina, hukum asalnya mubah, namun dapat menjadi haram apabila mengantarkan kepada yang haram, seperti berbuat zalim, mencaci, mengghibah, bahkan memukul dan membunuh.
Dan sebaliknya, marah karena tabiat ini dapat menjadi kebaikan yang besar apabila dikelola secara benar, yaitu sesuai tuntunan agama yang mulia ini.
Bedasarkan penjelasan di atas, maka sejarah menunjukkan para utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru, mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan RasulNya. Beda dengan amarah yang  tercela yang bersumber dari nafsu lawwamah. Sifat semacam itu dilarang oleh Allah dan RasulNya. Jadi, marah positif adalah marah karena Allah (ghodhobullah). Sedang marah tercela adalah marah karena syaitan (ghodhobus syaitan).[36]
Adapun yang dimaksud wasiat Rasulullah dalam Hadits Riwayat Bukhari nomor 5651 adalah marah yang tergolong dalam sifat tercela yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu sifat ini dilarang oleh Islam. Sudah seharusnyalah kita berusaha mengendalikan sifat ini. Marah akan menutupi pikiran sehat seseorang. Orang yang marah tidak akan bisa mempertimbangkan baik dan buruk. Ia akan bertindak sekehendak nafsu amarahnya. Ia bertindak berdasarkan emosi saja. Dengan demikian akan mudah dipengaruhi setan. Sebagai orang beriman dan bertakwa kita harus bisa mengendalikan diri dari amarah, karena mengendalikan diri dari marah adalah salah satu ciri orang yang bertakwa. Bahaya sifat marah, antara lain
1.      Meretakkan hubungan pertemanan atau kekerabatan. Orang yang dimarahi akan merasa dihina dan dicemooh.
2.      Akan dijauhi orang lain.
3.      Bisa menimbulkan penyakit pusing bahkan bisa terserang hipertensi (darah tinggi).
4.      Menimbulkan dosa, apalagi kalau marahnya berlebihan dengan menimbulkan kerusakan-kerusakan terhadap barang-barang, baik milik sendiri maupun milik orang lain.
5.      Dibenci Allah, Rasul-Nya, serta manusia.
6.      Dapat merusak iman seseorang dan dapat menimbulkan dendam dan sakit hati.
            Oleh karena itu, melihat dampak buruk dari marah yang tercela tersebut kita harus menanggulanginya. Beberapa cara menanggulangi sifat marah adalah:
1. Berusaha menyadari akibat buruk yang timbul dari marah.
2. Mengoreksi kesalahan diri sendiri.
3.    Berusaha bersabar dalam menghadapi masalah, yaitu jika marah dalam keadaan berdiri, hendaknya kita segera duduk. Jika tidak reda juga, kita berbaring dan jika tidak terkendali juga, kita harus segera berwudlu, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dalam hadistnya.
Adapun Al-Ghazali mengusulkan dua strategi pengendalian marah, yaitu: 
1.      Melemahkan potensi marah pada diri kita dengan tindakan preventif seperti puasa sunnah, puasa bicara, dzikir kalbu, shalat tahajjud, dan tawajjuh (bermuwajahah/bertatap muka/berusaha menemui) kepada Allah secara istiqamah dan mudawamah, konsisten dan berkesinambungan. 
2.      melakukan tindakan kuratif ketika api marah mulai menyala dengan berwudhu, duduk dan berbaring, serta menjauhi sasaran kemarahan. 
Kedua strategi ini jika belum membawa hasil yang memuaskan, maka perlu mengikuti riyâdhat al-nafs, pelatihan jiwa atau spiritual education yang lebih intensif, terutama dengan perubahan pola makan dan pola hidup serta pola ibadah.[37]
Ath-thufi berkata,”perkara yang paling kuat dalam menolak marah adalah mengingat tauhid yang sesungguhnya.” Maksudnya, tidak ada pelaku kecuali Allah, semua pelaku selain Allah adalah alat baginya barang siapa mengalami perkara yang tidak disukai dari selainnya, lalu dia menyadari jika Allah menghendaki niscaya hal itu tidakt erjadi, maka kemarahannya akan reda, karena jika dia marah berarti kemarahannya diajukan kepada Tuhannya.[38]






















BAB V
PENUTUP


A. Kesimpulan
Pembahasan hadis-hadis tentang jangan marah dengan kajian ma’anil hadis, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Bedasarkan penelitian Hadits di atas kualitas sanad Hadits Riwayat Bukharino.5651 merupakan Hadits Shahih.
2.      Ghadab atau Marah adalah sikap emosi karena adanya pendapat yang bertentangan dengan kemauannya. Marah juga berarti suatu kondisi kejiwaan seseorang yang tidak senang terhadap sesuatu, karena tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Dalam keadaan marah, kondisi kejiwaan manusia sedang tidak stabil dan cenderung untuk berbuat negatif. Marah itu diciptakan oleh Allah SWT dari api yang ditanam ke dalam diri manusia. Marah termasuk salah satu sifat tercela yang harus dihindari, karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
3.      Adapun marah dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: Kemarahan yang terpuji: marah dalam urusan agama, Kemarahan yang tercela: marah yang membawa dampak buruk dan kemarahan yang mubah.
4.      Dalam  pengendalian marah, mengutip pendapat Al-Ghazali yaitu: 
a.       Melemahkan potensi marah pada diri kita dengan tindakan preventif seperti puasa sunnah, puasa bicara, dzikir kalbu, shalat tahajjud, dan tawajjuh (bermuwajahah/bertatap muka/berusaha menemui) kepada Allah secara istiqamah dan mudawamah, konsisten dan berkesinambungan. 
b.      melakukan tindakan kuratif ketika api marah mulai menyala dengan berwudhu, duduk dan berbaring, serta menjauhi sasaran kemarahan. 
Kedua strategi ini jika belum membawa hasil yang memuaskan, maka perlu mengikuti riyâdhat al-nafs, pelatihan jiwa atau spiritual education yang lebih intensif, terutama dengan perubahan pola makan dan pola hidup serta pola ibadah.

B. Saran-saran
Sebagai pertimbangan dalam memperlakukan teks keagamaan, khususnya hadis dapat dilakukan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual, tergantug sejauh mana cakupan matan hadis tersebu. Pemahaman tekstual ataupun kontekstual masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan jika dihadapkan pada situasi dan kondisi kekinian. Yang harus diperhatikan adalah, bahwa pemahaman hadis dari sudut pandang matan selayaknya menjadi pijakan dasar untuk mengembangkan makna diiringi dengan metode pendekatan lain yang sesuai, hingga pada akhirnya kajian keagamaan tidak terkesan kaku dan membosankan.
Adapun pemahaman terhadap hadis tentang jangan marah yang terkait dengan kondisi social, penulis menyarankan kepada para pembaca agar menambah bacaannya, baik bacaan terhadap teks-teks atau buku-buku maupun bacaan terhadap kondisi sosial yang ada, dengan harapan agar pemahaman tentang malu adalah sebagian dari iman akan lebih sesuai dengan situasi kondisi kekinian.














DAFTAR PUSTAKA


Ajati, Utsman. 2003. Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi saw. Jakarta: Mustaqin,
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari 29. Terj. Amiruddin. Jakarta: PustakaAzzam
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina
Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhwadl, 1995. Syarah Jami al-Turmudzi. Beirut: Dar al-Fikr
Imam  al  Ghazali, Ihya Ulumudin, 2011. diterjemahkan  oleh  Drs. Asmuni, Jakarta: Islam Kaffah
Ismail, M. Syuhudi. 1991. Cara Praktis Mencari Hadis, Jakarta: Bulan Bintang
Ismail, M. Syuhudi. 1997. Kaedah Kesahihan Hadis, Jakarta: Bulan Bintang,
Musahadi, 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Perkembangan Pada Hukum Islam, Semarang: Aneka Ilmu
Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadi. Jakarta: Gaya Media Pratama
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah,  Juz II. Jakarta:Lentera Hati
Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Jilid XII (Beirut: Dar Sadir, 1326 H), hlm. 262-267. Lihat juga Abdul Gaffar Sulaiman al-Bandari, Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Jilid IV. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah

http://ahlussunnahsukabumi.com/manajemen-marah/. Diakses tanggal 26 Desember 2014
http://www.scribd.com/doc/213705517/Ghadab-Pemarah#scribd. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
http://www.snba1992.wordpress.com. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014




[1]Ajati, Utsman. Psikologi dalam Tinjauan Hadits Nabi saw. (Jakarta: Mustaqin, 2003). Hal 77
[2]Imam  al  Ghazali, Ihya Ulumudin, diterjemahkan  oleh  Drs. Asmuni, (Jakarta: Islam Kaffah, 2011), Hal. 3
[3] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 86.
[4] Ibid.,
[5] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 111-112.
[6] M. Syuhudi Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 17
[8] Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Jilid XII (Beirut: Dar Sadir, 1326 H), hlm. 262-267. Lihat juga Abdul Gaffar Sulaiman al-Bandari, Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Jilid IV (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 465.
[9] Syihabuddin Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib ..., hlm. 262-267. Lihat juga Abdul Gaffar Sulaiman al-Bandari, Mausu’ah Rijal ..., hlm. 465.
[10] Untuk lebih detailnya lihat dlam CD Lidwa
[11] Untuk lebih detailnya lihat dlam CD Lidwa
[12] Untuk lebih detailnya lihat dlam CD Lidwa
[13] Untuk lebih detailnya lihat dlam CD Lidwa
[14] Musahadi, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Perkembangan Pada Hukum Islam (Semarang: Aneka Ilmu, 2000), hlm 158
[15] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari 29. Terj. Amiruddin, (Jakarta: PustakaAzzam, 2008), hlm. 400
[16] Ibid.,
[17] Ibid., hlm. 400-401
[18] Ibid.,hlm. 401
[19] Ibid.,
[20] Ibid.,
[21] Ibid., hlm. 402-403
[22] Hadits Riwayat Bukhari Nomor . 88 dalam CD Lidwa
[23] Hadits Riwayat Muslim nomor 4296 dalam CD Lidwa
[24] Hadits Riwayat Abu Daud nomor 551 dalam CD Lidwa
                [25] Hadits Riwayat Bukhari Nomor 663 dalam CD Lidwa
[26] Hadits Riwayat Abu Daud Nomor 4151 dalam CD Lidwa
[27] Hadits Riwayat Abu Daud Nomor 4152 dalam CD Lidwa
[28] Hadis Riwayat Abu Daud Nomor 4149 Dalam CD Lidwa
[29] Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 23.
[30] Musahadi HAM., Evolusi ..., hlm. 158.
[31]Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhwadl : Syarah Jami al-Turmudzi, Terj. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Juz 6, hlm. 130.
[32] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,  Juz II (Jakarta:Lentera Hati,2002), hlm, 265-266
[33] Musahadi HAM, Evolusi ........, hlm. 159.
[35] http://ahlussunnahsukabumi.com/manajemen-marah/. Diakses tanggal 26 Desember 2014

[36] www.snba1992.wordpress.com. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
[37] http://www.scribd.com/doc/213705517/Ghadab-Pemarah#scribd. Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
[38] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari 29. Terj. Amiruddin……….., hlm. 403

Read More

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates