BAB
I
PENDAHULUAN
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’
berasal dari bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri
berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang
berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein
yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti
‘penafsiran’. Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’
atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa makna ini dapat disimpulkan
bahwa hermeneutik adalah ‘usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap
kepada sesuatu yang lebih terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti’.[1]
Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada
tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang
bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan
sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini
lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan
pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti
oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau
menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.[2]
Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut
terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa.
Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik.
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan
kita pada apa yang ditulis oleh Ariestoteles dalam Peri Hermeneias atau De
Interpretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol
dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai
kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak
mempunyai kesamaan bahasa uacapan dengan yang lain.akan tetapi, pengalaman-pengalaman
mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk menggambarkan
sesuatu.[3]
Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar
memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses
hermeneutik mengandung banyak elemen-elemen lain yang saling terkait, seperti
praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas. Selain itu, proses
hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur
dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam
perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai
cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk
memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk
mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[4]
Dalam makalah ini, penulis tidak akan mengupas
secara tuntas ketiga model hermeneutik tersebut. Penulis hanya akan menelaah
hermeneutik Hans-Georg Gadamer yang masuk dalam kategori hermeneutika filosofis.
Foto : Wikipedia
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Hans-Georg
Gadamer
Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Marburg pada
tahun 1900.[5]
Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di
sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora..
Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada
umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer
tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk
memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang
anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf,
karena sudah meninggal pada tahun 1928.[6]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang
filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg
mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar
filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann,
dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor
filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, Gadamer mengikuti
kuliah Martin Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan
kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di
Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat
tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di
universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil
membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya,
Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[7] Selain
dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Soren Kierkegaard,
F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, dan Karl Jaspers.[8]
Pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi
profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke
Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh.
Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada
di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur
yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer
diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai
rektor universitas.[9]
Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut.
Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer
hijrah ke Jerman Barat.
Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt
am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers
di Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif
bagi karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah
melewati petualangan filosofis yang demikian panjang, Gadamer meninggal di kota
Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.[10] Wahrheit
und Methode, Grundziige einer philosophischen Hermeneutik (Kebenaran
dan Metode:Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya) adalah
karya utama dan magnum opus Gadamer. Selain itu, masih banyak
karya yang dihasilkan dari tangan Gadamer. Di antaranya adalah Platons
dialektische Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie (Etika
Dialektis dari Plato dan Studi-studi Lain tentang Filsafat Plato)
(1968), Hegels Dialektik. Fünf hermeneutische Studien (Dialektika
Hegel: Lima Studi Hermeneutis) (1971), Kleine Schriften I,
II, III, IV (Karangan-karangan Kecil I, II, III, IV) (1967, 1967,
1972, 1977), Philosophische Lehrjahre. Eine Rückschau (Tahun-tahun
Saya Belajar Filsafat: Sebuah Retrospeksi) (1977), dan Hans-Georg
Gadamer. Gesammelte Werke (1986-1995) yang merupakan kumpulan
karya-karya penting Gadamer yang terdiri atas 10 jilid.[11]
B.
Latar Belakang Pemikiran Hermeneutika Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam bidang
hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya berjudul Wahrheit and Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar
di perpustakaan dan sirkulasi filsafat. Walaupun judul bukunya Kebenaran dan
Methode, sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutika sebagai
metode dan berada jauh dari kebenaran. Sebenarnya yang ingin ia tekankan adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologism bukan metodologis. Menurut
Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru
menghalangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan
melalui metode melainkan melalui dialektika.[12]
Dalam Kebenaran dan Metode karya Gadamer yang paling menarik adalah
konsepnya tentang “Permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang
seni, permainan dapat dijadikan kerangka berfikir di dalam proses memahami yang
menjadi pokok bahasan hermeneutika. Pemahaman mendampingi kita pada saat
menghadapi objek-objek di dunia ini. Kita tidak menyadari hal itu kita memahami
bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita namun tanpa kesadaran itu, kita
tidak dapat menangkap objek yang kita hadapi. Contohnya saja pada setiap
permainan mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen
terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik,
pertama-tama orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya.
Sesudah seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan tersebut, maka
segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak
menyadari permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak konsep hermeneutika
sebagai metode, meskipun menurut dia hemeneutika adalah pemahaman, namun ia
tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[13] Beberapa
latar belakang pandangan Hans Georg Gadamer tentang hermeneutika antara lain
adalah:
1.
Hermeneutika
merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggung jawabkan pemahaman sebagai
proses ontologism di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun
metode obyektifitas melainkan modus existendi manusia. Karena setiap pemahaman
merupakan peristiwa historical, dialektik dan kebahasaan.
2.
Meskipun
hermeneutik adalah pemahaman namun hal tersebut tidak bersifat metodis, tapi
ontologism-dialektis.
3.
Untuk
dapat memahami sebuah teks harus membuang jauh segala bentuk prakonsepsi dengan
maksud supaya terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks.
4.
Sebuah
teks baik itu berupa peraturan perundang-undangan maupun kitab suci, harus
dipahami setiap saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan
berbeda dengan yang lama, jika hal tersebut ingin dipahami sebagaimana
mestinya.[14]
C.
Sumber dan
Hakikat Pengetahuan
Menurut
Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya
semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi
yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di masa depan.[15] Di
dalam sejarah, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu sama lain.
Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem makna yang general.
Dengan demikian, bahasa suatu masyarakat (native language) tidak hanya
sebagai simbol yang merepresentasi diri (self), tetapi juga karakter (nature)
dan pemikiran atau pandangan masyarakat (worldview, thought, weltanschaung).
Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna
yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh
karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu
masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka.[16] Singkatnya,
kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge)
manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks. dan
hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah
pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai
dengan situasi dan kondisi sang penafsir. [17]
Alat
Pengetahuan Gadamer adalah bahasa.
Bahasa merupakan the
concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’(ekspresi kongkret dari
kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi titik sentral dalam proses
pemahaman (understanding/verstehen).[18] Menurut
Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa. Karena
“mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau, tetapi
merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat
disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan
mengadakan percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana
sungguh-sungguh terjadi sesuatu.[19] Gadamer
menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang benar terhadap
bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media
bahasa.[20]
Berbicara
tentang bahasa, Gadamer sering menekankan bahwa bahasa tidak mengekspresikan
pemikiran, tetapi mengekspresikan objek itu sendiri. Menurutnya, tidak ada
perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek secara tuntas. Hal ini terjadi
bukan karena keterbatasan bahasa, tetapi karena keberhinggaan subjek manusia.[21] Selanjutnya,
Gadamer juga menjelaskan bahwa bahasa lebih dari sekadar suatu sistem tanda.
Sebab, objek dan kata tidak dapat dipisahkan. Di antara keduanya terdapat
kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya tidak lain
daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian pula,
bahasa dan pemikiran pun membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[22]
D.
Pemikiran Hermeneutika Hans Georg Gadamer
1.
Teori Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (wirkungsgeschichtliches
Bewusstsein; historically effected
Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir
ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik
itu berupa tradisi, kultur meaupun pengalaman hidup. Karena itu, pada saat
menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyogyanya sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu
yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang
ditafsirkan. Lebih lanjut Gadamer mengatakan: “Seseorang (harus) belajar memahami dan
mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh
dari Wirkungsgeschichte (affective history; “sejarah yang
mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran.” Mengatasi problem keterpengaruhan ini memang
tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh Gadamer. Pesan dari teori ini adalah
bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subyektifitasnya ketika dia
menafsirkan sebuah teks.[23]
2.
Teori “Prapemahaman” (Vorverständnis;
pre-understanding)
Keterpengaruhan oleh
situasi hermeneutik atau Wirkungsgeschichte tertentu membentuk pada diri
seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah Vorverständnis
atau “prapemahaman” terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan
posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer
mengukakan:
Immer ist im Verstehen ein Vorverständnis im Spiel, das seinerseits
durch die bestimmende Tradition, in der der Interpret steht, und durch die in
ihr geformte Vorurteile geprägt ist.[24]
(Dalam proses pemahaman prapemahaman selalu memainkan
peran; prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, dimana seorang
penafsir berada, dan juga diwarnai oleh prejudis-prejudis (Vorurteile; perkiraan awal) yang terbentuk di dalam tradisi tersebut)
Keharusan adanya
prapemahaman tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir
mampu mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman
seseorang tidak akan berhasil memahami teks secara baik. Kaitannya dengan hal
ini, wajarlah bahwa Oliver R. Scholz dalam bukunya Verstehen und
Rationalität berpendapat bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah Präsumtion
(“asumsi atau dugaan awal”) merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi
pemahaman yang benar” (unentbehrliche Mittel für das richtige Verstehen).[25]
Meskipun demikian, prapemahaman, menurut Gadamer, harus terbuka untuk
dikritisi, direhabilitasi dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia
sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud
oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini sudah barang tentu dimaksudkan untuk
menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau
koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah Vollkommenheit
des Vorverständnisses (“kesempurnaan prapemahaman”).
3. Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion
of Horizons) dan Teori “Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
Dalam
menafsirkan teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui prapemahamannya.
Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion
of horizons). Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi
oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam
teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Kedua horison ini selalu
hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan
memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya. Namun, dia juga
memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin
berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut
Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat
diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa
lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut
muncul.[26]
Seorang pembaca
teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni
horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison
pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa
lalu berlaku (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata
berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa
teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya,
memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara.[27]
Interaksi di
antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical
circle). Gadamer menekankan, bahwa mengerti
mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka
sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian, haruslah bertolak
dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu teks, sebelum itu telah ada
pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Tanpa hal
tersebut, tidak mungkin seseorang memperoleh pengertian tentang teks tersebut.
Jadi dengan membaca teks tersebut, prapengertian terwujud dalam pengertian yang
sungguh-sungguh. Proses itulah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutika oleh
Heidegger dan Gadamer. Meski begitu, lingkaran sudah terdapat pada taraf yang
paling fundamental, yang menandai keberadaan seseorang. Atau, mengerti tentang
dunia bisa menjadi mungkin, jika telah ada prapengertian tentang dunia dan diri
kita sendiri, yang memungkinkan keberadaan kita.[28]
Menurut Gadamer, horison pembaca hanya
berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak
pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks
berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa
pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya,
titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya
dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas
pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih
diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.[29]
4. Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
Di atas telah dipaparkan bahwa makna obyektif teks harus
mendapat perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Ketika makna obyektif
telah dipahami, kemudian apa yang harus dilakukan oleh pembaca/penafsir teks
yang mengandung pesan-pesan yang harus atau seyogyanya dipraktikkan ke dalam
kehidupan sehari-hari, misalnya kitab suci. Sementara itu, di sisi lain rentang
waktu antara munculnya teks tersebut dan masa, ketika seorang penafsir hidup,
yang tentunya kondisi sosial, politik, ekonomi dll. juga telah jauh berbeda
dengan kondisi pada masa munculnya teks. Menurut Gadamer, ketika seseorang
membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan ada satu hal
lagi yang dituntut, yang disebutnya dengan istilah “penerapan” (Anwendung)
pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu
ditafsirkan.[30] Menurut Gadamer:
The task of interpretation always poses itself when
the meaning content of the printed work is disputable and it is the matter of
attaining the correct understanding of the ‘information’. However, this
‘information’ is not what the speaker or writer originally said, but what he
wanted to say indeed even more: what he would have wanted to say to me if I
have been his original interlocutor. It is something of a command for
interpretation that the text must be followed, according to its meaningful
sense (Sinnesgemäß) (and not literally). Accordingly we must say the
text is not a given object, but a phase in the execution of the communicative
event.[31]
Pada kutipan di atas Gadamer
berpendapat bahwa pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan
makna literal teks, tetapi “makna yang berarti” (meaningfull sense)
atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar makna literal. Intinya, dalam
membaca dan mamahami teks-teks historis berlaku proses hermeneutis yang dalam
istilah Gadamer disebut effective history.[32] Konsep
ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah
teks-teks historis. Pertama, masa lampau, di mana sebuah teks
dilahirkan atau dipublikasikan. Di sini, makna teks bukan hanya milik
pengarang, tetapi juga milik setiap orang yang berusaha membaca dan
memahaminya. Kedua, masa kini, di mana penafsir datang dengan
membawa sejumlah prasangka atau praanggapan. Dengan prasangka ini, penafsir
akan berdialog dengan masa lalu sehingga melahirkan makna baru yang sesuai
dengan kondisi penafsir. Ketiga, masa depan, di mana di dalamnya
terdapat nuansa baru yang produktif.[33]
E. Kritik
Hans Georg Gadamer
Secara umum,
dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen).
Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke generasi terus
berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan gagasan
Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan hermeneutika romantis. Dalam pandangan Schleiermacher
dan Dilthey, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks
tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran,
pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Oleh karena itu, seorang
penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah dan psikologi.
Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini, interpretasi suatu teks merupakan
pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada
apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja
interpretasi adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna
asli.[34]
Selain itu,
dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator harus sanggup
melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat “pindah” ke
zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat dengan suatu
horison historis yang melingkupinya.[35]
Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong
ke situasi dan kondisi penulis teks.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan
pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer
juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama, Gadamer keberatan
dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik
bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak
sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh
pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak
terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.[36] Karena itu, interpretasi tidak
bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.[37]
Kedua, Gadamer juga
mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang
interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupinya
dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer, kita sebagai
interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di mana kita
berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut
ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa
yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks
merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban
tugas untuk menginterpretasikan suatu teks.
Ketiga, Gadamer juga
mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para
pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis, dalam
menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh. Menurut para
pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti
kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Gadamer menolak pandangan ini.
Menurut Gadamer, dalam memahami suatu teks, kita tidak dapat melepaskan diri
dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha
yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara
prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka
yang sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika
romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya. Menurut
Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi
bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita
terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan membantu kita dalam proses
pemahaman.[38]
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang
digagas oleh Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi
hermeneutika romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan
apa pun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola
pikir ini, hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan
objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh
Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika
objektivis. Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa
upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang
akan menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan
penafsir tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat
dikosongkan dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya
objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang
mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga
teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang
waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan.
Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang produktif antara
masa lalu dan masa kini.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gadamer menggelari
kerja dan karyanya bukan dengan filsafat hermeneutis, filsafat hermeneutika
atau filsafat saja, melainkan dengan hermeneutika filosofis untuk membedakannya dari hermeneutika
yang selama ini dikenal. Bahkan filsafat bukanlah tujuan dari hermeneutika
filosofis, filsafat adalah sarananya. Bagi
Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni,
apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya.
Gadamer mengatakan bahwa pemahaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa
pemahaman, bahkan manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sejarah dan masa
lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman juga pengetahuan, pikiran kita.
Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita pada saat
ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan
bahasa. Oleh karena itu pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi
pribadi kita sendiri saat ini pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan
ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan di luar kerangka
waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Gadamer
menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar
seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian,
haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu teks, sebelum
itu telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu.
B.
Saran
Sebagai penulis
tidak luput dari kesalahan, karena penulis hanyalah manusia biasa. Karena itu
harapan penulis adanya kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan makalah ini
agar mudah dipahami oleh pembaca dan menjadi lebih baik dari ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, Khozin. 2007. Hermeneutika.
Surabaya: Alpha
Al Jauhari, Imam Chanafie. 1999. Hermeneutika
Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta: Ittaqa Press
Bleicher, Josef. 2007. Hermeneutika
Kontemporer, terj. Imam Khoiri.Yogyakarta: Fajar Pustaka
E.Sumaryono, 1999. Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat).
Yogyakarta: Kanisius
Faiz, Fakhruddin.
2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: ELSAQ
Press
Gadamer. Hans-Georg. 2004. Kebenaran dan
Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Hardiman, F.
Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Hidayat, Komaruddin.
1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta:
Paramadina
K.
Bertens. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta:
Gramedia
Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa:Realitas
Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma
Poespoprodjo. 2004. Hermeneutika, Bandung:
Pustaka Setia
Hans-Georg
Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan
Al-Qur’an pada Masa Kontemporer, Makalah pada Annual
Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman
Agama RI, Bandung
Anis
Chariri, “Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam
http://www.anischariri.multiply.com, diakses pada
tanggal 9 November 2014
Elifas
Tomix Maspaitella, “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”,
dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses pada
tanggal 9 November 2014.
[1] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme
dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem
Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37.
[3]E.Sumaryono, Hermeneutik
(Sebuah Metode Filsafat). (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 24
[4]Fakhruddin Faiz, Hermeneutika
Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: ELSAQ Press, 2005),
hlm. 8-11.
[5] E.Sumaryono, Hermeneutik
(Sebuah Metode Filsafat………, hlm. 67
[9]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm.
255-256.
[12] E.Sumaryono, Hermeneutik (Sebuah Metode
Filsafat)……………….., hlm. 23-24
[13] Ibid,63-64
[14]Imam
Chanafie al Jauhari, Hermeneutika
Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta: Ittaqa
Press: 1999), hlm. 35
[15]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 21-22.
[16]Elifas Tomix Maspaitella, “Hermeneutika
Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses pada tanggal 9 November 2014.
[18]Anis Chariri, “Philosophy of Social Science:
Interpretative Sociology”, dalam http://www.anischariri.multiply.com, diakses pada tanggal 9 November 2014, hlm.
25.
[20]Hans-Georg
Gadamer. Kebenaran dan Metode:
Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah.(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar:2004). hlm. 467.
[23]
Syahiron Syamsuddin, Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an
pada Masa Kontemporer, Makalah pada Annual Conference
Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI,
Bandung, hlm. 6-7
[25] Ibid.,
[27] Ibid.,
[28] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer:
Inggris-Jerman……………, hlm. 258
[32]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa
Agama,…………….., hlm. 22
[34] K.
Bertens, Filsafat Barat……………………,
hlm. 256-257
[35] Ibid, hlm.
262
[36] E. Sumaryono, Hermeneutik…………………….., hlm. 109
[37] K.
Bertens, Filsafat Barat………………………,
hlm. 263
[38] K. Bertens, Filsafat Barat………………………, hlm.
264-265

0 komentar:
Posting Komentar