Sebaik-baik Kalian adalah yang Belajar Al-Qur'an dan Mengamalkannya

Senin, 13 Agustus 2018

MAKALAH KAJIAN ILMU TAFSIR AL-QUR’AN


Foto: Konsultasisyariah.com


BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as dalam bahasa Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku, menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun, Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an. 
Mempelajari tafsir Al-Qur’an merupakan suatu yang urgen untuk mengetahui maksud Allah SWT (dalam Al-Qur’an) tentu saja dengan batas kemampuan yang dimiliki menyangkut perintah dan larangan yang telah disyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya, agar menjalani kehidupan dunia yang lurus dan dapat mempersiapkan bekal yang cukup untuk akhirat. Juga untuk menyentuh petunjuk Allah SWT, yang menyangkut akidah, ibadah, dan akhlak dengan harapan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mengingat Al-Qur’an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk dari zaman, adalah sesuatu yang dapat dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para ulama untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan menerjemah misi-misinya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir
            Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran,berarti keterangan dan penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”[1]
Dilihat dari bentuknya, kata tersebut adalah bentuk mashdar dari kata kerja “fassara”. Secara leksial, kata kerja ”fassara-yufassiru-tafsiran” bermakna wadhdhaha (menjelaskan), kasyf al-mughaththa’ (membuka sesuatu yang tertutup), kasyf al-muradhi ‘an al-lafadz al-musykil (mengungkapkan maksud yang dikehendaki oleh lafal yang musykil). Dengan demikian, tafsir secara harfiah berarti menyingkap sesuatu yang tertutup atau menjelaskan sesuatu makna dan membuka hijab yang meliputinya.”[2]
Dari segi terminologi, beberapa macam definisi dibuat oleh para ulama. Berikut ini beberapa diantaranya:


1. Abbu Hayyan:
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an dan  tentang arti dan makna dari lafadz-lafadz tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
2. Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3. Az-Zarqani
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.[3]
Bedasarkan ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut Az-Zarqani di atas juga menambahkan bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia. Dalam menfsirkan Al-Qur’an disamping dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, sosial budaya yang berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan penafsiran mereka juga berbeda-beda.[4]

B. Sejarah Perkembangan Tafsir
Tidak dapat diragukan, bahwasannya tafsir telah melalui banyak periode sehingga sampai kepada corak  dan bentuk yang sekarang ini yang dituang di dalam berbagai kitab dan karangan. Ada yang sudah dicetak, dan ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Tafsir Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi Muhammad SAW sendiri dan beliaulah penafsir awal (Al-Mufassirul Awal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul yang mulia, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul masih hidup. Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.[5]
 Usaha menafsirkan Al-Qur’an dilanjutkan pada zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali bin Abi Thalib (w.40 H), Abdullah Ibn Abbas (w.68 H), Abdullah Ibn Mas’ud (w.32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H) adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[6]
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan; kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an; ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakan kepada Rasulullah SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan Bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri, baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khusunya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka’ab al-Ahbar (w.32 H) dan lain-lain.[7]
Sesudah periode sahabat, datanglah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Disamping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan penfsiran sendiri bedasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in ini, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits di mana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab Hadits dan menjadi kitab sendiri para ulama seperti Ibn Majah, Ibn JarirAth-Thabari, Abu Bakar ibn Al-Munzir An-Naisaburi dan lain-lain mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisitafsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan Ayat-ayat Al-qur’an dan disusun sesuai sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufassir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian dikenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.[8]

C. Tafsir Al-Qur’an Bedasarkan Sumber
1.      Tafsir bir Riwayah (Tafsir bil Ma’tsur)
Tafsir bil al-Ma’tsur, biasa juga disebut Tafsir bil Al-Riwayat. Mengenai rumusan pengertian tafsir ini, ulama telah mengemukakan pendapat mereka masing-masing, diantaranya:
a.       Muhammad’Ali al-Syabuni mengemukakan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur berarti segala yang datang dari Al-Qur’an atau sunnah, atau  perkataan sahabat. Sebagai keterangan maksud yang dikehendaki Allah Swt.
b.      Menurut Al-Zarqani tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Sunnah, atau menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat sahabat.
c.       Menurut Manna Al-Qaththan, tafsir bi al-Ma’tsur berarti menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, atau Al-Qur’an dengan Al-Sunnah, yang ektensinya adalah untuk menjelaskan kandungan kitab Allah SWT. Atau al-Qur’an dengan riwayat para sahabat Nabi (karena mereka adalah manusia yang lebih tau tentang Kitab Allah SWT), atau Al-Qur’an dengan nukilan para tabi’in besar (karena mereka lazimnya menerima dari sahabat Nabi SAW).
d.      Al-Zahabi menjelaskan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur mencakup keterangan-keterangan dan perincian-perincian yang ada dalam sebahagian ayat-ayat Al-Qur’an sendiri. Dan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. Demikian pula apa yang dinukilkan dari sahabat Nabi serta dari tabiin yang merupakan keterangan dan penjelasan tentang maksud nash-nash Al-Qur’an.[9]
Bedasarkan pendapat ulama tersebut pengertian tentang tafsir bi al-Ma’tsur dapat dibagi menjadi empat bagian:
a.       Tafsir Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an maksudnya adalah bahwa suatu ayat Al-Qur’an dijelaskan oleh ayat lain, dimana Al-Qur’an sebagai petunujuk bagi manusia, sebagian ayatnya merupakan penjelasan dari ayat yang lain. Maksudnya bahwa suatu masalah, ternyata dijelaskan secara rinci oleh ayat lain. Oleh karena itu, untuk memahami suatu ayat perlu dicari dahulu pada ayat yang lain yang menjelaskannya. Contoh QS. Al-MAidah: 1


ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ
Artinya: “Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”.
Kalimat إٍلآَ مَا يُتْلَى عَلَيْكُم  pada ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain, QS. Al-maidah :3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎŽötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ….

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,”….
b.      Tafsir Al-qur’an dengan sunnah Rasulullah SAW. Setelah menerima wahyu Allah diberikan kewenangan oleh Allah SWT.  Untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Agar wahyu yang disampaikan kepada umat manusia dapat menjadi jelas dan segera dipahami oleh mereka.
Menurut al-Zarqani, Nabi SAW menjekaskan ayat-ayat Al-Qur’an, kepada sahabat-sahabatnya melalui sabda-sabda beliau atau dengan perbuatan beliau dan atau ketetapannya (taqrirnya). Contoh: QS.Al-Baqarah: 238

(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ  
Artinya: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”
Kata al-wustha’ pada ayat tersebut ditafsirkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan Shalat Ashar.[10]
c.       Tafsir Al-Qur’an dengan nukilan dari sahabat Nabi. Menurut al-Hakim, tafsir sahabat yang menafsirkan wahyu dan turunnya Al-Qur’an. Kedudukan hukumnya adalah marfu’. Artinya bahwa tafsir sahabat tersebut mempunyai kedudukan sama dengan kedudukan hadits Nabi SAW. Yang silsilahnya sampai kepada Nabi SAW. Oleh karena itu tafsir sahabi adalah bernilai ma’tsur. Contoh: QS. Al-Anbiya:30
óOs9urr& ttƒ tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%Ÿ2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( Ÿxsùr& tbqãZÏB÷sムÇÌÉÈ  
Artinya: “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
  Kalimat آنَّ السَّمَوَت وَالأَرْضِ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَا هُمَا ditafsirkan oleh sahabat Nabi (Ibn ‘Abbas) dengan mengatakan,”langit itu rapat tidak menuruknakan hujan dan bumi pun rapat tidak mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka tatkala Allah menjadikan penduduk bumi, ia memecahkan langit dengan hujan dan bumi dengan tumbuh-tumbuhan.[11]
d.      Tafsir Al-Qur’an dengan nukilan tabi’in besar. Tabi’in yang secara langsung bergaul dengan sahabat Nabi, dengan sendirinya banyak menerima riwayat melalui sahabat, termasuk dalam hal riwayat menafsirkan al-Qur’an sehingga keterlibatan mereka dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, juga tidak ketinggalan.
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal yaitu: tafsir Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As-Samarkandy, Tafsir Ad-Dararul Matsur fit Tafsiri bil Matsur, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Bughawy, Tafsir Baqy Ibn Makhlad, Asbabun Nuzul susunan Al-Wahidy, An-Nasikh wal mansukh, karya Abu Ja’far An-Nahhas.[12]

2.      Tafsir bir Ra’yi (Tafsir bil al-Dirayah)
Yang dimaksud dengan Tafsir bir Ra’yi, para ulama telah memberikan definisi, diantaranya:
Menurut al-Shabuni, Tafsir bir Ra’yi berarti tafsir yang bedasarkan ijtihad dengan berpegang kepada prinsip-prinsip yang benar dan kaidah-kaidah yang benar, yang umum berlaku, yang wajib dimiliki kepada siapa saja yang mau terjun langsung ke dalam dunia menafsirkan Al-Qur’an, atau siapa saja yang mau menyingkap keterangan-keterangan arti ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut Ibrahim Mazhkur, Tafsir bir Ra’yi adalah tafsir Al-Qur’an yang bedasarkan Ijtihad Mufasir yang didukung oleh kemampuan mereka berbahasa Arab dalam berbagai aspeknya, lafil, dalilnya, syair-syair jahiliyahnya, demikian pula Asbabun Nuzulnya, nasikh mansukh dan lain-lain. [13]
Bedasarkan pengertian di atas Tafsir bir Ra’yi adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan Hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. [14]
Urusan-urusan yang wajib disandarkan ijtihad kepadanya dalam menafsirkan Al-Qur’an telah dinukilkan oleh As  Sayuthi dalam kitab Al-Itqan dari Az Zarkasyi yang kesimpulannya sebagai berikut:
a.       Nukilan dari Rasulullah Saw. dengan menghindari yang Dha’if dan yang maudhu’
b.      Pendapat sahabat, mengenai pendapat sahabat ini ada yang menggolongkan kedalam hadits marfu’, ada yang mengkhususkan yang demikian dengan Ababun Nuzul dan pendapat-pendapat yang tidak dapat dicapai dengan ijtihad saja.
c.       Ilmu bahasa dengan memelihara diri dari memalingkan ayat kepada makna-makna yang berlawanan dengan kehendak syara’ terkecuali makna yang sudah banyak dipakai oleh bangsa Arab sendiri.
d.      Pengertian yang dikehendaki oleh susunan pembicaraan dan ditunjuki pula dengan ketentuan-ketentuan syara. Maka inilah yang dikatakan takwil.[15]
Sedangkan syarat-syarat utama yang harus diperhatikan dari Tafsir bir Ra’yi  adalah:
a.       Penafsiran tidak boleh kontradiktif dengan nash-nash yang ada.
b.      Tafsir yang dikenal itu masih dalam kaitan dengan pengetahuan kebahasaan (Bahasa Arab), terutama bahasa Arab yang dimiliki orang-orang Arab ketika Al-Qur’an diturunkan.
c.       Tidak bermaksud mendukung suatu aliran
d.      Dapat didukung oleh metode-metode yang ada dan dapat diuji kebenarannya dengan metode-metode yang lain.
Maka tafsir dengan ijtihad yang dapat diterima, ialah memperhatikan riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Rasulullah, para sahabat yang menjadi pelita bagi para mufasirin dalam menafsirkan Al-Qur’an, sedang penafsir itu pula mengetahui tata bahasa, mendalami uslub-uslubnya, sebagaimana mempunyai ilmu yang dalam tentang ketentuan-ketentuan syariat. Sedangkan hal-hal yang harus dijauhi dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, ialah memberanikan diri menerangkan maksud Allah sedang kita tidak mengetahui tata bahasa dan hukum syari’at di antaranya, menerapkan kalam illahi kepada keinginan mazhab-mazhab yang salah, dan membicarakan sesuatu yang sebenarnya hanya Allah sendiri yang mengetahuinya, atau menetapkan secara pasti, bahwa itulah yang Allah kehendaki tanpa adanya dalil.[16] Pandangan ulama mengenai tafsir bi ar-ra’yi, antara lain:
a.       Yang membolehkan tafsir bi ar-ra’yi, mempunyai alasan bahwa Allah Swt, menghendaki agar manusia memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran padanya, sesuai dengan firman Allah dalam QS.Shad:29
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿr㍭/£uÏj9 ¾ÏmÏG»tƒ#uä t©.xtFuŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ  
Artinya :”Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”
b.      Ulama yang melarangnya dipelopori oleh Ahmad Mushthafa’ al-Maraghi. Ia berpendapat bahwa tafsir bi ar-ra’yi itu secara langsung menyatakan kepada Allah sesuatu tanpa pengetahuan dan hal seperti ini dilarang oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 169
br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÊÏÒÈ  
Artinya: “…dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”
Menurut jumhur ulama, penafsiran dengan ra’yu mempunyai syarat, yaitu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab dengan berbagai aspeknya, mengetahui Asbabun Nuzul, nasikh mansukh, ilmu fikih, ilmu hadits dan ilmu-ilmu muhibah
Secara lengkap menurut Muhammad Husain Az-Dzahabi, ada beberapa ilmu yang dikuasai mufasir apabila akan melakukan tafsir bi ar-ra’yi yaitu:
a.       Ilmu Bahasa Arab, untuk dapat memahami dan menjelaskan kosa kata tertentu yang ditafsirkan.
b.      Ilmu Nahwu, karena makna kalimat bias berubah dan berbeda dengan perubahan I’rab
c.       Ilmu Sharf, agar mufasir dapat memahami perubahan bentuk-bentuk kata
d.      Ilmu Isytiqaa, untuk mengetahui asal-usul kata, karena jika sebuah kata berasal dari dua asal kata yang berbeda, akan berbeda pula maknanya, spertikata Al-Masih, apakah berasal dari Al-Siyahah atau Al-Mashu.
e.       Ilmu Balaghah (Ma’ani, Bayan dan Badi’), seorang mufasir tidak akan dapat menjelaskan i’jaz lughawi Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu ini.
f.       Ilmu Qira’at, karena dengan menguasai ilmu ini dapat memilih salah satu dari versi qiraah yang berbeda.
g.      Ilmu Ushuluddin,untuk menjelaskan masalah-masalah Aqidah.
h.      Ilmu Ushul Fiqh, untuk mengetahui bagaimana istinbath hukum dari ayat-ayat hukum.
i.        Ilmu Asbabun Nuzul, karena dengan mengetahui Asbabun Nuzul seorang mufasir dapat terbantu untuk memahami ayat.
j.        Ilmu Kisah-kisah, karena dengan mengetahui kisah-kisah secara lebih detail dia dapat memahami peristiwa yang dijelaskan secara umum oleh Al-Qur’an.
k.      Ilmu nasikh  dan mansukh, agar tidak salah menetapkan suatu hukum.
l.        Ilmu tentang Hadits-hadits yang dapat menjelaskan mana yang mujmaldan mubham.
m.    Ilmu Mauhibah, yaitu ilmu yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang yang mau mengamalkan ilmu yang didapatnya.[17]
Diantara kitab-kitab tafsir bir ra’yi yaitu: tafsir Al-Jalalain, tafsir Al-Bhaidawy, tafsir al-fahkrur Razy, tafsir Abu Suud, tafsir Al-Alusy, tafsir An-Naisaburi, tafsir An-Nasafy, tafsir Al-Khatib.[18]
3.      Tafsir bil Isyarah (Tafsir Isyari)
Menurut kaum syuf, riyadhah ruhani atau spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan di mana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an. Limpahan kegaiban akan tercurah ke dalam hatinya. Demikian juga pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah yang disebut tafsir Isyari. Artinya, setiap ayat mempunyai makna lahir dan batin. Yang lahir adalah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran, sedangkan yang batin ialah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat yang tentunya hanya bisa tampak bagi ahli suluk. Tafsir bil Isyarah (Tafsir Isyari) ini jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan menjadi suatu kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbath (kesimpulan hukum) yang baik dan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh zahir bahasa Arab serta didukung oleh bukti keshahihannya, tanpa pertentangan maka ia dapat diterima.[19]
Dengan demikian, dalam Tafsir Isyari, penafsir hendakknya menafsirkan makna-makna yang lain, selain makna-makna yang tampak pada ayat tersebut. Namun makna-makna tersebut tidak akan tampak kecuali bagi mereka yang telah dibukakan oleh Allah hatinya, dan diberi cahaya pandangan-Nya yang shaleh, yang mendapat anugrah pengertian dan pengetahuan langsung dari Allah Swt. Hal ini sesuai surat Al-Kahfi:65
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏŠ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ  
Artinya  “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”
Ilmu semacam ini tidak termasuk ilmu kasbi, yang dicapai melalui tuntutan dan belajar dengan mendalam. Akan tetapi ia adalah ilmu ladunni atau wahhabi, sebagai buah taqwa, istiqamah, dan kebaikan amal. Ulama berbeda pendapat tentang Tafsir Isyari. Diantara mereka, ada yang membolehkan dan sebagian mereka ada yang melarang. Yang membolehkan mengatakan bahwa penafsirannya isyariah ayat-ayat Al-Qur’an termasuk dari sempurnanya iman dan penyuluhan ilmiah, sebaliknya ada yang beranggapan bahwa Tafsir Isyari dapat menyesatkan dan menyelewengkan orang dari agama Allah.[20]
Untuk lebih jelasnya Tafsir Isyari tidak akan diterima kecuali memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Tidak menafikkan arti lahir ayat
b.      Tidak menyatakan  bahwa artinya hanya itu saja tanpa mengakui yang lahir
c.       Ta’wil tidak boleh terlalu jauh dan keluar dari kandungan Ayat, ia harus sesuai dengan dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam berbagai aspeknya
d.      tidak bertentangan dengan syar’i dan akal sehat tidak mengacaukan pengertian ulama
Diantara kitab-kitab Tafsir Isyari yang terkenal adalah:
a.       al-Kasyfu wa Al-Bayan, oleh Ahmas bin Ibrahim Al-Naysaburi, yang dikenal dengan tafsiral-Naysaburi
b.      Ruh Al-Ma’ani oleh syahibuddin Muhammad Al-Alusi, yang dikenal dengan tafsir Al-Alusi.


D. Metode Penyajian Tafsir Al-Qur’an
1.      Tahlili
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam mushaf.[21] Metode tahlili sesuai dengan artinya sebagai metode analisis dimaksudkan untuk menjelaskan ayat-ayat dari berbagai aspeknya dan mengungkapkan setiap sasarannya dengan rinci, ayat demi ayat surat demi surat, sesuai dengan urutan yang tercantum dalam mushaf Al-Qur’an. Langkah-langkahnya dimulai dari pembahasan kosa kata, baik dari sudut makna dan bahasannya maupun dari sudut qira’at dan konteksnya dalam struktur ayat, kemudian penjelasan munasabah ayat dan sebab turunnya, sampai pada syarah ayat, baik dengan menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi, para sahabat dan tabi’in maupun dengan menggunakan pendapat mufassir sendiri sesuai dengan latar belakang sosial dan budayanya.[22]
Al-farmawi mengidentifikasi berbagai corak tafsir yang termasuk ke dalam kategori tahlili, yaitu:
a.       Al-tafsir bil ma’tsur antara lain seperti Jami’ al-Bayan fi Tafsiri Qur’an oleh al-thabari dan tafsir Al-Qur’an al-Azhim oleh Ibn Katsir,
b.      Al-tafsir bi al-ra’yi antara lain seperti mafatihu al-ghayb fakhrul din al-Razi dan anwarul tanzil oleh Al-Baydhawi.
c.       Al-tafsir al-shufi antara lain seperti tafsir al-Qur’an Al-Azhim oleh Tustari dan Haqa’iq al-Tafsir oleh al-salami
Langkah-langkah analisis metode tahlili meliputi: 1) Syarah kosakata atau penjelasan umum; 2) Susunan kalimat yang teliti; 3) Munasabah; 4) Asbab al-Nuzul; 5) Keterangan yang bersumber dari hadits; 6) menjelaskan ayat dengan ayat dan keterangan dari hadits; 7) Menjelaskan kandungan hukum suatu ayat, selain ayat-ayat hukum; 9)Memberikan simpulan mengenai isi dan maksud ayat tersebut.[23]
Tidak sedikit ulama menerapkan metode ini dalam menulis karya tafsirnya, karena metode tahlili memang memiliki keistimewaan tersendiri,antara lain sebagai berikut:
a.       Meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman kemukjizatan Al-Qur’an
b.      Pembaca dapat melihat runtut petunjuk Tuhan yang diberikan yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya
c.       Adanya potensi untuk memperkaya kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata ayat
d.      Penafsiran menyangkut berbagai aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalamsetiap ayat
e.       Analisis ayat yang dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan kecendrungan mufassir
f.       Memungkinkan penggalian munasabah Al-Qur’an
g.      Kajiannya sangat luas dan kaya akan argumentasi[24]
Adapun dalam mengelaborasi kandungan Al-Qur’an, metode ini memiliki kelemahan-kelamahan yaitu:
a.       Tidak mampu menyelesaikan suatu pokok masalah
b.      Gagal menjelaskan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang integral
c.       Sifat penafsiran metode ini parsial, serta kontradiktif di dalam kehidupan umat.
d.      Penafsiran yang menggunakan metode ini sangat teoritis, dan terasa mengikat
e.       Metode ini memberikan peluang masuknya bias atau kecendrungan mufasir[25]

2.      Ijmali
Tafsir Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan dengan makna global. Dalam sistematika urainnya, penafsir membahas ayat demi ayat sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan mudah dipahami semua orang.[26]
Dengan metode Ijmali, seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai dengan ayat terkhir dengan susunan ayat dan surat didalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti, makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam rangkaian ayat-ayat dengan menggunakan lafadz bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafadz  Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa urainya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.[27]
Penjelasan mufassir dalam metode ini sangat singkat. kosa kata yang dianggap sulit dijelaskan dengan mencari padanan katanya, atau dengan penjelasan singkat maksudnya. Kadan-kadang juga dijelaskan kedudukan kata perkata dalam struktur bahasa Arab (‘irab), mana mubtada, khabar, hal dan sebagainya. Biasanya ayat yang ditafsirkan diletakkan dalam dua tanda kurung, setelah kurung penutup langsung diberi penjelasan ringkas. [28]
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakna, mufasir juga merasa perlu untuk meneliti dan mengkaji Asbab Nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya ayat, meneliti hadits-hadits Nabi atau atsar dari orang-orang Shaleh terdahulu. Adapun kelebihannya adalah bahwa penyajian tafsir yang menggunakan metode ini membantu bagi pecinta Al-Qur’an yang tidak punya waktu luang yang banyak untuk belajar al-Qur’an secara detail, rinci dan mendalam, sebab yang disajikannya hanyalah kesimpulan dan pokok pikiran yang dirumuskan dalam al-Qur’an. Sedang bagi mereka yang mempunyai waktu luang yang banyak, tentu tafsir yang menggunakan metode ini kurang menarik, kendatipun ia tidak mengabaikannya.[29]
Contoh terbaik untuk kitab tafsir yang menggunakan metode ini antara lain: Muhammad Farid Wajdi, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jalal ad-Din Abu al-Fadhl ’Abdar-Rahman ibn Abi Bakr as-Sayuthi dan Jalal- Ad-Din Muhammad ibn Ahmadal-Muhalli, tafsir al-Jalalain

3.      Muqaran
Tafsir Muqaran adalah salah satu metode tafsir yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah mufassir. Di sini seorang mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an kemudian ia mengkaji dan meneliti penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir mereka, apakah mereka itu penafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah tafsir mereka adalah tafsir bi al-Matsur maupun tafsir bi al-ra’yi.[30]
Metode Muqaran juga diartikan sebagai metode dengan cara membandingkan sejumlah pendapat, kitab, dan teks tentang dan/atau yang berkaitan dengan al-Qur’an. Perbandingan tersebut dapat mencakup: 1) teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda baagi satu kasus yang sama; 2)ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits yang secara lahiriah terlihat bertentangan; dan 3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[31]
Dengan demikia, metode Muqaran mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya, anatara lain:
a.       Dapat diketahui harismatik seorang mufassir, yang didasari latar belakang tertentu
b.      Dapat mengetahui kesalah pahaman seorang mufassir
c.       Dapat membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak bertentangan antara satu  dengan yang lainnya
d.      Dapat membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an dari segi redaksi-redaksi yang berbeda.[32]
Sedang kelemahan-kelemahannya, antara lain:
a.       lebih banyak meitik beratkan pada penyelesaian pertentangan yang ditemukan dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
b.      metode tafsir ini mempergunakan potensi rasio
c.       hanya mau mengetahui perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan diantara para mufassir[33]

4.      Maudlu’i
Metode maudhu’i adalah metode tafsir yang didasarkan pada tema tertentu dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan secara penerapannya, metode penelitian tafsir maudhu’i mempunyai dua pengertian:
a.       Penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
b.      Penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.[34]
Metode tafsir maudhu’i  ini merupakan suatu metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an tentang suatu masalah dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tema dengan masalah yang sama, lalu ayat-ayat tersebut diurai, dijelaskan dan dianalisis dari segala seginya lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan untuk kemudian melahirkan konsep-konsep yang utuh dari Al-Qur’an tentang masalah tersebut. Adapun kelebihan metode tafsir maudhu’i ini adalah:
a.       Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b.      Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan permasalahan yang timbul.
c.       Dinamis: Metode tematik membuat tafsir al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan bayangan di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata sosial.
d.      Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode tafsir lain. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu permasalahan secara lebih baik dan tuntas.18
Sedangkan kekurangan metode tafsir maudhu’i antara lain :
a.       Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya: petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, maka mau tidak mau ayat tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b.      Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[35]
Sedangkan untuk langkah-langkah tafsir maudhu’i menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i. Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M. Quraiah Shihab yaitu:
a.       Menetapkan masalah yang akan dibahas
b.       Menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang berkaitan dengan masalah tersebut
c.         Menyusun urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
d.       Mempelajari atau memahami korelasi (munasabaat) masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah)
e.         Melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
f.        Menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal yang tidak berkaitan dengan pokok masalah
g.        Mempelajari semua ayat yang terpilih secara keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
h.        Menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah yang dibahas.[36]



BAB III
KESIMPULAN
Tafsir adalah ilmu yang memepelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW, berikut prnjelasan maknanya, serta pengambilan hukum serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang memebahas Al-Qur’anul Karim dari segi pengertaiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Ditinjau dari segi sumbernya, Tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1) Tafsir riwayat atau tafsir maktsur (atsar) adalah penafsiran Al-Qur’an atau Hadits atau ucapan sahabat untuk menjelaskan kepada sesuatu yang dikehendaki Allah Swt. Tafsir ini di bagi menjadi tiga yaitu tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Al-Qur’an dengan atsar yang timbul dari para sahabat. 2) Tafsir dirayah atau tafsir bir-ra’yu (dengan akal) yaitu Tafsir Al-Qur’an yang didasarkan atas sumber ijtihad dan pemikiran Mufassir terhadap tutuntunan bahasa arab dan kasusteraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber tadi. (Mana’ Al-Qathan). 3) Tafsir isyaroh atau tafsir isyari yaitu cara menafsikan Al-qur’an yang didasarkan atas perpaduan antar sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber ijtihad pikiran yang sehat.
Sedangkan metode penafsiran Al-Qur’an juga ada beberapa macam,yaitu: 1)Metode tahlili sesuai dengan artinya sebagai metode analisis dimaksudkan untuk menjelaskan ayat-ayat dari berbagai aspeknya. 2)Tafsir Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan dengan makna global. 3) Metode Muqaran juga diartikan sebagai metode dengan cara membandingkan sejumlah pendapat, kitab, dan teks tentang dan/atau yang berkaitan dengan al-Qur’an. 4) Metode tafsir maudhu’i  ini merupakan suatu metode tafsir yang berusaha mencari jawaban Al-Qur’an tentang suatu masalah dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tema dengan masalah yang sama.



[1]Muhammad Husain Adz-dzahabi, at-tafsir  wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub al-Haditsah, 1976), Jilid I, hlm. 13-15
[2]Prof. DR. Mardan, M.Ag, Al-Qur’an Sebuah Pengantar, (Jakarta: Mazhab Ciputat, 2010), hlm. 235-236
[3] Prof. DR. H. Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQAN Publishing, 2013), hlm. 171-172
[4] Prof. DR. H. Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah ………, hlm. 172
[5] Teungku Muhammad Hasbi AshShiddeieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: PT . Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 199
[6] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000). Hlm. 9
[7]Yunhar Ilyas, Feminisme dalam kajian tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997). Hlm. 15-17
[8] Muhammad Husain Adz-dzahabi,  at-Tafsir ………, hlm. 141-142
[9] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm 247
[10] Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, al-Tibyan  fiulum Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1979), hlm. 78
[11] Muhammad ‘Ali al-Shabuniy, al-Tibyan…….,hlm 132
[12] Teungku Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: PT. Pustaka Rizky Putra, 2002), hlm. 227
[13] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm.250
[14] Prof. DR. H. Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah ………, hlm. 180
[15] Teungku Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu………….., hlm.233
[16] Teungku Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu…………., hlm. 234
[17] Muhammad Husain Adz-dzahabi, at-tafsir ………….., hlm. 266-268
[18] Teungku Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu…………, hlm.247-249
[19] Manna Al-Qhaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 447
[20] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 251
[21] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 225
[22] DR. Munzir Haitami,M. A, Pengantar ……….., hlm. 45
[23] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 257
[24] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 257
[25] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 257
[26] Prof. DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 258
[27] Abd al-Hayy al-Afrmawi, metode tafsir maudhu’I, suatu pengantar, terjemahan Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawli Press, 1994), hlm. 29
[28] Prof. DR. H. Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah ………, hlm. 182
[29] Prof. DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 258-259
[30] Prof. DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 259
[31] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran……………, hlm. 65
[32] Prof. DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 260
[33] Prof. DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 260
[34] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 74
[35] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran………………, hlm. 152
[36] Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama(Yogyakarta: Tiara Wacana,  1989)  hal. 141

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates