HADIST
BUKHARI 5651
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Marah
merupakan suatu emosi penting yang mempunyai fungsi esensial bagi kehidupan
manusia, yakni membantunya dalam menjaga dirinya. Pada waktu seseorang sedang
marah, energinya guna melakukan upaya fisik yang keras semakin meningkat. Ini
memungkinkannya untuk mempertahankan diri atau menaklukkan segala hambatan yang
menghadang di jalan dalam upayanya untuk merealisasikan tujuan-tujuannya.[1]
Marah
dikeluarkan oleh kesombongan yang tersembunyi di bagian paling dalam di dalam
hati setiap orang garang dan keras kepala. Di antara produk kemarahan adalah
iri dan dengki. Pangkalan keduanya pada segumpal daging, jika dia baik, maka
baik pula sekujur tubuh. Jika kedengkian, rasa iri, dan amarah adalah di antara
pemyebab yang menggiring hamba ke kawasan kebinasaan, maka alangkah dia sangat
membutuhkan pengetahuan tentang kebinasaan dan keburukan-keburukannya agar
waspada menghadapi semua itu, menjagainya, membuangnya dari lubuk hati jika
memang ada dan meniadakannya.[2] Nabi Shallallahu ‘alaihi was sallam bersabda:
Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah
mengabarkan kepada kami Abu Bakr yaitu Ibnu Ayyasy dari Abu Hashin dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?"
beliau bersabda: "Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi
kata-katanya, beliau tetap bersabda: "Janganlah kamu marah." (HR.
Bukhari No. 5651)
Marah adalah emosi yang paling sering muncul dalam
pembicaraan sehari-hari karena masyarakat umumnya mengidentikkan istilah
emosi dengan marah. Dalam perspektif psikologi, memendam amarah bsa menimbulkan
kegoncangan mental. Menarik untuk disimak bahwa ketika membahas emosi, para
ahli tidak memulainya dengan definisi yang lazim, pembahasan tentang emosi
biasanya diawali dengan contoh-contoh konkrit dalam kehidupan sehari-hari yang
nyata dirasakan, baik dalam kesendirian maupun dalam keramaian.
Sesuai dengan fakta yang ada bahwa, pada hakikatnya
setiap orang mempunyai kadar kecerdasan dan kecenderungan emosi yang berbeda
satu sama lain. Karena mulai bangun tidur di pagi hari hingga menjelang tidur
pada malam harinya, setiap orang mengalami berbagai pengalaman yang menimbulkan
berbagai emosi. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba
menganalisispemahaman hadits Bukhari no.5651 tentang mewaspadai marah.
B. Rumusan
Masalah
a.
Bagaimana Kritik Historis Hadits Riwayat
Bukhari Nomor 5651?
b.
Bagaimana Kajian linguistik Hadits Riwayat
Bukhari Nomor 5651?
c.
Bagaimana Kajian tematis komprehensif Hadits
Riwayat Bukhari Nomor 5651?
d.
Bagaimana Kajian konfirmatif Hadits Riwayat
Bukhari Nomor 5651?
e.
Bagaimana
Analisis Realitas Historis Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651?
B. Tujuan
Penulisan
a.
Mengetahui Kritik Historis Hadits Riwayat
Bukhari Nomor 5651.
b.
Mengetahui Kajian linguistik Hadits Riwayat
Bukhari Nomor 5651.
c.
Mengetahui Kajian tematis komprehensif Hadits
Riwayat Bukhari Nomor 5651.
d.
Mengetahui Kajian konfirmatif Hadits Riwayat
Bukhari Nomor 5651.
e.
Mengetahui
Analisis Realitas Historis Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Takhrij Al-Hadits
1.
Teks Hadits tentang Marah (Ghadab)
Marah (Ghadab)
adalah
sikap emosi karena adanya pendapat yang bertentangan dengan kemauannya. Marah
juga berarti suatu kondisi kejiwaan seseorang yang tidak senang terhadap
sesuatu, karena tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Terkait dengan marah, dalam kitab Shahih Bukhari, kitab Adab
Bab Mewaspadai marah (الحذر من الغضب) no. 5651 disebutkan
hadits tentang wasiat Rasulullah kepada para sahabatnya untuk jangan marah (Ghadab).Teks
Hadits tersebut yaitu:
حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي
حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا
تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya:
“Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami
Abu Bakr yaitu Ibnu Ayyasy dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu
'alaihi wasallam; "Berilah aku wasiat?" beliau bersabda:
"Janganlah kamu marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau
tetap bersabda: "Janganlah kamu marah." (HR. Bukhari: 5651)
2. Takhrij Al-Hadits
Para
ahli hadis sepakat bahwa penelitian sanad merupakan bagian penting dalam rangka
penelitian hadis, disebabkan oleh faktor-faktor diantaranya: hadis
sebagai sumber ajaran Islam, hadis tidak seluruhnya tertulis pada masa Nabi saw.
hidup, munculnya pemalsuan hadis, dan proses perhimpunan hadis yang dikenal
dengan tadwin.[3]
Dalam
penelitin hadis diperlukan acuan, yaitu kesahihan hadis, salah seorang ulama’
hadis merumuskan kaedah kesahihan hadis. Beliau adalah Abu Usman bin
‘Abdurrahman bin al-Salah. Rumusan yang dikemukakannya adalah: “hadis shahih
ialah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang yang ‘adil
dan dhabit sampai akhir sanad serta tidak terdapat syaz
(kejanggalan) dan ‘illat (cacat)”.[4]
Sedangkan
kegiatan awal dari penelitian hadis ialah Takhrij al-Hadis (mengeluarkan
hadis untuk dikaji) dari sudut bahasa, berarti berkumpulnya dua hal yang
bertentangan dalam satu persoalan. Kata takhrij juga memiliki beberapa arti
lain yaitu : al-Istinbath atau mengeluarkan dari sumbernya, al-Tadrib
atau latihan, al-Taujih atau pengarahan, menjelaskan duduk persoalan.[5]
Takhrij
al-Hadist bisa dilakukan dengan dua macam
cara, Pertama, Takhrij al-Hadis Bi al-Lafdh, yaitu upaya pencarian hadis
pada kitab-kitab hadis dengan cara menelusuri lafadz-lafadz dari hadis yang
dicari. Kedua, Takhrij al-Hadis Bi al-Maudhu’, yaitu upaya pencarian
hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang dibahas oleh
sejumlah matan hadis.[6]
Sedangkan penelitian ini menggunkan metode Takhrij al-Hadis Bi al-Lafdh,
menggunakan softwere Mau’suah dan Lidwa yang mampu mengakses
sembilan kitab sumber primer hadis.
Langkah pertama yang lakukan penulis untuk menemukan
hadits riwayat Bukhari nomor 5651 adalah melakukan takhrij
hadits dengan metode al-bahts al-sharfi dengan kata kunci لَا تَغْضَبْ. Dari pelacakan yang penulis lakukan melalui software
Lidwa 9 Imam dengan menggunakan kalimat tersebut, maka ditemukan 10
buah Hadits tentang wasiat Nabi Janganlah kamu marah. Adapun Hadits Hadits
tersebut dalam al-Kutub al-Tis’ah adalah dalam riwayat Imam Bukhari
sebanyak 1 Hadits, Sunan al-Tirmidzi sebanyak 1
Hadits, Muwattho' Malik sebanyak 1 Hadits, Musnad Ahmad
sebanyak 7 Hadits. Adapun secara rinci terdapat dalam tabel sebagai berikut:
No
|
Sumber
|
Kitab
|
Bab
|
No. Hadits
|
1
|
Imam Bukhari
|
Adab
|
Mewaspadai Marah
(الحذر من الغضب)
|
5651
|
2.
|
Sunan
al-Tirmidzi
|
Berbakti dan menyambung silaturrahim
|
Mudah marah dan emosi
(ما جاء في كثرة الغضب)
|
1943
|
3
|
Muwattho' Malik
|
Lain-lain
|
Marah (ما جاء في الغضب)
|
1408
|
4
|
Musnad Ahmad
|
Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
|
Musnad Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash Radliyallahu ta'ala 'anhuma
)مسند عبد الله بن عمرو بن العاص رضي
الله تعالى عنهما(
|
6346
|
Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
|
Musnad Abu Hurairah Radliyallahu '
)مسند أبي هريرة رضي الله عنه(
|
8389
|
||
Sisa Musnad sahabat yang banyak meriwayatkan hadits
|
Musnad Abu Hurairah Radliyallahu 'anhu
)مسند أبي هريرة رضي الله عه(
|
9630
|
||
Musnad penduduk Makkah
|
Hadits Jariyah bin Qudamah Radliyallahu ta'ala 'anhu
)حديث جارية بن قدامة رضي الله تعالى
عنه(
|
15398
|
||
Sisa musnad sahabat Anshar
|
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam
)أحاديث رجال من أصحاب النبي صلى
الله عليه وسلم(
|
22056
|
||
Sisa musnad sahabat Anshar
|
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam
)أحاديث رجال من أصحاب النبي صلى
الله عليه وسلم(
|
22081
|
||
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam
|
Hadits-hadits beberapa orang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi
wasallam
)أحاديث رجال من أصحاب النبي صلى
الله عليه وسلم(
|
22088
|
Periwayatan
Hadits tersebut satu sama lain terkadang memiliki perbedaan
sanad, namun matan sama, maka wasiat Nabi jangan kamu
marah yang terdapat pada dalam Shahih
Bukhari terkadang terdapat dalam Hadits Riwayat lainnya. Penulis akan
menyuguhkan hadits-hadits dari masing-masing kitab al-Kutub al-Tis’ah berikut:
a. Hadits
Riwayat Imam Bukhari
حَدَّثَنِي
يَحْيَى بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ هُوَ ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي
حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ
رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا
تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya
: Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Abu
Bakr yaitu Ibnu Ayyasy dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu
'anhu bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam;
"Berilah aku wasiat?" beliau bersabda: "Janganlah kamu
marah." Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, beliau tetap bersabda:
"Janganlah kamu marah."
(HR.Bukhari:5651)
b. Hadits
Riwayat Sunan al-Tirmidzi
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ عَيَّاشٍ
عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلِّمْنِي شَيْئًا
وَلَا تُكْثِرْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعِيهِ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ ذَلِكَ
مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَغْضَبْ قَالَ أَبُو عِيسَى وَفِي الْبَاب
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَسُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَأَبُو حَصِينٍ اسْمُهُ عُثْمَانُ بْنُ عَاصِمٍ
الْأَسَدِيُّ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami
Abu Bakar bin Ayyasy dari Abu Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah ia
berkata; Seorang laki-laki menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
seraya berkata, "Ajarkanlah sesuatu kepadaku, namun jangan engkau
memperbanyaknya, sehingga aku mudah untuk mengingatnya." Maka beliau pun
bersabda: "Janganlah kamu marah." Lalu beliau mengulang-ngulang
ungkapan itu. Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abu Sa'id
dan Sulaiman bin Shurd. Dan hadits ini adalah hadits hasan shahih gharib bila
ditinjau dari jalur ini.” (HR.At-Tirmidzi:1943)
c. Hadits
Riwayat Ahmad bin Hanbal
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا دَرَّاجٌ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّهُ
سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَاذَا يُبَاعِدُنِي
مِنْ غَضَبِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ لَا تَغْضَبْ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Hasan telah menceritakan kepada kami Ibnu
Lahi'ah telah menceritakan kepada kami Darroj dari Abdurrahman bin Jubair dari
Abdullah bin 'Amru, ia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'Aliahi Wasallam:
"Apa yang dapat menjauhkanku dari murka Allah Azza wa Jalla?" Beliau
menjawab: "Janganlah kamu marah." (HR.Ahmad: 6346)
وَبِإِسْنَادِهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ وَلَا تُكْثِرْ
عَلَيَّ حَتَّى أَعْقِلَهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَأَعَادَ عَلَيْهِ فَأَعَادَ
عَلَيْهِ قَالَ لَا تَغْضَب
Artinya:
“Masih melalui jalur periwayatan yang sama seperti hadits sebelumnya dan
dengan sanadnya, dari Abu Hurairah berkata; Seorang laki-laki datang kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Perintahkanlah kepadaku
dengan suatu perkara dan jangan engkau perbanyak sehingga aku lakukan, "
beliau bersabda: "Janganlah kamu marah, " beliau ulangi dan ulangi
lagi untuknya, "Janganlah kamu marah." (HR.Ahmad:8389)
حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ
وَإِسْرَائِيلُ كِلَاهُمَا عَنِ أَبِي حَصِينٍ عَنِ أَبِي صَالِحٍ عَنِ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ فَمَرَّ أَوْ
فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ مُرْنِي بِأَمْرٍ قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ فَرَدَّدَ
مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَرْجِعُ فَيَقُولُ لَا تَغْضَب
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Aswad bin 'Amir berkata; telah mengabarkan
kepada kami Abu Bakr dan Isra'il keduanya meriwayatkan dari Abu Hashin dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah berkata; Seseorang datang menemui Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam seraya berkata; "Perintah sesuatu
kepadaku!" beliau bersabda: "Janganlah engkau marah, " Abu
Hurairah berkata; "Kemudian ia pergi dan kembali lagi seraya berkata;
"Perintah sesuatu kepadaku!" beliau bersabda: "Janganlah engkau
marah, " Abu Hurairah berkata; "Setiap kali orang itu kembali beliau
mengulanginya lagi, beliau bersabda: "Janganlah engkau marah."
(HR.Ahmad:9630)
قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي ابْنَ
عُرْوَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَمٍّ لَهُ
يُقَالُ لَهُ جَارِيَةُ بْنُ قُدَامَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لَهُ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ عَلَيَّ لَعَلِّي أَعْقِلُهُ قَالَ لَا
تَغْضَبْ فَأَعَادَ عَلَيْهِ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَغْضَبْ قَالَ
يَحْيَى كَذَا قَالَ هِشَامٌ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهُمْ يَقُولُونَ لَمْ
يُدْرِكْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Sa'id dari Hisyam yaitu Ibnu 'Urwah, berkata; telah mengabarkan
kepadaku bapakku dari Al Ahnaf bin Qais dari salah seorang pamannya yang
bernama Jariyah bin Qudamah, Ada seorang laki-laki berkata kepadanya, Wahai
Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan dan ringankanlah itu supaya saya
dapat memahaminya?. lalu beliau bersabda: "Janganlah kamu marah",
beliau mengulanginya berkali-kali, semuanya berbunyi, "Janganlah kamu
marah". Yazid berkata; begini. Hisyam berkata; Wahai Rasulullah. Mereka
berkata dia tidak mengetahui Nabi Shallallahu'alaihiwasallam.” (HR.Ahmad:
15398)
حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ أَبِي
الزِّنَادِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ
أَخْبَرَنِي ابْنُ عَمٍّ لِي قَالَ قُلْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْ لِي قَوْلًا وَأَقْلِلْ لَعَلِّي
أَعْقِلُهُ قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ فَعُدْتُ لَهُ مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يَعُودُ
إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَغْضَب
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Husain bin Muhammad telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Abi Az Zinad dari ayahnya dari 'Urwah dari Al Ahnaf bin Qais berkata;
Telah mengabarkan kepadaku keponakanku, ia berkata; Aku berkata kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam: Wahai Rasulullah! Sampaikanlah suatu
perkataan padaku dan peringkaslah mudah-mudahan aku memahaminya. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Jangan marah." Lalu aku
mengulanginya berkali-kali, semuanya dibalas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
salam dengan sabda: "Jangan marah." (HR.Ahmad:22056)
حَدَّثَنَا أَبُو كَامِلٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا هِشَامُ
بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عَمٍّ لَهُ أَنَّهُ
أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قُلْ لِي
قَوْلًا يَنْفَعُنِي وَأَقْلِلْ لَعَلِّي أَعِيهِ قَالَ لَا تَغْضَبْ فَعَادَ لَهُ
مِرَارًا كُلُّ ذَلِكَ يُرْجِعُ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَغْضَبْ
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami
AbuKamil telah menceritakan kepada kami Zuhair telah menceritakan kepada kami
Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya dari Al Ahnaf bin Qais dari pamannya bahwa ia
mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam lalu berkata; Wahai
Rasulullah! Sampaikanlah suatu perkataan yang berguna bagiku dan peringkaslah
mudah-mudahan aku memahaminya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam
bersabda: "Jangan marah." Lalu aku mengulanginya berkali-kali,
semuanya dibalas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam dengan sabda:
"Jangan marah." (HR.Ahmad:22081)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ
عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ قَالَ قَالَ الرَّجُلُ فَفَكَّرْتُ حِينَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَالَ فَإِذَا الْغَضَبُ
يَجْمَعُ الشَّرَّ كُلَّهُ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami 'Abdur Razzaq telah mengabarkan kepada kami
Ma'mar dari Az Zuhri dari Humaid bin 'Abdur Rahman dari seorang sahabat Nabi
Shallallahu 'alaihi wa salam berkata; Wahai Rasulullah! Berwasiatlah padaku.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam bersabda: "Jangan marah."
Orang itu berkata; Lalu aku berfikir saat Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam
mengucapkan sabda itu, ternyata marah menyatukan seluruh keburukan.”
(HR.Ahmad: 22088)
B. I’tibar Sanad
Al-I’tibar,
menurut bahasa merupakan mashdar dari kata ‘itabara, yang berarti
memperhatikan suatu perkara untuk mengetahui perkara lain yang sejenis.
Menurut istilah yaitu menelusuri jalur-jalur hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain yang beresekutu dalam riwayatnya, ataukah tidak.[7]
Menurut istilah yaitu menelusuri jalur-jalur hadits yang diriwayatkan secara menyendiri oleh seorang rawi, untuk mengetahui apakah terdapat rawi lain yang beresekutu dalam riwayatnya, ataukah tidak.[7]
Adapun
I’tibar sanad hadits riwayat Bukhari Nomor. 5651 dapat dilihat secara rinci dalam
skema berikut:
![]() |
C. Kritik
Historis
Dari sekian banyak jalur periwayatan
Hadits yang disuguhkan di atas, tidak tampak adanya pertentangan di antara satu
Hadits dengan Hadits lainnya, semua menyatakan bahwa Rasulullah berwasiat untuk
“jangan marah”.
Dengan
demikian peneliti sebelum memberikan kajian pemaknaan terhadap matan Hadits,
mencoba untuk mengungkap sedikit tentang kredibilitas periwayat hadits dari
berbagai runtutan sanadnya secara sekilas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kredibilitas perawi sehingga bisa
disimpulkan bahwa Hadits tersebut Shahih atau Dhaif. Penelitian
Sanad penulis fokuskan pada riwayat Imam Bukhari nomor 5651 dari jalur Abu
Hurairah. Adapun jalur Hadits tersebut dimulai dari Abu Hurairah kemudian
teruskan kepada Abu Shalih, Abu Al Hashin, Abu Bakar, Abu Yusuf, terakhir
mukhrij hadits ini Imam Bukhari. Adapun skema sanad hadis tersebut sebagai
berikut :

a.
Abu Hurairah
Menurut pendapat mayoritas, nama beliau adalah
'Abdurrahman bin Shakhr ad Dausi. Pada masa jahiliyyah, beliau bernama Abdu
Syams, dan ada pula yang berpendapat lain. Kunyah-nya Abu Hurairah (inilah yang
masyhur) atau Abu Hir, karena memiliki seekor kucing kecil yang selalu
diajaknya bermain-main pada siang hari atau saat menggembalakan kambing-kambing
milik keluarga dan kerabatnya, dan beliau simpan di atas pohon pada malam
harinya. Tersebut dalam Shahihul Bukhari, bahwa Nabi pernah memanggilnya,
“Wahai, Abu Hir”.[8] Beliau
lahir di Madinah,wafat juga di Madinah pada tahun 58 H.
Guru-gurunya
antara lain: Rasulullah saw, Abu bin Ka’ab bin Qais, Basrah bin Abu Basrah,
Hasan bin Sabit bin Munzir, Sa’id bin Malik bin Sunan bin ‘Ubaid, ‘Aisyah Binti
Abu Bakr al-Siddiq, Usman bin ‘Affan bin Ibn al-Asi bin Amiyah,’Ali bin Abi
Thalib bin Abd al-Muthallib bin Hasyim bin Abu Manaf, Umar bin Nufail dan
lain-lain. Sedangkan mereka yang berguru kepadanya, antara lain: Abdu al-Rahman
bin Ya’qub, ‘Ata’ bin Yazid, Amru bin Aswad, Malik bin ‘Abdu Amir, al-Mugirah
bin Hakim, Yahya bin Abu Thalib, Halal bin Yazid, Abu Salih dan lain-lain.[9]
Para Ulama hadis sepakat bahwa kesiqahan Abu
Hurairah tidak diragukan lagi, beliau adalah sahabat yang paling banyak
meriwayatkan hadits. Abu Muhammad Ibnu Hazm mengatakan bahwa, dalam Musnad
Baqiy bin Makhlad terdapat lebih dari 5300 hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Di
antara yang meriwayatkan hadist darinya adalah Ibnu
Abbas, Ibnu Umar, Anas bin
Malik, Jabir bin Abdullah, dan lain-lain.
Imam Bukhari pernah berkata: "Tercatat lebih dari 800 orang perawi hadits
dari kalangan sahabat dan tabi'in yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah".
Marwan
bin Hakam pernah menguji tingkat hafalan Abu Hurairah terhadap hadits Nabi.
Marwan memintanya untuk menyebutkan beberapa hadits, dan sekretaris Marwan
mencatatnya. Setahun kemudian, Marwan memanggilnya lagi dan Abu Hurairah pun
menyebutkan semua hadits yang pernah ia sampaikan tahun sebelumnya, tanpa tertinggal
satu huruf.
b.Abu
Shalih
Nama
aslinya adalah Dzakwan, tabaqahnya termasuk al-Wustha Min al-Tabi’in, nasabnya
al-Saman al-Ziyat, memiliki Kunyah Abu Salih. Ia lahir di Madinah dan wafat
juga di Madinah pada tahun 101 H. Guru-gurunya antara lain, Ibrahim bin
Abdillah bin Qaridz, Ishaq Maula Zaidah, Jabir bin Abdillah bin ‘Amr bin Haram,
Zaid bin Khalid, Zaid bin al-Shamit, Sa’id bin Tharif, Sa’id bin Jubair bin
Hisyam, ‘Aisyah Binti Abu Bakar, al-(Abu Abdu al-Rahman bin Sakhr (Abu
Hurairah) dan lain-lain. Sedangkan murid-muridnya antara lain: Ibrahim bin Abi
Maimunah, Azraq bin Qais, Ishaq bin ‘Abdillah bin Abi Talhah Zaid Bi Sahl,
Bakir bin Abdillah bin al-Asyaj, Habib bin Abi Sabit Qais bin Dinar, al-Hakam
bin ‘Utaibah, Zaid bin Aslam, Sulaiman bin Mahran, Sulaiman bin Yasar, Abdullah
bin Dinar Maula Ibn ‘Umar dan lain-lain.
Pendapat
‘ulama hadis tentang beliau, Ahmad bin Hanbal mengatakan tsiqat, Yahya
bin Mu’in juga mengatakan tsiqah, Abu Hatim al-Razi berpendapat Siqah
salih al-Hadis.[10]
Kredibilitasya sebagai periwayat dapat diterima oleh ahli hadis. Sanadnya
kepada Abu Hurairah bersambung karena adanya hubungan guru dan murid.
c. Abu
Al Hashain
Utsman bin 'Ashim bin Hushain Al Kufi (wafat
127H), dikenal dengan Abu Hushain, seorang tabi'in dari Kufah. Beliau seorang
imam dan al hafidz. Kealimannya disegani para ulama tabi'in. Beliau juga
dikenal dengan sikap wara'-nya. Pernah sebagian pejabat menghadiahi beliau 2000
dirham ketika beliau sedang mencari nafkah, namun hadiah tersebut ditolak.
Ketika muridnya bertanya alasannya, beliau menjawab "karena malu dan
menjaga kemuliaan".
Pendapat
‘ulama tentang beliau Adz Dzahabi tsiqah tsabat, Yahya bin Ma'in, Abu
Hatim tsiqah, An Nasa'I berpendapat tsiqah, Ibnu Hibban disebutkan dalam 'ats
tsiqaat, dan Ibnu Hajar tsiqah tsabat.[11]
Maka semua berpendapat tsiqah. Tidak ada salah satu pun dari kritikus hadis
yang mencelanya, oleh karena itu kredibilitas beliau sebagai periwayat dapat
diterima,
d. Syu'bah bin Ayyasy
Abu Bakr Syu'bah bin Ayyasy bin Salim
al-Hannath al-Asadi an-Nahsyali al-Kufi , atau
lebih dikenal sebagai Syu'bah
bin Ayyasy. Lahir pada tahun 95 H, wafat
pada Jumadil awal 193 H. Beliau
adalah seorang ulama dibidang Qira'at al-Qur'an. Ia
merupakan perawi qira'at Ashim al-Kufi. Pendapat ‘ulama beliau Tsiqah.[12]
e.
Abu Yusuf
Nama Lengkap
beliau adalah Yahya bin Yusuf bin Abi Karimah. Atau dikenal Abu Yusuf. Beliau
merupakan Kalangan Tabi'ul Atba' kalangan tua. Negeri semasa hidup di Baghdad
dan wafat pada tahun 225 H.
Pendapat
‘ulama tentang beliau Abu Zur'ah, Ibnu Qani', Ibnu Hajar al 'Asqalani
berpendapat Tsiqah.[13]
f.
Imam Bukhari
Nama
lengkap  Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al Mughirah bin Bardizbah.
Kuniyah beliau Abu Abdullah. Beliau dilahirkan pada hari Jum'at setelah shalat
Jum'at 13 Syawwal 194 H di Bukhara. Kecerdasan dan kejeniusan Bukhari nampak
semenjak masih kecil. Allah menganugerahkan kepadanya hati yang cerdas, pikiran
yang tajam dan daya hafalan yang sangat kuat, sedikit sekali orang yang
memiliki kelebihan seperti dirinya pada zamannya tersebut.
Imam
Bukhari berjumpa dengan sekelompk kalangan atba'ut tabi'in muda, dan beliau
meriwayatkan hadits dari mereka, sebagaimana beliau juga meriwayatkan dengan
jumlah yang sangat besar dari kalangan selain mereka. Dalam masalah ini beliau
bertutur; ' aku telah menulis dari sekitar seribu delapan puluh jiwa yang
semuanya dari kalangan ahlul hadits. Guru-guru imam Bukhari terkemuka yang
telah beliau riwayatkan haditsnya; Abu 'Ashim An Nabil, Makki bin Ibrahim,
Muhammad bin 'Isa bin Ath Thabba', Ubaidullah bin Musa, Muhammad bin Salam Al
Baikandi, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Manshur, Khallad bin Yahya bin Shafwan,
Ayyub bin Sulaiman bin Bilal, Ahmad bin Isykab, dan masih banyak lagi.
Sangat
banyak sekali para ulama yang memberikan kesaksian atas keilmuan imam Bukhari,
diantara mereka ada yang dari kalangan guru-gurunya dan teman-teman seperiode
dengannya. Adapun periode setelah meninggalnya bukhari sampai saat ini,
kedudukan imam Bukhari selalu bersemayam di dalam relung hati kaum muslimin,
baik yang berkecimpung dalam masalah hadits, bahkan dari kalangan awwam kaum
muslimin sekali pun memberikan persaksian atas keagungan beliau.
Diantara para tokoh ulama yang memberikan
persaksian terhadap beliau adalah;
1)
Abu
Bakar ibnu Khuzaimah telah memberikan kesaksian terhadap Imam Bukhari dengan
mengatakan: "Di kolong langit ini tidak ada orang yang lebih mengetahui
hadits dari Muhammad bin Isma'il."
2)
'Abdan
bin 'Utsman Al Marwazi berkata; 'aku tidak pernah melihat dengan kedua mataku,
seorang pemuda yang lebih mendapat bashirah dari pemuda ini.' Saat itu
telunjuknya diarahkan kepada Bukhari
3)
Qutaibah
bin Sa'id menuturkan; 'aku duduk bermajelis dengan para ahli fikih, orang-orang
zuhud dan ahli ibadah, tetapi aku tidak pernah melihat semenjak aku dapatÂ
mencerna ilmu orng yang seperti Muhammad bin Isma'il. Dia adalah sosok pada
zamannya seperti 'Umar di kalangan para sahabat. Dan dia berkata; ' kalau
seandainya Muhammad bin Isma'il adalah seorang sahabat maka dia merupakan ayat.
4)
Ahmad
bin Hambal berkata; Khurasan tidak pernah melahirkan orang yang seperti
Muhammad bin Isma'il.
5)
Abu
Bakar bin Abi Syaibah dan Ibnu Numair menuturkan; kami tidak pernah melihat
orang yang seperti Muhammad bin Ism'ail
6)
Bundar
berkata; belum ada seorang lelaki yang memasuki Bashrah lebih mengetahui
terhadap hadits dari saudara kami Abu Abdillah.
7)
Abu
Hatim ar-Razi berkata: "Khurasan belum pernah melahirkan seorang putra
yang hafal hadits melebihi Muhammad bin Isma'il, juga belum pernah ada orang
yang pergi dari kota tersebut menuju Irak yang melebihi kealimannya."
8)
Muslim
(pengarang kitab Sahih) berkata ketika Bukhari menyingkap satu cacat hadits
yang tidak di ketahuinya; "Biarkan saya mencium kedua kaki anda, wahai
gurunya para guru dan pemimpin para ahli hadits, dan dokter hadits dalam
masalah ilat hadits."
9)
al-Hafiz
Ibn Hajar yang menyatakan: "Andaikan pintu pujian dan sanjungan kepada
Bukhari masih terbuka bagi generasi sesudahnya, tentu habislah semua kertas dan
nafas. Ia bagaikan lautan tak bertepi."
Bedasrkan
data-data yang dijelaskan di atas bahwa, hadits riwayat Bukhari nomor 5651 memiliki
banyak sanad, namun demikian, hadits tersebut bukan merupakan hadits mutawatir,
melainkan hadits Gharib,hal itu sesuai dengan hadis bukhori no 5651 yang kriteria hadisnya
masuk hadis gharib karena jalur sanadnya hanya satu jalur sanad saja.
Setelah sanad diteliti, seluruh periwayat bersifat Tsiqah Hafidz dan Tsiqah,
sanadnya bersambung, terhindar dari syuyz dan illat, maka natijah
(penilaian) yang diberikan, bahwa sanad Hadits Imam Bukhari nomor 5651 tentang
mewaspadai marah ini berkualitas shahih.
3. Kajian
Linguistik
Kajian
linguistik dibutuhkan sebagai usaha memahami perbedaan-perbedaan lafadz yang
ditemukan di antara hadis-hadis yang semakna, ini dikarenakan banyaknya matan
hadis tersusun dengan lafadz yang berbeda apabila disandingkan dengan matan
hadis lain yang sama kualitasnya, serta dalam satu tema kajian. Tentunya hal
tersebut disebabkan adanya periwayatan hadis secara makna.
Mengingat
bahasa yang digunakan hadis adalah bahasa Arab yang memerlukan ketelitian dalam
memaknai dan memahaminya, maka kajian linguistik ini akan menyajikan makna
(arti) kata-kata dengan rujukan kamus-kamus arab dan yang berkaitan dengan tata
bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf). Misalnya bentuk kata kerja, kata benda, bentuk
amr atau nahy, atau membedakan makna hakiki dengan makna majazi, makna ‘am atau
khas dan sebagainya. Kajian linguistik ini di antaranya menyangkut bentuk kata
dan arti itu sendiri.[14]
Jika
dilihat matan hadis riwayat Bukhari Nomor 5651 maka dapat ditemukan kata-kata
kunci yang mempengaruhi pemaknaan hadis. Kata-kata kunci tersebut antara lain:
أَوْصِنِي : fiil amr
mabni sukun, dan bersambung dengan ya’ mutakallim.
لَا تَغْضَبْ : La nahyi dimana
fungsinya menjajemkan (mensukunkan fiil setelahnya) mabni sukun
تَغْضَبْ :
fiil mudhari yang jajem karna la nahyi mabni sukun, ta’ itu domir yang
bersambung
فَرَدَّدَ :
fiil madi yang berharokat/ mabnifathah, fail nya ar-rajul , maf’ul : al-qaul
(perkataan) yang tersembunyi
قَالَ :
fiilmadimabni fathah, failnya rajul
لَا
تَغْضَبْ : La nahyi dimana
fungsinya menjajemkan (mensukun kan fiil setelahnya) mabni sukun. Jumlah لَا تَغْضَبْ merupakan maf’ul dari قَالَ.
Dilihat dari sisi
sematiknya Hadits Riwayat Bukhari Nomor 5651 dapat dijelaskan sebagai berikut:
فَرَدَّدَ مِرَارًا (beliau mengulang berulang kali). Maksudnya,
dia mengulang pertanyaannya untuk mencari yang lebih bermanfaat atau lebih
umum, tetapi beliau tidak melebihkan dari wasiat tersebut.[15]
قَالَ لَا تَغْضَبْ (beliau bersabda,”jangan marah”). Dalam
riwayat Abu Kuraib disebutkan كل ذلك يقول (setiap kali itu beliau mengatakan,”jangan
marah”). Dalamriwayat Utsman bin Abi syaibah disebutkan, ث
مراتلاتغضب ثلا
(jangan marah [tiga kali]). Di sini disebutkan jumlah pengulangan
tersebut pada pembahasan terdahulu telah dikutip hadits Annas bahwa beliau SAW
biasa mengulang perkataan hingga tiga kali agar dapat dipahami dengan baik dan beliau
tidak ditanya kembali setelah mengucapkannya tiga kali.[16]
Al-khaththabi berkata, makna sabda Rasulullah,”jangan Marah” adalah
jauhi sebab-sebab yang menimbulkan kemarahan dan jangan mendekati hal-hal yang
mengarah kepadanya. Adapun emosi tidak termasuk dalam larangan, karena ia
merupakan naluri yang tidak hilang dari tabiat seseorang. Ulama selainnya
berkata, apa yang termasuk tabiat hewani, maka tidak mungkin ditolak. oleh
karena itu, ia tidak termasuk dalam larangan, karena hal itu termasuk membebani
sesuatu yang mustahil. Sedangkan apa yang termasuk sesuatu yang diusahakan
dengan latihan, maka inilah yang dimaksut larangan itu. Dikatakan maknanya
“jangan marah”, karena penyebab kemarahan adalah sikap angkuh, dan itu terjadi saat
terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, maka keangkuhan itu mendorongnya
untuk marah. Orang yang bersikap rendah hati, maka akan selamat daripada
buruknya kemarahan. Menurut sebagian, maknanya adalah “jangan melakukan apa
yang menyuruhmu marah”.[17]
Ibnu baththal berkata, melawan jiwa lebih sulit dari pada melawan
musuh, karena NabiSAW menjadikan orang yang menguasai dirinya ketika marah
sebagai orang yang kuat. Ulama selainnya berkata,”barangkali yang bertanya itu
adalah seorang pemarah. Sementara Nabi SAW memerintahkan setiap orang apa yang
lebih utama baginya. Oleh karena itu, beliau cukup berwasiat kepadanya untuk
tidak marah.[18]
Ibnu At-Tin berkata, “Nabi SAW telah mengumpulkan dalam sabdanya,
“jangan marah” kebaikan dunia dan akhirat, sebab marah dapat menyebabkan sikap
saling memutuskan hubungan dan menghalangi sikap lemah-lembut dengan sesama.
Bahkan dapat menyakiti orang yang dimarahi sehingga dapat mengurangi agama.[19]
Sementara al-Baidhawi berkata, “barang kali ketika Nabi SAW melihat
semua kerusakan yang terjadi pada seseorang adalah berasal dari syahwat dan
emosinya. Sedangkan syahwat orang yang bertanya tidak kuat lagi ketika dia
bertanya tentang keburukan yang mesti dia hindari, maka beliau melarangnya
marah yang merupakan mudharat yang paling besar disbanding yang lain. Apabila
sesorang menguasai dirinya saat marah bebrarti telah mengalahkan musuhnya yang paling kuat. Namun, bisa saja masuk
dalam kategori menyebut yang lebih tinggi untuk mengisyaratkan yang lebih rendah,
sebab musuh yang paling berbahaya bagi seseorang adalah syetan dan nafsunya. Sedangkan
kemarahan itu timbul dari keduanya. Barangsiapa melawan keduanya hingga
mengalahkan keduanya, maka dia lebih mampu lagi mengalahkan syahwatnya.[20]
Ibnu Hibban berkata sesudah mengutip hadits ini, “maksud, jangan
melakukan hal-hal yang dilarang saat marah bukan berati beliau SAW melarang
sesuatu yang telah menjadi tabi’at.” Sebagia nulama berkata,”Allah menciptakan
marah dari api dan dijadikannya sebagaia naluri manusia.” Jika dimaksudkan
untuk urusan tertentu maka berkobarlah api kemarahan hingga wajah dan kedua mata
menjadi merah akibat darah, karena kulit menggambarkan apa yang ada dibaliknya.
Ini terjadi bila seorang marah terhadap orang yang lebih rendah darinya dan ia mampu
menguasainya. Adapun bila seorang marah kepada yang diatasnya niscaya darah tersedot
dari bagian kulitnya kebagian jantung sehingga wajah menjadi pucat. Jika marah
yang terjadi kepada yang setara, maka terjadi pergantian yang cepat antara terpancar
dan tersedot sehingga wajah kadang menjadi merah dan kadang tampak pucat.
Kemarahan bisa pula menimbulkan perubahan pada lahir dan batin seperti perubahan
warna kulit, gemetar pada bagian-bagia badan, serta tindakanyang tidak
terkontrol, dan perubahan besar dalam penampilan. Hingga apabila orang marah
melihat dirinya saat marah niscaya akan membuat dirinya malu karena buruknya
penampilan saat itu. Semua ini berkenaan dengan yang tampak. Adapun yang tidak
tampak (batin) maka ia lebih bruk lagi, sebab ia melahirkan iri dan dengki di
hati serta mendedendam keburukan. Sedangkan pengaruhnya pada lisan dalam bentuk
celaan dan perkataan keji yangmembuat orang berakal malu dan menyesal saat
marahnya reda. Pengaruh marah tampak pula
pada perbuatan memukul atau membunuh. Barang siapa mencermati
kerusakan-kerusakan niscaya akan mengetahui kedudukan perkataan singkat NabiSAW,”jangan
Marah”, berupa hikmah dan maslahat dalam menatap kerusakan serta dampak
buruknya, semua ini berkenaan dengan marah dalam perkara dunia bukan dalam
urusan agama.[21]
Oleh
sebab itu, untuk menghilangkan kemarahan adalah dianjurkan untuk melatih diri agar
bisa berbesar hati atau sabar, jangan menuruti sesuatu apapun yang
diperintahkan oleh kemarahan, karena kemarahan selain memancing kesombongan,
juga menimbulkan perpecahan sehingga menghilangkan rasa kasih sayang atau bisa
juga menjadikan terputusnya tali silaturrahmi.
G. Kajian
Tematik-Komprehensif
Dalam
kajian pemaknaan hadis tentang marah (Ghadab) tersebut banyak
hadis-hadis yang mendukung atau relevan dengan tema yang diteliti.
Adapun hadis-hadis yang relevan dengan tema yang dikaji di antaranya di dalam
teks hadisnya berikut:
a.
Marah ketika memberi nasehat dan mengajar jika melihat sesuatu yang dibenci
Rasulullahpun pernah marah. Namun
beliau Marah ketika memberi nasehat dan mengajar jika melihat sesuatu yang
dibenci. Sebagaimana sabda beliau:
ةشقشاحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ
ابْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
الْأَنْصَارِيِّ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا أَكَادُ أُدْرِكُ
الصَّلَاةَ مِمَّا يُطَوِّلُ بِنَا فُلَانٌ فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَوْعِظَةٍ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْ يَوْمِئِذٍ
فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ مُنَفِّرُونَ فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ
فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الْمَرِيضَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir berkata, telah
mengabarkan kepada kami Sufyan dari Ibnu Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim
dari Abu Al Mas'ud Al Anshari berkata, seorang sahabat bertanya: "Wahai
Rasulullah, aku hampir tidak sanggup shalat yang dipimpin seseorang dengan
bacaannya yang panjang." Maka aku belum pernah melihat Nabi shallallahu
'alaihi wasallam memberi peringatan dengan lebih marah dari yang disampaikannya
hari itu seraya bersabda: "Wahai manusia, kalian membuat orang lari
menjauh. Maka barangsiapa shalat mengimami orang-orang ringankanlah. Karena
diantara mereka ada orang sakit, orang lemah dan orang yang punya
keperluan".[22]
Dalam
hal ini kaitannya dengan Hadits Riwayat Bukhari no.5651 bahwasannya Rasulullah
memperbolehkan marah dalam urusan agama.
c. Jauhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa Sallam dari perkara yang berdosa (Marah/Ghadab)
Disebutkan
dalam Hadits lain bahwa Nabi Muhammad SAW terhindar dari perkara yang berdosa
(marah/Ghadab). Marah dalam hal ini adalah marah yang di laranng sama halnya
dengan larangan marah yang dimaksud hadits riwayat Bukhari no.5651. Adapun
Hadits tersebut yaitu:
حَدَّثَنَاه أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا
أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ
مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ
فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي
شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدَةُ وَوَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامٍ بِهَذَا
الْإِسْنَادِ يَزِيدُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Artinya:
Telah menceritakannya kepada kami Abu Kuraib; Telah menceritakan kepada kami
Abu Usamah dari Hisyam dari Bapaknya dari 'Aisyah dia berkata; Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam sama
sekali tidak pernah memukul dengan tangannya pelayan beliau atau pun seorang
wanita pun, kecuali saat berjihad di jalan Allah, beliau tidak pernah membalas
suatu kesalahan yang dilakukan orang kecuali bila keharaman-keharaman Allah
'azza wajalla dilanggar, beliau membalas karena Allah 'azza wajalla. Dan telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Ibnu Numair keduanya
berkata; Telah menceritakan kepada kami 'Abdah dan Waki'; Demikian juga
diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib;
Telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah seluruhnya dari Hisyam melalui
jalur ini dengan adanya penambahan masing-masing dari mereka.[23]
d. Hadits
tentang marah adalah tempat duduk syetan
Rasulullah
SAW berwasiat “jangan marah” dalamHadits Riwayat Bukhari tentu ada maksud dan
faedah tertentu yang terkandung di dalamnya. Dalam Hadits lain Rasulullah
melarang marah karena marah adalah tempat duduk syetan, sebagaimana hadits
berikut:
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ حَدَّثَنِي عِمْرَانُ بْنُ
مُوسَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّهُ رَأَى أَبَا رَافِعٍ مَوْلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَرَّ بِحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلَام وَهُوَ يُصَلِّي
قَائِمًا وَقَدْ غَرَزَ ضَفْرَهُ فِي قَفَاهُ فَحَلَّهَا أَبُو رَافِعٍ
فَالْتَفَتَ حَسَنٌ إِلَيْهِ مُغْضَبًا فَقَالَ أَبُو رَافِعٍ أَقْبِلْ عَلَى
صَلَاتِكَ وَلَا تَغْضَبْ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ كِفْلُ الشَّيْطَانِ يَعْنِي مَقْعَدَ
الشَّيْطَانِ يَعْنِي مَغْرَزَ ضَفْرِهِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ali telah menceritakan kepada
kami Abdur Razzaq dari Ibnu Juraij telah menceritakan kepadaku 'Imran bin Musa
dari Sa'id bin Abi Sa'id Al-Maqburi dia menceritakan dari Ayahnya bahwasanya
dia pernah melihat Abu Rafi', mantan sahaya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bertemu dengan Hasan bin Ali radliallahu 'anhuma yang sedang shalat dalam
keadaan berdiri dengan menyanggulkan rambutnya pada tengkuknya. Abu Rafi'
melepasnya, sehingga Hasan menoleh kepadanya dengan marah, lalu Abu Rafi'
berkata; Perhatikan shalatmu dan jangan marah, karena sesungguhnya saya pernah
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Itu adalah
tempat duduk syetan."[24]
e. Marahnya
Rasulullah dalam hal memberi pringatan dalam urusan agama
Marah
yang diperbolehkan dalam Islam adalah marah dalam hal member peringatan dalam
urusan agama. Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ
إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ
الصَّلَاةِ فِي الْفَجْرِ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فُلَانٌ فِيهَا فَغَضِبَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا رَأَيْتُهُ غَضِبَ فِي مَوْضِعٍ
كَانَ أَشَدَّ غَضَبًا مِنْهُ يَوْمَئِذٍ ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ
مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَمَنْ أَمَّ النَّاسَ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ خَلْفَهُ
الضَّعِيفَ وَالْكَبِيرَ وَذَا الْحَاجَةِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Isma'il bin Abu Khalid dari Qais bin Abu Hazim dari Abu Mas'ud
berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah, sungguh aku
tidak ikut shalat shubuh berjama'ah disebabkan fulan yang memanjangkan bacaan
saar shalat bersama kami." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
marah, dan aku belum pernah melihat beliau marah sebelumnya melebihi marahnya
pada hari itu. Kemudian Beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sungguh
di antara kalian ada orang yang dapat menyebabkan orang lain berlari memisahkan
diri. Maka barangsiapa memimpin shalat bersama orang banyak hendaklah dia
melaksanakannya dengan ringan. Karena di belakang dia ada orang yang lemah,
orang tua yang lanjut usia dan orang yang punya keperluan."[25]
f.
Cara Mencegah Marah
Untuk
menghindari marah yang tercela seperti yang dilarang dalam hadits Riwayat
Bukhari no.5651, Rasulullah telah memberikan kiat-kiat atau cara mencegah
marah. Sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW berikut ini:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ أَبِي هِنْدٍ عَنْ أَبِي
حَرْبِ بْنِ أَبِي الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ
قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ دَاوُدَ عَنْ بَكْرٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا ذَرٍّ بِهَذَا
الْحَدِيثِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَهَذَا أَصَحُّ الْحَدِيثَيْنِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal berkata, telah menceritakan
kepada kami Abu Mu'awiyah berkata, telah menceritakan kepada kami Dawud bin Abu
Hind dari Abu Harb bin Abul Aswad dari Abu Dzar ia berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada kami: "Jika salah seorang
dari kalian marah dan ia dalam keadaan berdiri, hendakah ia duduk. Jika rasa
marahnya hilang (maka itu yang dikehendaki), jika tidak hendaklah ia
berbaring." Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid
dari Dawud dari Bakr bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengutus Abu Dzar
dengan membawa pesan hadits ini." Abu Dawud berkata, "Hadits ini
adalah yang paling shahih di antara dua hadits yang ada."[26]
حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ خَلَفٍ
وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ خَالِدٍ
حَدَّثَنَا أَبُو وَائِلٍ الْقَاصُّ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُرْوَةَ بْنِ
مُحَمَّدٍ السَّعْدِيِّ فَكَلَّمَهُ رَجُلٌ فَأَغْضَبَهُ فَقَامَ فَتَوَضَّأَ
ثُمَّ رَجَعَ وَقَدْ تَوَضَّأَ فَقَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَطِيَّةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْغَضَبَ
مِنْ الشَّيْطَانِ وَإِنَّ الشَّيْطَانَ خُلِقَ مِنْ النَّارِ وَإِنَّمَا تُطْفَأُ
النَّارُ بِالْمَاءِ فَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَوَضَّأْ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Bakr bin Khalaf dan Al Hasan bin Ali secara
makna, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Khalid
berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Wail Al Qash ia berkata, "Kami
masuk menemui Urwah bin Muhammad As Sa'di, lalu ada seorang laki-laki berbicara
dengannya hingga membuatnya murka. Lantas ia berdiri berwudhu dan kembali lagi
dalam keadaan telah berwudhu." Setelah itu ia berkata, " Bapakku
telah menceritakan kepadaku, dari kakekku, Athiyah. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda: "Sesungguhnya
marah itu dari setan dan setan diciptakan dari api, sementara api akan mati
dengan air, maka jika salah seorang dari kalian marah hendaklah berwudhu. [27]
g.
Do’a mencegah marah
Marah
yang dipengaruhi oleh syetan tentu akan membawa dampak buruk. Sehingga ketika
marah hendaknya berdo’a. Sebagaimana do’a yang telah diajarkan Rasulullah dalam
hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى
حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ
اسْتَبَّ رَجُلَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ
أَحَدُهُمَا غَضَبًا شَدِيدًا حَتَّى خُيِّلَ إِلَيَّ أَنَّ أَنْفَهُ يَتَمَزَّعُ
مِنْ شِدَّةِ غَضَبِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُهُ مِنْ
الْغَضَبِ فَقَالَ مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي
أَعُوذُ بِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ قَالَ فَجَعَلَ مُعَاذٌ يَأْمُرُهُ
فَأَبَى وَمَحِكَ وَجَعَلَ يَزْدَادُ غَضَبًا
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa berkata, telah menceritakan
kepada kami Jarir bin Abdul Hamid dari Abdul Malik bin Umair dari 'Abdurrahman
bin Abu Laila dari Mu'adz bin Jabal ia berkata, "Ada dua orang laki-laki
saling mencela di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, salah seorang dari
mereka sangat marah hingga aku berfikir seolah olah hidungnya pecah karena
marah yang memuncak. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda:
"Sungguh, aku benar-benar tahu sebuah kalimat yang jika dibaca oleh
seseorang maka akan hilang kemarahan yang ia rasakan." Seseorang lalu
bertanya, "Wahai Rasulullah, apa itu?" beliau bersabda:
"ALLAHUMMA INNI A'UUDZU BIKA MINASYSYAITHAANIRRAJIIM (Ya Allah, aku
berlindung kepadamu dari setan yang terkutuk)." Perawi berkata,
"Mu'adz lantas menyuruh laki-laki itu untuk mengucapkannya, tetapi ia
enggan dan justru bertambah amarahnya."[28]
H. Kritik
Konfirmatif
Untuk
memahami hadis-hadis tentang marah (Ghadab) dengan pemahaman yang
medekati kebenaran, maka harus sesuai dengan petujuk al-Qur’an yang
tidak diragukan lagi kebenarannya. Oleh karena itu, tidak ada hadis sahih yang
kandungannya bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang muhkamat. Jikalau
masih ada pertentangan antara keduanya, maka terdapat beberapa kemungkinan,
diantaranya pemahaman erhadap hadis kurang tepat atau pertentangan pada hadis
tersebut bersifat semu atau tidak hakiki.
Sejarah menunjukkan, para utusan Allah pun pernah marah. Mereka
marah saat menyaksikan umatnya tidak mengikuti norma-norma hukum syari’at yang
telah ditetapkan Allah. Begitu pun para guru; mereka akan marah kepada
murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para orang tua, mereka akan marah kepada
anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak hormat kepadanya, dst.Itulah sifat
marah positif yang diperbolehkan Allah dan Rasul-Nya. Beda dengan amarah
negatif yang bersumber dari nafsu lawwamah. Itu marah negatif.
Hadis-hadis tentang marah (Ghadab) ketika dikonfirmasikan dengan ayat
al-Qur’an sebagai berikut:
a.
Dilarangnya
prilaku marah (Ghadab) yang buruk
QS. Ali
Imran:119
هَا
أَنْتُمْ أُولاءِ تُحِبُّونَهُمْ وَلا يُحِبُّونَكُمْ وَتُؤْمِنُونَ بِالْكِتَابِ
كُلِّهِ وَإِذَا لَقُوكُمْ قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا عَضُّوا عَلَيْكُمُ
الأنَامِلَ مِنَ الْغَيْظِ قُلْ مُوتُوا بِغَيْظِكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ
بِذَاتِ الصُّدُورِ
Artinya: "Beginilah kamu, kamu menyukai
mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab
semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: 'Kami beriman'; dan
apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari, lantaran marah
bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): 'Marilah kamu,
karena kemarahanmu itu'. Sesungguhnya, Allah mengetahui segala isi hati."
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ketika marah
maupun benci, Allah mengetahui segala isi hati manusia. Maka sesungguhnya Allah
melarang prilaku marah yang buruk.
b.
Marah
Karena Allah
Marah
karena Allah (ghodhobullah) berarti bahwa “tidak seseorang marah kecuali
bila ia melihat kekufuran, kemaksiatan dan berbagai kejahatan lahir dan bathin.
Baik muncul dari diri sendiri maupun orang lain (masyarakat)”. Sebab, bila
orang marah karena melihat perbuatan keji dan munkar, maka tidak lain yang
marah ialah Allah. Sebagaimana dalam sejarah Nabi Hud as dan kaum ‘Aad dalam
QS. Al-A’raf:71
رِجْسٌ وَغَضَبٌ ۖ أَتُجَادِلُونَنِي فِي أَسْمَاءٍ سَمَّيْتُمُوهَا
أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا نَزَّلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ فَانْتَظِرُوا
إِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُنْتَظِرِينَ
Artinya: ia berkata, Sungguh
sudah pasti kamu akan ditimpa azab dan kemarahan dari Tuhanmu". Apakah
kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu
beserta nenek moyangmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurunkan
hujjah untuk itu? Maka tunggulah (azab itu), sesungguhnya aku juga termasuk
orang yamg menunggu bersama kamu".
Sejarah Islam juga mencatat juga peristiwa saat
Nabi Musa as marah ketika pergi ke Gunung Thur untuk memenuhi panggilan Allah
yang terdapat dalam QS. Al-A’raf: 154
وَلَمَّا سَكَتَ عَنْ مُوسَى الْغَضَبُ أَخَذَ الْأَلْوَاحَ ۖ وَفِي
نُسْخَتِهَا هُدًى وَرَحْمَةٌ لِلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ
Artinya: “Dan kaum Musa, setelah
kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari perhiasan-perhiasan (emas) mereka
anak lembu yang bertubuh dan bersuara. Apakah mereka tidak mengetahui bahwa
anak lembu itu tidak dapat berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula)
menunjukkan jalan kepada mereka? Mereka menjadikannya (sebagai sembahan) dan
mereka adalah orang-orang yang zalim.”
Sekilas peristiwa dalam sejarah Nabi Hud as.,
Musa as, jelaslah bahwa mereka marah bukan karena nafsu lawwamah, tetapi
karena Allah SWT. Maka amarah itu tidak mengurangi kema’suman mereka. Sebab
mereka “marah karena Allah”. dan Rasul adalah atas dasar kasih sayang. Sebab
mereka tidak tega jika umat atau kaumnya mendapat azab akibat perbuatan mereka.
Mereka marah karena mereka tahu bahwa Allah marah terhadap orang-orang semacam
itu. Maka kemarahan mereka atas
dasar Allah. Atau bisa juga dikatakan: “Yang marah pada hakikatnya Allah”
c. Perintah Menahan Marah Dan
Anjuran Memberi Maaf
Sehubungan dengan kondisi amarah, Allah memberikan panduan untuk menahan marah.
Dan member anjuran untuk member maaf. Sebagaimana Firman Allah dalam QS: Ali
Imran Ayat: 133-134
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya:
(133) Dan bersegeralah kamu kepada
ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
(134) (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan.
d.
Perintah Sabar
Salah satu menghindari perilaku marah adalah
dengan sabar. Allah SWT memerintakan untuk bersikap sabar. Karena Sesungguhnya
manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Sebagaimana Allah SWT
berfirman dalam QS. Al-Asr:1-3
وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي
خُسْرٍ
إِلَّا
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
Artinya : Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian.kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya menta’ati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.
I.
Analisis Realitas Historis
Setelah diperoleh pemahaman tekstual terhadap
hadis tentang malu adalah sebagian dari iman melalaui matan hadis,
selanjutnya dilakukan upaya menemukan konteks sosio-historis hadis-hadis
tersebut. Langkah ini sangat penting karena mengingat koleksi hadis
adalah bagian dari realitas tradisi keislaman yang dibangun oleh Nabi
dan sahabatnya dalam lingkup situasi sosialnya, sehingga tidak akan
terjadi distorsi informasi atau bahkan salah faham.[29]
Analisis historis ini mensyaratkan adaya kajian mengenai situasi mikro, yakni
sebab-sebab menculnya sebuah hadis (Asbab Wurud al-Hadis), dan situasi makro,
yakni situasi kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Nabi
Muhammad saw.[30]
Setelah mengadakan penelusuran terhadap
literatur sebab-sebab munculya sebuah hadis (Asbab Wurud al-Hadis)
tentang wasiat Nabi jangan marah yaitu
terkait denganHadits riwayat Bukharinomor 5651, penulis tidak menemukan
sebab khusus yang melahirkan hadis yang sedang dikaji ini. Maka penulis mencoba
memaparkan melalui situasi makro-nya, yakni:
a. Anjuran
bagi setiap muslim untuk memberikan nasihat dan mengenal perbuatan-perbuatan
kebajikan, menambah wawasan ilmu yang bermanfaat serta memberikan nasihat yang
baik.
b. Larangan
marah yang tercela
c. Dianjurkan
untuk mengulangi pembicaraan hingga pendengar menyadari pentingnya dan
kedudukannya.
Penjelasan Pengarang kitab Al Ifshah berkata:
“Boleh jadi Nabi mengetahui laki-laki tersebut sering marah, sehingga nasihat
ini ditujukan khusus kepadanya. Nabi Muhammad SAW memuji orang yang dapat
mengendalikan hawa nafsunya ketika marah”. Sabda beliau: “Bukanlah dikatakan
orang yang kuat karena dapat membanting lawannya, tetapi orang yang kuat ialah
orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya di waktu marah”.
Allah juga memuji orang yang dapat
mengendalikan nafsunya ketika marah dan suka memberi maaf kepada orang lain.
Diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda: “Siapa menahan marahnya
padahal ia sanggup untuk melampiaskannya, maka kelak Allah akan memanggilnya
pada hari kiamat di hadapan segala makhluk, sehingga ia diberi hak memilih
bidadari yang disukainya” Tersebut pada hadits lain: “Marah itu
dari setan”.
Oleh karena itu, orang yang marah menyimpang
dari keadaan normal, berkata yang bathil, berbuat yang tercela,
menginginkan kedengkian, perseteruan dan perbuatan-perbuatan tercela. Semua itu
adalah akibat dari rasa marah. Semoga Allah melindungi kita dari rasa marah.
Tersebut pada hadits Sulaiman bin Shard: “Sesungguhnya mengucapkan ‘a’udzuubillaahi
minasy syaithanirrajiim’ dapat menghilangkan rasa marah”.
Karena sesungguhnya setanlah yang mendorong
marah. Setiap orang yang menginginkan hal-hal yang terpuji, setan selalu
membelokkannya dan menjauhkannya dari keridhaan Allah, maka mengucapkan
“a’udzuubillaahi minasy syaithanirrajiim” merupakan senjata yang paling
kuat untuk menolak tipu daya setan ini.
Dalam riwayat yang sama, Abu Darda pernah
berkata kepada Nabi Saw., “Tunjukkan aku satu amal
yang bisa memasukkan dalam surga” lalu Nabi menjawab: “Jangan marah,
maka bagimu surga”. Dalam riwayat Usman bin Abi Syaibah berkata: “tahgdlob
tsalasa marrat”, menunjukkan larangan mutlak
untuk memperbanyak marah”.[31]
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 134:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik
di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Ayat di atas adalah menerangkan tentang
kehidupan manusia dengan lingkungan sosialnya. Sebuah nasihat
yang ditujukan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orangn lain
sebagai bentuk orang yang bertaqwa, nasihat pertama adalah mereka yang
biasanya atau terus-menerus menafkahkan hartanya di jalan Allah baik diwaktu di
lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya
maupun di waktu dia sempit tidak memiliki kelebihannya, sifat kedua yang
ditonjolkan adalah yang mampu menahan amarah, bahkan yang memaafkan
kesalahan orang lain. Bahkan akan sangat terpuji
mereka yang berbuat kebajikan terhadap mereka yang pernah melakukan
kesalahan karena Allah menyukai, yakni melimpahkan rahmat dan
anugerah-Nya tanpa henti untuk, orang-orang yang berbuat kebajikan. Dalam menghadapi kesalahan
orang lain, ayat ini menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang
sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Yaitu dia menahan diri
sehingga tidak mencetuskan kata-kata buruk atau perbuatan negatif.
Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan, seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang menghapus bekas
luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang
lain terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di
atas, yang bersangkutan baru sampai pada tahap
menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih memenuhi hatinya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus
bekas-bekas luka itu. Untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa
yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni
bukan yang sekedar menahan amarah atau memaafkan,
tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah
melakukan keslahan atau menyambung tali persaudaraan.[32]
J.
Kritik Praksis
Setelah menganalisa matan dan realitas
historis hadis-hadis tentang jangan marah, maka selanjutnya makna-makna yang
telah ditemukan dimaknai secara general dengan cara menangkap makna universal
yang tercakup dalam hadist. Pemaknaan generalisasi pada tahap ini, membuka
jalan bagi pemaknaan hadis secara global. Pemaknaan hadis Nabi yang tepat,
dapat dijadikan sebagai sebuah usaha merefleksikan teks hadis, hingga berfungsi
sebagai wahana perekam kejadian masa lalu yang mungkin dapat dipahami dalam
memaknai situasi kekinian. Berdasarkan analisis isi dalam analisis realitas,
maka ditemukan makna tesktual hadis dan signifikansi konteksnya, kemudian
digeneralisasikan dengan menangkap makna universal yang tercakup dalam hadis
atau meminjam istilah Fazlur Rahman kita temukan “ideal moral” yang hendak
diwujudkan sebuah teks karena setiap pernyataan Nabi Muhammad saw. harus
diasumsikan, memiliki tujuan moral-sosial yang bersifat universal.[33]
Terkait Hadits yang diteliti tentang marah, dalam
memasuki era modern sekarang ini, persoalan moral tetap menjadi salah satu dari
sekian banyak kompleksitas persoalan kemanusiaan yang senantiasa harus
dicermati secara serius. Sebab seiring dengan laju modernitas kemajmukan dan
kompleksitas persoalan manusia pun semakin bertambah. Seiring dengan perjuangan
abadi manusia untuk menegakkan moral, Tuhan memberikan hidayah yang akan
menolongnya, yaitu al-Qur’an dan diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah di muka
bumi yang dihiasi dengan akhlaqul karimah.
Kehidupan modern saat ini memang membuat segala
hal menjadi lebih mudah. Namun hidup di zaman modern juga membuat manusia
menjadi gampang terpicu amarah. Menurut analisa seorang psikolog dari
University of Central Lancashire Dr. Sandi Mann, agresi dan amarah yang
awalnya dimiliki manusia sebagai bagian dari mempertahankan hidup kini telah
berubah. Di zaman modern ini, amarah kerap "salah sasaran" dan tidak
pada tempatnya. Alhasil, seseorang bisa marah akibat dipicu hal sepele dan relatif
tidak berhubungan dengan penyebab munculnya rasa itu. Rasa marah pun muncul
pada momen-momen sepele dan tidak tepat.[34]
Adapun beberapa contoh perilaku marah,yaitu:
1. seperti marah
karena menunggu terlalu lama
2. Marah-marah
memakai komputer yang “lelet”
3. Marah
karena kemacetan lalu lintas
4. Marah-marah kepada orang lain tanpa sebab yang jelas.
5. Mudah tersinggung akibat perbuatan atau ucapan orang lain.
6. Tidak mampu mengendalikan diri saat menghadapi situasi yang
tidak di kehendaki
Namun marah
itu sendiri secara umum ada tiga bentuk, yaitu:[35]
1.
Kemarahan yang Terpuji
Marah
yang terpuji adalah marah karena Allah, yaitu marah ketika terjadi pelanggaran
terhadap syari’at Allah ta’ala, bahkan Allah ta’ala pun marah karena hal
tersebut, sebagaimana firman-Nya,
وَيُعَذِّبَ
الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ
بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ وَغَضِبَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Artinya: “Dan supaya Dia mengadzab orang-orang munafik
laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang
mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran
(kebinasaan) yang amat buruk dan Allah marah kepada mereka dan mengutuk mereka
serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah
sejelek-jeleknya tempat kembali.” (Al-Fath: 6)
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha bercerita tentang
kemarahan Rasulullah SAW:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلاَّ أَنْ
يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَىْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ
صَاحِبِهِ إِلاَّ أَنْ يُنْتَهَكَ شَىْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ
لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: “Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak
pernah memukul apa pun dengan tangannya sama sekali, tidak istri dan tidak pula
pembantu, kecuali ketika beliau berjihad di jalan Allah. Dan tatkala beliau
disakiti, maka tidak pernah beliau membalas pelakunya sedikit pun, kecuali
apabila dilanggar satu hal yang Allah haramkan, maka beliau membalas karena
Allah ‘azza wa jalla.”(HR. Muslim)
Maka seorang mukmin harus marah kepada orang-orang kafir
disebabkan kekafiran mereka, demikian pula marah kepada pelaku bid’ah dan
maksiat sesuai kadar bid’ah dan maksiatnya. Ini adalah marah yang terpuji. Sebaliknya,
jika seorang mukmin malah senang dengan pelaku syirik, atau tidak marah
terhadap pelaku bid’ah dan maksiat, maka itu adalah sikap yang jelek, bahkan
senang dengan pelaku syirik karena kesyirikannya adalah kekafiran kepada Allah
ta’ala.
2.
Kemarahan yang Tercela
Marah yang tercela adalah marah yang bukan karena Allah, yang
berdasarkan pada sesuatu yang tercela, seperti marah karena kesombongan, hizbiyyah
(fanatisme golongan), dan berbagai sebab yang tercela lainnya.
3. Kemarahan yang Mubah
Marah yang mubah adalah marah karena tabiat (sifat dasar
manusia), seperti marah karena disakiti atau dihina, hukum asalnya mubah, namun
dapat menjadi haram apabila mengantarkan kepada yang haram, seperti berbuat
zalim, mencaci, mengghibah, bahkan memukul dan membunuh.
Dan sebaliknya, marah karena tabiat ini dapat menjadi
kebaikan yang besar apabila dikelola secara benar, yaitu sesuai tuntunan agama
yang mulia ini.
Bedasarkan penjelasan di atas, maka sejarah menunjukkan para
utusan Allah pun pernah marah. Mereka marah saat menyaksikan umatnya tidak
mengikuti norma-norma hukum syari’at yang telah ditetapkan Allah. Begitu pun
para guru, mereka akan marah kepada murid-muridnya yang tidak patuh. Juga para
orang tua, mereka akan marah kepada anak-anaknya yang tidak berbakti dan tidak
hormat kepadanya, dst. Itulah sifat marah positif yang diperbolehkan Allah dan
RasulNya. Beda dengan amarah yang
tercela yang bersumber dari nafsu lawwamah. Sifat semacam itu
dilarang oleh Allah dan RasulNya. Jadi, marah positif adalah marah karena Allah
(ghodhobullah). Sedang marah tercela adalah marah karena syaitan (ghodhobus
syaitan).[36]
Adapun yang dimaksud wasiat Rasulullah dalam
Hadits Riwayat Bukhari nomor 5651 adalah marah yang tergolong dalam sifat tercela yang dapat merugikan diri sendiri dan orang
lain. Oleh karena itu sifat ini dilarang oleh Islam. Sudah seharusnyalah kita
berusaha mengendalikan sifat ini. Marah akan menutupi pikiran sehat seseorang. Orang yang marah tidak akan bisa
mempertimbangkan baik dan buruk. Ia akan bertindak sekehendak nafsu amarahnya. Ia bertindak berdasarkan emosi saja. Dengan
demikian akan mudah dipengaruhi setan. Sebagai orang beriman dan bertakwa kita
harus bisa mengendalikan diri dari amarah, karena mengendalikan diri dari marah
adalah salah satu ciri orang yang bertakwa. Bahaya
sifat marah, antara lain
1.
Meretakkan hubungan pertemanan atau
kekerabatan. Orang yang dimarahi akan merasa dihina dan dicemooh.
2.
Akan dijauhi orang lain.
3. Bisa menimbulkan penyakit pusing bahkan bisa
terserang hipertensi (darah tinggi).
4.
Menimbulkan dosa, apalagi kalau marahnya berlebihan
dengan menimbulkan kerusakan-kerusakan terhadap barang-barang, baik milik
sendiri maupun milik orang lain.
5.
Dibenci Allah, Rasul-Nya, serta manusia.
6.
Dapat merusak iman seseorang dan dapat
menimbulkan dendam dan sakit hati.
Oleh karena itu, melihat dampak buruk dari
marah yang tercela tersebut kita harus menanggulanginya. Beberapa cara menanggulangi
sifat marah adalah:
1. Berusaha menyadari akibat buruk yang timbul
dari marah.
2. Mengoreksi kesalahan diri sendiri.
3.
Berusaha bersabar dalam menghadapi masalah,
yaitu jika marah dalam keadaan berdiri, hendaknya kita segera duduk. Jika tidak
reda juga, kita berbaring dan jika tidak terkendali juga, kita harus segera
berwudlu, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dalam hadistnya.
1. Melemahkan potensi marah pada diri kita dengan
tindakan preventif seperti puasa sunnah, puasa bicara, dzikir kalbu, shalat
tahajjud, dan tawajjuh (bermuwajahah/bertatap muka/berusaha menemui) kepada
Allah secara istiqamah dan mudawamah, konsisten dan berkesinambungan.
2. melakukan tindakan kuratif ketika api marah
mulai menyala dengan berwudhu, duduk dan berbaring, serta menjauhi sasaran
kemarahan.
Kedua strategi ini jika belum membawa hasil
yang memuaskan, maka perlu mengikuti riyâdhat al-nafs, pelatihan jiwa atau
spiritual education yang lebih intensif, terutama dengan perubahan pola makan
dan pola hidup serta pola ibadah.[37]
Ath-thufi berkata,”perkara yang paling kuat
dalam menolak marah adalah mengingat tauhid yang sesungguhnya.” Maksudnya,
tidak ada pelaku kecuali Allah, semua pelaku selain Allah adalah alat baginya
barang siapa mengalami perkara yang tidak disukai dari selainnya, lalu dia menyadari
jika Allah menghendaki niscaya hal itu tidakt erjadi, maka kemarahannya akan
reda, karena jika dia marah berarti kemarahannya diajukan kepada Tuhannya.[38]
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan
hadis-hadis tentang jangan marah dengan kajian ma’anil hadis, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Bedasarkan
penelitian Hadits di atas kualitas sanad Hadits Riwayat Bukharino.5651
merupakan Hadits Shahih.
2. Ghadab
atau Marah adalah sikap emosi karena adanya pendapat yang bertentangan dengan
kemauannya. Marah juga berarti suatu kondisi kejiwaan seseorang yang tidak
senang terhadap sesuatu, karena tidak sesuai dengan kehendak hatinya. Dalam
keadaan marah, kondisi kejiwaan manusia sedang tidak stabil dan cenderung untuk
berbuat negatif. Marah itu diciptakan oleh Allah SWT dari api yang ditanam ke
dalam diri manusia. Marah termasuk salah satu sifat tercela yang
harus dihindari, karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
3.
Adapun marah dapat
dibedakan menjadi 3 yaitu: Kemarahan yang terpuji: marah dalam urusan agama,
Kemarahan yang tercela: marah yang membawa dampak buruk dan kemarahan yang mubah.
a.
Melemahkan potensi marah pada diri kita dengan
tindakan preventif seperti puasa sunnah, puasa bicara, dzikir kalbu, shalat
tahajjud, dan tawajjuh (bermuwajahah/bertatap muka/berusaha menemui) kepada
Allah secara istiqamah dan mudawamah, konsisten dan berkesinambungan.
b.
melakukan tindakan kuratif ketika api marah
mulai menyala dengan berwudhu, duduk dan berbaring, serta menjauhi sasaran
kemarahan.
Kedua strategi ini jika belum membawa hasil
yang memuaskan, maka perlu mengikuti riyâdhat al-nafs, pelatihan jiwa atau
spiritual education yang lebih intensif, terutama dengan perubahan pola makan
dan pola hidup serta pola ibadah.
B. Saran-saran
Sebagai
pertimbangan dalam memperlakukan teks keagamaan, khususnya hadis dapat
dilakukan dengan pemahaman tekstual dan kontekstual, tergantug sejauh
mana cakupan matan hadis tersebu. Pemahaman tekstual ataupun kontekstual
masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan jika dihadapkan pada
situasi dan kondisi kekinian. Yang harus diperhatikan adalah, bahwa pemahaman
hadis dari sudut pandang matan selayaknya menjadi pijakan dasar untuk
mengembangkan makna diiringi dengan metode pendekatan lain yang sesuai,
hingga pada akhirnya kajian keagamaan tidak terkesan kaku dan membosankan.
Adapun
pemahaman terhadap hadis tentang jangan marah yang terkait dengan kondisi
social, penulis menyarankan kepada para pembaca agar menambah bacaannya, baik
bacaan terhadap teks-teks atau buku-buku maupun bacaan terhadap kondisi sosial
yang ada, dengan harapan agar pemahaman tentang malu adalah sebagian dari iman
akan lebih sesuai dengan situasi kondisi kekinian.
DAFTAR PUSTAKA
Ajati, Utsman. 2003. Psikologi dalam
Tinjauan Hadits Nabi saw. Jakarta: Mustaqin,
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar. 2008. Fathul Baari 29. Terj. Amiruddin. Jakarta:
PustakaAzzam
Hidayat,
Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik.
Jakarta: Paramadina
Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhwadl,
1995. Syarah Jami al-Turmudzi. Beirut: Dar al-Fikr
Imam al Ghazali, Ihya Ulumudin,
2011. diterjemahkan oleh Drs. Asmuni, Jakarta: Islam Kaffah
Ismail, M. Syuhudi. 1991. Cara Praktis Mencari Hadis,
Jakarta: Bulan Bintang
Ismail, M. Syuhudi. 1997. Kaedah Kesahihan Hadis, Jakarta:
Bulan Bintang,
Musahadi, 2000.
Evolusi Konsep Sunnah: Implikasi Perkembangan Pada Hukum Islam,
Semarang: Aneka Ilmu
Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadi. Jakarta: Gaya Media
Pratama
Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah, Juz II. Jakarta:Lentera Hati
Syihabuddin Abu
al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Jilid XII
(Beirut: Dar Sadir, 1326 H), hlm. 262-267. Lihat juga Abdul Gaffar Sulaiman
al-Bandari, Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Jilid IV. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah
http://ahlussunnahsukabumi.com/manajemen-marah/.
Diakses tanggal 26 Desember 2014
http://health.kompas.com/read/2013/06/23/1921567/Kehidupan.
Modern. diakses
tanggal 5 Nopember 2014
http://health.kompas.com/read/2013/06/23/1921567/Kehidupan.Modern.Bikin.Manusia.Gampang.Maah.
diakses tanggal 5 Nopember 2014
http://www.scribd.com/doc/213705517/Ghadab-Pemarah#scribd.
Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
http://www.snba1992.wordpress.com. Diakses pada
tanggal 26 Desember 2014
[1]Ajati, Utsman. Psikologi dalam Tinjauan
Hadits Nabi saw. (Jakarta: Mustaqin, 2003). Hal 77
[2]Imam al Ghazali, Ihya Ulumudin,
diterjemahkan oleh Drs. Asmuni, (Jakarta: Islam Kaffah, 2011), Hal.
3
[3] M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), hlm. 86.
[4] Ibid.,
[5] Utang
Ranuwijaya, Ilmu Hadi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm.
111-112.
[6] M. Syuhudi
Ismail, Cara Praktis Mencari Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm.
17
[7] https://alquranmulia.wordpress.com/2013/07/16/itibar-mutabi-dan-syahid/.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2014
[8] Syihabuddin
Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Jilid
XII (Beirut: Dar Sadir, 1326 H), hlm. 262-267. Lihat juga Abdul Gaffar Sulaiman
al-Bandari, Mausu’ah Rijal al-Kutub al-Tis’ah, Jilid IV (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 465.
[9] Syihabuddin
Abu al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib ..., hlm.
262-267. Lihat juga Abdul Gaffar Sulaiman al-Bandari, Mausu’ah Rijal ..., hlm.
465.
[10] Untuk lebih
detailnya lihat dlam CD Lidwa
[11] Untuk lebih
detailnya lihat dlam CD Lidwa
[12] Untuk lebih
detailnya lihat dlam CD Lidwa
[13] Untuk lebih
detailnya lihat dlam CD Lidwa
[14] Musahadi, Evolusi
Konsep Sunnah: Implikasi Perkembangan Pada Hukum Islam (Semarang: Aneka
Ilmu, 2000), hlm 158
[15] Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Fathul Baari 29. Terj. Amiruddin, (Jakarta: PustakaAzzam,
2008), hlm. 400
[16] Ibid.,
[17] Ibid., hlm.
400-401
[19]
Ibid.,
[20]
Ibid.,
[22] Hadits Riwayat
Bukhari Nomor . 88 dalam CD Lidwa
[23] Hadits Riwayat
Muslim nomor 4296 dalam CD Lidwa
[24] Hadits Riwayat
Abu Daud nomor 551 dalam CD Lidwa
[26] Hadits Riwayat
Abu Daud Nomor 4151 dalam CD Lidwa
[27] Hadits Riwayat
Abu Daud Nomor 4152 dalam CD Lidwa
[28] Hadis Riwayat
Abu Daud Nomor 4149 Dalam CD Lidwa
[29] Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996), hlm. 23.
[30] Musahadi HAM.,
Evolusi ..., hlm. 158.
[31]Imam Muhammad
‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhwadl : Syarah Jami al-Turmudzi,
Terj. (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Juz 6, hlm. 130.
[32] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Juz II
(Jakarta:Lentera Hati,2002), hlm, 265-266
[33] Musahadi HAM, Evolusi
........, hlm. 159.
[34]http://health.kompas.com/read/2013/06/23/1921567/Kehidupan.Modern.Bikin.Manusia.Gampang.Maah.
diakses tanggal 5 Nopember 2014
[35] http://ahlussunnahsukabumi.com/manajemen-marah/.
Diakses tanggal 26 Desember 2014
[36] www.snba1992.wordpress.com.
Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
[37] http://www.scribd.com/doc/213705517/Ghadab-Pemarah#scribd.
Diakses pada tanggal 26 Desember 2014
[38]
Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Fathul Baari 29. Terj. Amiruddin……….., hlm. 403

0 komentar:
Posting Komentar