Foto: Konsultasisyariah.com
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as dalam bahasa
Arab dengan segala macam kekayaan bahasanya. Di dalamnya terdapat penjelasan
mengenai dasar-dasar aqidah, kaidah-kaidah syariat, asas-asas perilaku,
menuntun manusia ke jalan yang paling lurus dalam pemikiran dan amal. Namun,
Allah SWT tidak menjamin perincian-perincian dalam masalah-masalah itu sehingga
banyak lafal Al-Qur’an yang membutuhkan tafsir, apalagi sering digunakan
susunan kalimat yang singkat namun luas pengertiannya. Dalam lafazh yang
sedikit saja dapat terhimpun sekian banyak makna. Untuk itulah diperlukan
penjelasan yang berupa tafsir Al-Qur’an.
Mempelajari
tafsir Al-Qur’an merupakan suatu yang urgen untuk mengetahui maksud Allah SWT
(dalam Al-Qur’an) tentu saja dengan batas kemampuan yang dimiliki menyangkut
perintah dan larangan yang telah disyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya, agar
menjalani kehidupan dunia yang lurus dan dapat mempersiapkan bekal yang cukup
untuk akhirat. Juga untuk menyentuh petunjuk Allah SWT, yang menyangkut akidah,
ibadah, dan akhlak dengan harapan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Mengingat
Al-Qur’an bagaikan lautan yang keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis dan
kecintaan kepadanya tidak pernah lapuk dari zaman, adalah sesuatu yang dapat
dipahami jika terdapat ragam metode untuk menafsirkannya. Kitab-kitab tafsir
yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan perhatian para
ulama untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an dan menerjemah
misi-misinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Secara etimologis,
tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran,berarti keterangan
dan penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagaimana terdapat dalam firman
Allah SWT:
wur y7tRqè?ù't @@sVyJÎ/ wÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·Å¡øÿs? ÇÌÌÈ
Artinya: “Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.”[1]
Dilihat dari bentuknya, kata tersebut adalah bentuk mashdar dari
kata kerja “fassara”. Secara leksial, kata kerja ”fassara-yufassiru-tafsiran”
bermakna wadhdhaha (menjelaskan), kasyf al-mughaththa’ (membuka
sesuatu yang tertutup), kasyf al-muradhi ‘an al-lafadz al-musykil
(mengungkapkan maksud yang dikehendaki oleh lafal yang musykil). Dengan
demikian, tafsir secara harfiah berarti menyingkap sesuatu yang tertutup atau
menjelaskan sesuatu makna dan membuka hijab yang meliputinya.”[2]
Dari segi terminologi, beberapa macam definisi dibuat oleh para
ulama. Berikut ini beberapa diantaranya:
1.
Abbu Hayyan:
Tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an
dan tentang arti dan makna dari
lafadz-lafadz tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta
hal-hal yang melengkapinya.
2.
Az-Zarkasyi
Tafsir
adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.
3.
Az-Zarqani
Tafsir
adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT
sebatas kemampuan manusia.[3]
Bedasarkan
ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir
adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.
Menurut
Az-Zarqani di atas juga menambahkan bahwa keterangan dan penjelasan tentang
maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia. Dalam menfsirkan
Al-Qur’an disamping dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para
mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, sosial budaya yang
berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan penafsiran mereka juga berbeda-beda.[4]
B. Sejarah Perkembangan Tafsir
Tidak dapat diragukan, bahwasannya tafsir telah melalui banyak
periode sehingga sampai kepada corak dan
bentuk yang sekarang ini yang dituang di dalam berbagai kitab dan karangan. Ada
yang sudah dicetak, dan ada yang masih dalam bentuk tulisan tangan. Tafsir
Al-Qur’an telah tumbuh di masa Nabi Muhammad SAW sendiri dan beliaulah penafsir
awal (Al-Mufassirul Awal) terhadap kitab Allah. Beliau menerangkan
maksud-maksud wahyu yang diturunkan kepadanya. Sahabat-sahabat Rasul yang
mulia, tidak ada yang berani menafsirkan Al-Qur’an ketika Rasul masih hidup.
Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan Al-Qur’an.[5]
Usaha menafsirkan Al-Qur’an dilanjutkan
pada zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali bin Abi Thalib (w.40 H), Abdullah Ibn
Abbas (w.68 H), Abdullah Ibn Mas’ud (w.32 H) dan Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H)
adalah di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.[6]
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama
menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain
saling menafsirkan; kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW,
sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an;
ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu
dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakan kepada Rasulullah SAW, para sahabat
berijtihad dengan bantuan pengetahuan Bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi
Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun
atau latar belakang ayat tersebut diturunkan dan dengan menggunakan kekuatan
penalaran mereka sendiri, baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula
menanyakan beberapa masalah, khusunya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang
tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk
agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam (w. 43 H), Ka’ab al-Ahbar (w.32 H) dan
lain-lain.[7]
Sesudah periode sahabat, datanglah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan
usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Disamping menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi, mereka juga merujuk kepada penafsiran para
sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kitab. Setelah itu
baru mereka mengembangkan penfsiran sendiri bedasarkan ijtihad. Pada masa tabi’in
ini, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok
menurut kota masing-masing.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin)
hadits di mana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab
sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-qur’an. Dalam perkembangan
selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab Hadits dan menjadi kitab sendiri
para ulama seperti Ibn Majah, Ibn JarirAth-Thabari, Abu Bakar ibn Al-Munzir
An-Naisaburi dan lain-lain mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisitafsir dari
Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan
itu sudah mencakup keseluruhan Ayat-ayat Al-qur’an dan disusun sesuai sistematika
mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufassir lain pada masa
awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian dikenal dengan bentuk at-tafsir
bi al-ma’tsur.[8]
C. Tafsir Al-Qur’an Bedasarkan Sumber
1.
Tafsir
bir Riwayah (Tafsir bil Ma’tsur)
Tafsir bil al-Ma’tsur, biasa
juga disebut Tafsir bil Al-Riwayat. Mengenai rumusan pengertian tafsir
ini, ulama telah mengemukakan pendapat mereka masing-masing, diantaranya:
a.
Muhammad’Ali
al-Syabuni mengemukakan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur berarti segala yang
datang dari Al-Qur’an atau sunnah, atau
perkataan sahabat. Sebagai keterangan maksud yang dikehendaki Allah Swt.
b.
Menurut
Al-Zarqani tafsir bi al-Ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan al-Sunnah, atau menafsirkan Al-Qur’an
dengan pendapat sahabat.
c.
Menurut
Manna Al-Qaththan, tafsir bi al-Ma’tsur berarti menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, atau Al-Qur’an dengan Al-Sunnah, yang ektensinya adalah untuk
menjelaskan kandungan kitab Allah SWT. Atau al-Qur’an dengan riwayat para
sahabat Nabi (karena mereka adalah manusia yang lebih tau tentang Kitab Allah
SWT), atau Al-Qur’an dengan nukilan para tabi’in besar (karena mereka lazimnya
menerima dari sahabat Nabi SAW).
d.
Al-Zahabi
menjelaskan bahwa tafsir bi al-Ma’tsur mencakup keterangan-keterangan
dan perincian-perincian yang ada dalam sebahagian ayat-ayat Al-Qur’an sendiri.
Dan apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. Demikian pula apa yang
dinukilkan dari sahabat Nabi serta dari tabiin yang merupakan keterangan dan
penjelasan tentang maksud nash-nash Al-Qur’an.[9]
Bedasarkan pendapat ulama tersebut pengertian tentang
tafsir bi al-Ma’tsur dapat dibagi menjadi empat bagian:
a.
Tafsir
Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an maksudnya adalah bahwa suatu ayat Al-Qur’an
dijelaskan oleh ayat lain, dimana Al-Qur’an sebagai petunujuk bagi manusia,
sebagian ayatnya merupakan penjelasan dari ayat yang lain. Maksudnya bahwa
suatu masalah, ternyata dijelaskan secara rinci oleh ayat lain. Oleh karena
itu, untuk memahami suatu ayat perlu dicari dahulu pada ayat yang lain yang
menjelaskannya. Contoh QS. Al-MAidah: 1
ôM¯=Ïmé&… Nä3s9 èpyJÍku5 ÉO»yè÷RF{$# wÎ) $tB 4n=÷Fã öNä3øn=tæ …
Artinya: “Dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu”.
Kalimat إٍلآَ مَا يُتْلَى عَلَيْكُم pada ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain,
QS. Al-maidah :3
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# !$tBur ¨@Ïdé& ÎötóÏ9 «!$# ¾ÏmÎ/ ….
Artinya:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah,”….
b.
Tafsir
Al-qur’an dengan sunnah Rasulullah SAW. Setelah menerima wahyu Allah diberikan
kewenangan oleh Allah SWT. Untuk
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Agar wahyu yang disampaikan kepada umat
manusia dapat menjadi jelas dan segera dipahami oleh mereka.
Menurut
al-Zarqani, Nabi SAW menjekaskan ayat-ayat Al-Qur’an, kepada sahabat-sahabatnya
melalui sabda-sabda beliau atau dengan perbuatan beliau dan atau ketetapannya
(taqrirnya). Contoh: QS.Al-Baqarah: 238
(#qÝàÏÿ»ym n?tã ÏNºuqn=¢Á9$# Ío4qn=¢Á9$#ur 4sÜóâqø9$# (#qãBqè%ur ¬! tûüÏFÏY»s% ÇËÌÑÈ
Artinya: “Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat
wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'.”
Kata al-wustha’ pada ayat tersebut ditafsirkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Dengan Shalat Ashar.[10]
c.
Tafsir
Al-Qur’an dengan nukilan dari sahabat Nabi. Menurut al-Hakim, tafsir sahabat
yang menafsirkan wahyu dan turunnya Al-Qur’an. Kedudukan hukumnya adalah marfu’.
Artinya bahwa tafsir sahabat tersebut mempunyai kedudukan sama dengan kedudukan
hadits Nabi SAW. Yang silsilahnya sampai kepada Nabi SAW. Oleh karena itu
tafsir sahabi adalah bernilai ma’tsur. Contoh: QS. Al-Anbiya:30
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
Artinya: “Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?”
Kalimat آنَّ
السَّمَوَت وَالأَرْضِ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَا هُمَا ditafsirkan
oleh sahabat Nabi (Ibn ‘Abbas) dengan mengatakan,”langit itu rapat tidak menuruknakan
hujan dan bumi pun rapat tidak mengeluarkan tumbuh-tumbuhan, maka tatkala Allah
menjadikan penduduk bumi, ia memecahkan langit dengan hujan dan bumi dengan
tumbuh-tumbuhan.[11]
d.
Tafsir
Al-Qur’an dengan nukilan tabi’in besar. Tabi’in yang secara langsung bergaul
dengan sahabat Nabi, dengan sendirinya banyak menerima riwayat melalui sahabat,
termasuk dalam hal riwayat menafsirkan al-Qur’an sehingga keterlibatan mereka
dalam menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an, juga tidak ketinggalan.
Tafsir-tafsir bil ma’tsur yang terkenal yaitu: tafsir
Ibnu Jarir, tafsir Abu Laits As-Samarkandy, Tafsir Ad-Dararul Matsur fit Tafsiri
bil Matsur, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Bughawy, Tafsir Baqy Ibn Makhlad,
Asbabun Nuzul susunan Al-Wahidy, An-Nasikh wal mansukh, karya Abu Ja’far
An-Nahhas.[12]
2.
Tafsir
bir Ra’yi (Tafsir bil al-Dirayah)
Yang
dimaksud dengan Tafsir bir Ra’yi, para ulama telah memberikan definisi,
diantaranya:
Menurut
al-Shabuni, Tafsir bir Ra’yi berarti tafsir yang bedasarkan ijtihad
dengan berpegang kepada prinsip-prinsip yang benar dan kaidah-kaidah yang
benar, yang umum berlaku, yang wajib dimiliki kepada siapa saja yang mau terjun
langsung ke dalam dunia menafsirkan Al-Qur’an, atau siapa saja yang mau
menyingkap keterangan-keterangan arti ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut Ibrahim Mazhkur, Tafsir bir Ra’yi
adalah tafsir Al-Qur’an yang bedasarkan Ijtihad Mufasir yang didukung oleh
kemampuan mereka berbahasa Arab dalam berbagai aspeknya, lafil, dalilnya,
syair-syair jahiliyahnya, demikian pula Asbabun Nuzulnya, nasikh mansukh dan
lain-lain. [13]
Bedasarkan
pengertian di atas Tafsir bir Ra’yi adalah menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa
meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan Hadits dan tidak
pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. [14]
Urusan-urusan
yang wajib disandarkan ijtihad kepadanya dalam menafsirkan Al-Qur’an telah
dinukilkan oleh As Sayuthi dalam kitab Al-Itqan
dari Az Zarkasyi yang kesimpulannya sebagai berikut:
a.
Nukilan
dari Rasulullah Saw. dengan menghindari yang Dha’if dan yang maudhu’
b.
Pendapat
sahabat, mengenai pendapat sahabat ini ada yang menggolongkan kedalam hadits
marfu’, ada yang mengkhususkan yang demikian dengan Ababun Nuzul dan
pendapat-pendapat yang tidak dapat dicapai dengan ijtihad saja.
c.
Ilmu
bahasa dengan memelihara diri dari memalingkan ayat kepada makna-makna yang
berlawanan dengan kehendak syara’ terkecuali makna yang sudah banyak dipakai
oleh bangsa Arab sendiri.
d.
Pengertian
yang dikehendaki oleh susunan pembicaraan dan ditunjuki pula dengan
ketentuan-ketentuan syara. Maka inilah yang dikatakan takwil.[15]
Sedangkan syarat-syarat utama yang harus diperhatikan dari Tafsir
bir Ra’yi adalah:
a.
Penafsiran
tidak boleh kontradiktif dengan nash-nash yang ada.
b.
Tafsir
yang dikenal itu masih dalam kaitan dengan pengetahuan kebahasaan (Bahasa
Arab), terutama bahasa Arab yang dimiliki orang-orang Arab ketika Al-Qur’an
diturunkan.
c.
Tidak
bermaksud mendukung suatu aliran
d.
Dapat
didukung oleh metode-metode yang ada dan dapat diuji kebenarannya dengan
metode-metode yang lain.
Maka tafsir dengan ijtihad yang dapat diterima, ialah memperhatikan
riwayat-riwayat yang dinukilkan dari Rasulullah, para sahabat yang menjadi
pelita bagi para mufasirin dalam menafsirkan Al-Qur’an, sedang penafsir itu
pula mengetahui tata bahasa, mendalami uslub-uslubnya, sebagaimana mempunyai
ilmu yang dalam tentang ketentuan-ketentuan syariat. Sedangkan hal-hal yang
harus dijauhi dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihad, ialah memberanikan
diri menerangkan maksud Allah sedang kita tidak mengetahui tata bahasa dan
hukum syari’at di antaranya, menerapkan kalam illahi kepada keinginan
mazhab-mazhab yang salah, dan membicarakan sesuatu yang sebenarnya hanya Allah
sendiri yang mengetahuinya, atau menetapkan secara pasti, bahwa itulah yang
Allah kehendaki tanpa adanya dalil.[16] Pandangan
ulama mengenai tafsir bi ar-ra’yi, antara lain:
a.
Yang
membolehkan tafsir bi ar-ra’yi, mempunyai alasan bahwa Allah Swt,
menghendaki agar manusia memahami ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dan agar
orang-orang yang berakal mengambil pelajaran padanya, sesuai dengan firman
Allah dalam QS.Shad:29
ë=»tGÏ. çm»oYø9tRr& y7øs9Î) Ô8t»t6ãB (#ÿrã/£uÏj9 ¾ÏmÏG»t#uä t©.xtFuÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇËÒÈ
Artinya :”Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya
mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”
b.
Ulama
yang melarangnya dipelopori oleh Ahmad Mushthafa’ al-Maraghi. Ia berpendapat
bahwa tafsir bi ar-ra’yi itu secara langsung menyatakan kepada Allah
sesuatu tanpa pengetahuan dan hal seperti ini dilarang oleh Allah SWT.
Sebagaimana firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 169
br&ur… (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÊÏÒÈ
Artinya: “…dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui.”
Menurut jumhur ulama, penafsiran dengan ra’yu mempunyai syarat,
yaitu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab dengan berbagai
aspeknya, mengetahui Asbabun Nuzul, nasikh mansukh, ilmu fikih, ilmu hadits dan
ilmu-ilmu muhibah
Secara
lengkap menurut Muhammad Husain Az-Dzahabi, ada beberapa ilmu yang dikuasai
mufasir apabila akan melakukan tafsir bi ar-ra’yi yaitu:
a.
Ilmu
Bahasa Arab, untuk dapat memahami dan menjelaskan kosa kata tertentu yang
ditafsirkan.
b.
Ilmu
Nahwu, karena makna kalimat bias berubah dan berbeda dengan perubahan I’rab
c.
Ilmu
Sharf, agar mufasir dapat memahami perubahan bentuk-bentuk kata
d.
Ilmu
Isytiqaa, untuk mengetahui asal-usul kata, karena jika sebuah kata berasal dari
dua asal kata yang berbeda, akan berbeda pula maknanya, spertikata Al-Masih,
apakah berasal dari Al-Siyahah atau Al-Mashu.
e.
Ilmu
Balaghah (Ma’ani, Bayan dan Badi’), seorang mufasir tidak akan dapat
menjelaskan i’jaz lughawi Al-Qur’an tanpa mengetahui ilmu ini.
f.
Ilmu
Qira’at, karena dengan menguasai ilmu ini dapat memilih salah satu dari versi
qiraah yang berbeda.
g.
Ilmu
Ushuluddin,untuk menjelaskan masalah-masalah Aqidah.
h.
Ilmu
Ushul Fiqh, untuk mengetahui bagaimana istinbath hukum dari ayat-ayat hukum.
i.
Ilmu
Asbabun Nuzul, karena dengan mengetahui Asbabun Nuzul seorang mufasir dapat
terbantu untuk memahami ayat.
j.
Ilmu
Kisah-kisah, karena dengan mengetahui kisah-kisah secara lebih detail dia dapat
memahami peristiwa yang dijelaskan secara umum oleh Al-Qur’an.
k.
Ilmu
nasikh dan mansukh, agar
tidak salah menetapkan suatu hukum.
l.
Ilmu
tentang Hadits-hadits yang dapat menjelaskan mana yang mujmaldan mubham.
m.
Ilmu
Mauhibah, yaitu ilmu yang diberikan oleh Allah SWT kepada orang yang mau
mengamalkan ilmu yang didapatnya.[17]
Diantara kitab-kitab tafsir bir ra’yi yaitu: tafsir
Al-Jalalain, tafsir Al-Bhaidawy, tafsir al-fahkrur Razy, tafsir Abu Suud,
tafsir Al-Alusy, tafsir An-Naisaburi, tafsir An-Nasafy, tafsir Al-Khatib.[18]
3.
Tafsir
bil Isyarah (Tafsir Isyari)
Menurut kaum syuf, riyadhah ruhani atau spiritual yang
dilakukan seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan
di mana ia dapat menyingkap isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik
ungkapan-ungkapan Al-Qur’an. Limpahan kegaiban akan tercurah ke dalam hatinya.
Demikian juga pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah
yang disebut tafsir Isyari. Artinya, setiap ayat mempunyai makna lahir
dan batin. Yang lahir adalah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran,
sedangkan yang batin ialah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat yang
tentunya hanya bisa tampak bagi ahli suluk. Tafsir bil Isyarah (Tafsir
Isyari) ini jika memasuki isyarat-isyarat yang samar akan menjadi suatu
kesesatan, tetapi selama ia merupakan istinbath (kesimpulan hukum) yang
baik dan sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh zahir bahasa Arab serta
didukung oleh bukti keshahihannya, tanpa pertentangan maka ia dapat diterima.[19]
Dengan demikian, dalam Tafsir Isyari, penafsir hendakknya
menafsirkan makna-makna yang lain, selain makna-makna yang tampak pada ayat
tersebut. Namun makna-makna tersebut tidak akan tampak kecuali bagi mereka yang
telah dibukakan oleh Allah hatinya, dan diberi cahaya pandangan-Nya yang
shaleh, yang mendapat anugrah pengertian dan pengetahuan langsung dari Allah
Swt. Hal ini sesuai surat Al-Kahfi:65
#yy`uqsù #Yö6tã ô`ÏiB !$tRÏ$t6Ïã çm»oY÷s?#uä ZpyJômu ô`ÏiB $tRÏZÏã çm»oY÷K¯=tæur `ÏB $¯Rà$©! $VJù=Ïã ÇÏÎÈ
Artinya “Lalu mereka
bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami”
Ilmu semacam ini tidak termasuk ilmu kasbi, yang dicapai
melalui tuntutan dan belajar dengan mendalam. Akan tetapi ia adalah ilmu ladunni
atau wahhabi, sebagai buah taqwa, istiqamah, dan kebaikan amal.
Ulama berbeda pendapat tentang Tafsir Isyari. Diantara mereka, ada yang
membolehkan dan sebagian mereka ada yang melarang. Yang membolehkan mengatakan
bahwa penafsirannya isyariah ayat-ayat Al-Qur’an termasuk dari sempurnanya iman
dan penyuluhan ilmiah, sebaliknya ada yang beranggapan bahwa Tafsir Isyari dapat
menyesatkan dan menyelewengkan orang dari agama Allah.[20]
Untuk lebih jelasnya Tafsir Isyari tidak akan diterima
kecuali memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Tidak
menafikkan arti lahir ayat
b.
Tidak
menyatakan bahwa artinya hanya itu saja tanpa
mengakui yang lahir
c.
Ta’wil
tidak boleh terlalu jauh dan keluar dari kandungan Ayat, ia harus sesuai dengan
dalil-dalil syar’i dan kaidah-kaidah bahasa Arab dalam berbagai aspeknya
d.
tidak
bertentangan dengan syar’i dan akal sehat tidak mengacaukan pengertian ulama
Diantara kitab-kitab Tafsir Isyari yang terkenal adalah:
a.
al-Kasyfu
wa Al-Bayan, oleh Ahmas
bin Ibrahim Al-Naysaburi, yang dikenal dengan tafsiral-Naysaburi
b.
Ruh
Al-Ma’ani oleh syahibuddin Muhammad Al-Alusi,
yang dikenal dengan tafsir Al-Alusi.
D. Metode Penyajian Tafsir Al-Qur’an
1.
Tahlili
Tafsir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya dengan
memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana yang tercantum dalam
mushaf.[21]
Metode tahlili sesuai dengan artinya sebagai metode analisis dimaksudkan
untuk menjelaskan ayat-ayat dari berbagai aspeknya dan mengungkapkan setiap sasarannya
dengan rinci, ayat demi ayat surat demi surat, sesuai dengan urutan yang
tercantum dalam mushaf Al-Qur’an. Langkah-langkahnya dimulai dari pembahasan kosa
kata, baik dari sudut makna dan bahasannya maupun dari sudut qira’at dan
konteksnya dalam struktur ayat, kemudian penjelasan munasabah ayat dan sebab
turunnya, sampai pada syarah ayat, baik dengan menggunakan riwayat-riwayat dari
Nabi, para sahabat dan tabi’in maupun dengan menggunakan pendapat mufassir
sendiri sesuai dengan latar belakang sosial dan budayanya.[22]
Al-farmawi mengidentifikasi berbagai corak tafsir yang termasuk ke
dalam kategori tahlili, yaitu:
a.
Al-tafsir
bil ma’tsur antara lain
seperti Jami’ al-Bayan fi Tafsiri Qur’an oleh al-thabari dan tafsir
Al-Qur’an al-Azhim oleh Ibn Katsir,
b.
Al-tafsir
bi al-ra’yi antara lain
seperti mafatihu al-ghayb fakhrul din al-Razi dan anwarul tanzil oleh
Al-Baydhawi.
c.
Al-tafsir
al-shufi antara lain seperti tafsir
al-Qur’an Al-Azhim oleh Tustari dan Haqa’iq al-Tafsir oleh al-salami
Langkah-langkah analisis metode tahlili meliputi: 1) Syarah
kosakata atau penjelasan umum; 2) Susunan kalimat yang teliti; 3) Munasabah; 4)
Asbab al-Nuzul; 5) Keterangan yang bersumber dari hadits; 6) menjelaskan ayat
dengan ayat dan keterangan dari hadits; 7) Menjelaskan kandungan hukum suatu
ayat, selain ayat-ayat hukum; 9)Memberikan simpulan mengenai isi dan maksud
ayat tersebut.[23]
Tidak sedikit ulama menerapkan metode ini dalam menulis karya
tafsirnya, karena metode tahlili memang memiliki keistimewaan
tersendiri,antara lain sebagai berikut:
a.
Meletakkan
dasar-dasar rasional bagi pemahaman kemukjizatan Al-Qur’an
b.
Pembaca
dapat melihat runtut petunjuk Tuhan yang diberikan yang diberikan kepada Nabi
Muhammad Saw. dan umatnya
c.
Adanya
potensi untuk memperkaya kata-kata melalui usaha penafsiran terhadap kosakata
ayat
d.
Penafsiran
menyangkut berbagai aspek yang dapat ditemukan oleh mufassir dalamsetiap ayat
e.
Analisis
ayat yang dilakukan secara mendalam sejalan dengan keahlian, kemampuan dan
kecendrungan mufassir
f.
Memungkinkan
penggalian munasabah Al-Qur’an
g.
Kajiannya
sangat luas dan kaya akan argumentasi[24]
Adapun dalam mengelaborasi kandungan Al-Qur’an, metode ini memiliki
kelemahan-kelamahan yaitu:
a.
Tidak
mampu menyelesaikan suatu pokok masalah
b.
Gagal
menjelaskan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang integral
c.
Sifat
penafsiran metode ini parsial, serta kontradiktif di dalam kehidupan umat.
d.
Penafsiran
yang menggunakan metode ini sangat teoritis, dan terasa mengikat
e.
Metode
ini memberikan peluang masuknya bias atau kecendrungan mufasir[25]
2.
Ijmali
Tafsir Ijmali adalah suatu
metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara mengemukakan
dengan makna global. Dalam sistematika urainnya, penafsir membahas ayat demi ayat
sesuai dengan susunan yang ada dalam mushaf; kemudian mengemukakan makna global
yang dimaksud ayat tersebut. Makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam
rangkaian ayat-ayat atau menurut pola-pola yang diakui oleh jumhur ulama, dan
mudah dipahami semua orang.[26]
Dengan metode Ijmali, seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai dengan ayat terkhir
dengan susunan ayat dan surat didalam mushaf dengan bahasa yang populer dan
mudah dimengerti, makna yang diungkapkan biasanya diletakkan didalam rangkaian
ayat-ayat dengan menggunakan lafadz bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafadz Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa
urainya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.[27]
Penjelasan mufassir dalam metode ini sangat singkat. kosa kata yang
dianggap sulit dijelaskan dengan mencari padanan katanya, atau dengan
penjelasan singkat maksudnya. Kadan-kadang juga dijelaskan kedudukan kata perkata
dalam struktur bahasa Arab (‘irab), mana mubtada, khabar, hal dan
sebagainya. Biasanya ayat yang ditafsirkan diletakkan dalam dua tanda kurung, setelah
kurung penutup langsung diberi penjelasan ringkas. [28]
Untuk mencapai tujuan yang dicita-citakna, mufasir juga merasa perlu
untuk meneliti dan mengkaji Asbab Nuzul atau peristiwa yang melatar belakangi turunnya
ayat, meneliti hadits-hadits Nabi atau atsar dari orang-orang Shaleh terdahulu.
Adapun kelebihannya adalah bahwa penyajian tafsir yang menggunakan metode ini membantu
bagi pecinta Al-Qur’an yang tidak punya waktu luang yang banyak untuk belajar
al-Qur’an secara detail, rinci dan mendalam, sebab yang disajikannya hanyalah kesimpulan
dan pokok pikiran yang dirumuskan dalam al-Qur’an. Sedang bagi mereka yang
mempunyai waktu luang yang banyak, tentu tafsir yang menggunakan metode ini
kurang menarik, kendatipun ia tidak mengabaikannya.[29]
Contoh terbaik untuk kitab tafsir yang menggunakan metode ini
antara lain: Muhammad Farid Wajdi, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Jalal
ad-Din Abu al-Fadhl ’Abdar-Rahman ibn Abi Bakr as-Sayuthi dan Jalal- Ad-Din Muhammad
ibn Ahmadal-Muhalli, tafsir al-Jalalain
3.
Muqaran
Tafsir Muqaran adalah salah satu metode tafsir yang mengemukakan
penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah mufassir. Di sini seorang
mufassir menghimpun sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an kemudian ia mengkaji dan meneliti
penafsiran sejumlah mufassir mengenai ayat tersebut melalui kitab-kitab tafsir
mereka, apakah mereka itu penafsir dari generasi salaf maupun khalaf, apakah
tafsir mereka adalah tafsir bi al-Matsur maupun tafsir bi al-ra’yi.[30]
Metode Muqaran juga diartikan sebagai metode dengan cara
membandingkan sejumlah pendapat, kitab, dan teks tentang dan/atau yang
berkaitan dengan al-Qur’an. Perbandingan tersebut dapat mencakup: 1) teks
ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda baagi satu kasus yang sama;
2)ayat-ayat Al-Qur’an dengan Hadits yang secara lahiriah terlihat bertentangan;
dan 3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.[31]
Dengan demikia, metode Muqaran mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Kelebihannya, anatara lain:
a.
Dapat
diketahui harismatik seorang mufassir, yang didasari latar belakang tertentu
b.
Dapat
mengetahui kesalah pahaman seorang mufassir
c.
Dapat
membuktikan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya
d.
Dapat
membuktikan kemukjizatan Al-Qur’an dari segi redaksi-redaksi yang berbeda.[32]
Sedang kelemahan-kelemahannya, antara lain:
a.
lebih
banyak meitik beratkan pada penyelesaian pertentangan yang ditemukan dalam penafsiran
ayat-ayat Al-Qur’an
b.
metode
tafsir ini mempergunakan potensi rasio
c.
hanya
mau mengetahui perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan diantara para mufassir[33]
4.
Maudlu’i
Metode maudhu’i adalah metode tafsir yang didasarkan pada
tema tertentu dari ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan secara penerapannya, metode
penelitian tafsir maudhu’i mempunyai dua pengertian:
a.
Penafsiran menyangkut
satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan
yang merupakan tema ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan
juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai
masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
b.
Penafsiran yang
bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin diurut sesuai
dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat
tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh tentang masalah yang
dibahas itu.[34]
Metode tafsir maudhu’i ini merupakan suatu metode tafsir yang berusaha
mencari jawaban Al-Qur’an tentang suatu masalah dengan jalan menghimpun seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tema dengan masalah yang sama, lalu ayat-ayat
tersebut diurai, dijelaskan dan dianalisis dari segala seginya lewat ilmu-ilmu bantu
yang relevan untuk kemudian melahirkan konsep-konsep yang utuh dari Al-Qur’an
tentang masalah tersebut. Adapun kelebihan metode tafsir maudhu’i
ini adalah:
a.
Menjawab tantangan zaman: Permasalahan dalam
kehidupan selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan itu
sendiri. Maka metode maudhu’i sebagai upaya metode penafsiran untuk menjawab
tantangan tersebut. Untuk kajian tematik ini diupayakan untuk menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
b.
Praktis dan sistematis: Tafsir dengan metode
tematik disusun secara praktis dan sistematis dalam usaha memecahkan
permasalahan yang timbul.
c.
Dinamis: Metode tematik membuat tafsir
al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan
bayangan di dalam pikiran pembaca dan pendengarnya bahwa al-Qur’an senantiasa
mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan
strata sosial.
d.
Membuat pemahaman menjadi utuh: Dengan
ditetapkannya judul-judul yang akan dibahas, maka pemahaman ayat-ayat al-Qur’an
dapat diserap secara utuh. Pemahaman semacam ini sulit ditemukan dalam metode
tafsir lain. Maka metode tematik ini dapat diandalkan untuk pemecahan suatu
permasalahan secara lebih baik dan tuntas.18
Sedangkan kekurangan
metode tafsir maudhu’i antara lain :
a.
Memenggal ayat al-Qur’an: Yang dimaksud
memenggal ayat al-Qur’an ialah suatu kasus yang terdapat di dalam suatu ayat
atau lebih mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya: petunjuk
tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersama dalam
satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, maka mau tidak mau ayat
tentang shalat harus di tinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar tidak
mengganggu pada waktu melakukan analisis.
b.
Membatasi pemahaman ayat: Dengan diterapkannya
judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan
yang dibahas tersebut. Akibatnya mufassir terikat oleh judul itu. Padahal tidak
mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek, karena dinyatakan
Darraz bahwa, ayat al-Qur’an itu bagaikan permata yang setiap sudutnya
memantulkan cahaya. Jadi, dengan diterapkannya judul pembahasan, berarti yang
akan dikaji hanya satu sudut dari permata tersebut.[35]
Sedangkan untuk langkah-langkah tafsir maudhu’i
menurut al-Farmawi bahwa ada tujuh langkah dalam sistimatika tafsir maudhu’i. Kemudian tujuh langkah tersebut dikembangkan oleh M.
Quraiah Shihab yaitu:
a.
Menetapkan masalah yang akan dibahas
b.
Menghimpun seluruh ayat-ayat At-qur’an yang
berkaitan dengan masalah tersebut
c.
Menyusun
urut-urutan ayat terpilih sesuai dengan perincian masalah dan atau masa
turunnya, sehingga terpisah antara ayat Makkiy dan Madaniy. Hal ini untuk
memahami unsur pentahapan dalam pelaksanaan petunjuk-petunjuk Alquran
d.
Mempelajari atau memahami korelasi (munasabaat)
masing-masing ayat dengan surah-surah di mana ayat tersebut tercantum (setiap
ayat berkaitan dengan terma sentral pada suatu surah)
e.
Melengkapi
bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas
f.
Menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang
sempurna sesuai dengan hasil studi masa lalu, sehingga tidak diikutkan hal-hal
yang tidak berkaitan dengan pokok masalah
g.
Mempelajari semua ayat yang terpilih secara
keseluruhan dan atau mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus, yang
mutlak dan yang relatif, dan lain-lain sehingga kesemuanya bertemu dalam
muara tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran
h.
Menyusun
kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai jawaban Alquran terhadap masalah
yang dibahas.[36]
BAB III
KESIMPULAN
Tafsir adalah
ilmu yang memepelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW,
berikut prnjelasan maknanya, serta pengambilan hukum serta hikmah-hikmahnya.
Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang memebahas
Al-Qur’anul Karim dari segi pengertaiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan
kemampuan manusia.
Ditinjau dari
segi sumbernya, Tafsir Al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1) Tafsir riwayat atau tafsir maktsur (atsar)
adalah penafsiran Al-Qur’an atau Hadits atau ucapan sahabat untuk menjelaskan
kepada sesuatu yang dikehendaki Allah Swt. Tafsir ini di bagi menjadi tiga
yaitu tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah, Al-Qur’an dengan
atsar yang timbul dari para sahabat. 2) Tafsir dirayah
atau tafsir bir-ra’yu (dengan akal) yaitu Tafsir Al-Qur’an yang didasarkan atas
sumber ijtihad dan pemikiran Mufassir terhadap tutuntunan bahasa arab dan
kasusteraannya, teori ilmu pengetahuan, setelah dia menguasai sumber-sumber
tadi. (Mana’ Al-Qathan). 3) Tafsir isyaroh
atau tafsir isyari yaitu cara menafsikan Al-qur’an yang didasarkan atas
perpaduan antar sumber tafsir riwayah yang kuat dan shahih dengan sumber
ijtihad pikiran yang sehat.
Sedangkan
metode penafsiran Al-Qur’an juga ada beberapa macam,yaitu: 1)Metode tahlili sesuai dengan artinya sebagai metode analisis
dimaksudkan untuk menjelaskan ayat-ayat dari berbagai aspeknya. 2)Tafsir
Ijmali adalah suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
dengan cara mengemukakan dengan makna global. 3) Metode
Muqaran juga diartikan sebagai metode dengan cara membandingkan sejumlah
pendapat, kitab, dan teks tentang dan/atau yang berkaitan dengan al-Qur’an. 4) Metode tafsir maudhu’i ini merupakan suatu metode tafsir yang berusaha
mencari jawaban Al-Qur’an tentang suatu masalah dengan jalan menghimpun seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai tema dengan masalah yang sama.
[1]Muhammad Husain
Adz-dzahabi, at-tafsir wa
al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub al-Haditsah, 1976), Jilid I, hlm. 13-15
[2]Prof. DR.
Mardan, M.Ag, Al-Qur’an Sebuah Pengantar, (Jakarta: Mazhab Ciputat,
2010), hlm. 235-236
[3] Prof. DR. H.
Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: ITQAN
Publishing, 2013), hlm. 171-172
[4] Prof. DR. H.
Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah ………, hlm. 172
[5] Teungku
Muhammad Hasbi AshShiddeieqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Semarang: PT .
Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 199
[6] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000). Hlm. 9
[7]Yunhar Ilyas, Feminisme
dalam kajian tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997). Hlm. 15-17
[8] Muhammad
Husain Adz-dzahabi, at-Tafsir
………, hlm. 141-142
[9] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm 247
[10] Muhammad ‘Ali
al-Shabuniy, al-Tibyan fiulum
Al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Irsyad, 1979), hlm. 78
[11] Muhammad ‘Ali
al-Shabuniy, al-Tibyan…….,hlm 132
[12] Teungku
Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: PT. Pustaka
Rizky Putra, 2002), hlm. 227
[13] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm.250
[14] Prof. DR. H.
Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah ………, hlm. 180
[15] Teungku
Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu………….., hlm.233
[16] Teungku
Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu…………., hlm. 234
[17] Muhammad
Husain Adz-dzahabi, at-tafsir ………….., hlm. 266-268
[18] Teungku
Muhammad Hasbi AshShddieqy, Ilmu-Ilmu…………, hlm.247-249
[19] Manna
Al-Qhaththan, Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), hlm. 447
[20] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 251
[21] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 225
[22] DR. Munzir
Haitami,M. A, Pengantar ……….., hlm. 45
[23] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 257
[24] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 257
[25] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 257
[26] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, AlQur’an…………., hlm. 258
[27] Abd al-Hayy
al-Afrmawi, metode tafsir maudhu’I, suatu pengantar, terjemahan Suryan
A. Jamrah, (Jakarta: Rajawli Press, 1994), hlm. 29
[28] Prof. DR. H.
Yunahar Ilyas, LC., M.A, Kuliah ………, hlm. 182
[29] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 258-259
[30] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 259
[31] Nashruddin Baidan,
Metodologi Penafsiran……………, hlm. 65
[32] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 260
[33] Prof.
DR.Mardan. M.Ag, Al-Qur’an…………., hlm. 260
[34] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1992), hlm. 74
[35] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran………………, hlm.
152
[36] Abdullah, Taufiq dan Karim, Rush (ed), Metodologi Penelitian Agama(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989) hal. 141

0 komentar:
Posting Komentar