Sebaik-baik Kalian adalah yang Belajar Al-Qur'an dan Mengamalkannya

Minggu, 13 Desember 2015

KAJIAN HERMEUNETIKA GADAMER



BAB I
PENDAHULUAN

Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa  Yunani hermeneuo yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’. Dari beberapa makna ini dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah ‘usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap kepada sesuatu yang lebih terang’ atau ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.[1]
Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.[2] Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik.
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kita pada apa yang ditulis oleh Ariestoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah symbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa uacapan dengan yang lain.akan tetapi, pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkan secara langsung itu adalah sama untuk menggambarkan sesuatu.[3]
Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik mengandung banyak elemen-elemen lain yang saling terkait, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas. Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[4]
Dalam makalah ini, penulis tidak akan mengupas secara tuntas ketiga model hermeneutik tersebut. Penulis hanya akan menelaah hermeneutik Hans-Georg Gadamer yang masuk dalam kategori hermeneutika filosofis.




 Foto : Wikipedia

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Riwayat Hidup Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Marburg pada tahun 1900.[5] Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora.. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat. Tetapi sayang, sang ayah yang tidak merestui pilihan sang anak tidak sempat menyaksikan keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf, karena sudah meninggal pada tahun 1928.[6]
Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, Gadamer berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki gelar doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Akhirnya, Gadamer pun diangkat menjadi dosen pada Universitas Marburg.[7] Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Soren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, dan Karl Jaspers.[8]
Pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi profesor di bidang filsafat. Selanjutnya, pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat sebagai guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, akhirnya Gadamer diangkat sebagai dekan fakultas filsafat, untuk selanjutnya diangkat sebagai rektor universitas.[9] Akan tetapi, Gadamer tidak dapat bertahan lama memegang jabatan tersebut. Karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit, Gadamer hijrah ke Jerman Barat.
Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Selanjutnya, pada tahun 1949, Gadamer menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Akhirnya, Heidelberg menjadi tempat yang kondusif bagi karier Gadamer sampai memasuki masa pensiun pada tahun 1968. Setelah melewati petualangan filosofis yang demikian panjang, Gadamer meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.[10] Wahrheit und Methode, Grundziige einer philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode:Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya) adalah karya utama dan magnum opus Gadamer. Selain itu, masih banyak karya yang dihasilkan dari tangan Gadamer. Di antaranya adalah Platons dialektische Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie (Etika Dialektis dari Plato dan Studi-studi Lain tentang Filsafat Plato) (1968), Hegels Dialektik. Fünf hermeneutische Studien (Dialektika Hegel: Lima Studi Hermeneutis) (1971), Kleine Schriften I, II, III, IV (Karangan-karangan Kecil I, II, III, IV) (1967, 1967, 1972, 1977), Philosophische Lehrjahre. Eine Rückschau (Tahun-tahun Saya Belajar Filsafat: Sebuah Retrospeksi) (1977), dan Hans-Georg Gadamer. Gesammelte Werke (1986-1995) yang merupakan kumpulan karya-karya penting Gadamer yang terdiri atas 10 jilid.[11]

B.     Latar Belakang Pemikiran Hermeneutika Hans Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam bidang hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya berjudul Wahrheit and Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar di perpustakaan dan sirkulasi filsafat. Walaupun judul bukunya Kebenaran dan Methode, sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutika sebagai metode dan berada jauh dari kebenaran. Sebenarnya yang ingin ia tekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologism bukan metodologis. Menurut Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru menghalangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika.[12]
Dalam Kebenaran dan Metode karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang “Permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, permainan dapat dijadikan kerangka berfikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutika. Pemahaman mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. Kita tidak menyadari hal itu kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita namun tanpa kesadaran itu, kita tidak dapat menangkap objek yang kita hadapi. Contohnya saja pada setiap permainan mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya. Sesudah seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan tersebut, maka segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak menyadari permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak konsep hermeneutika sebagai metode, meskipun menurut dia hemeneutika adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[13] Beberapa latar belakang pandangan Hans Georg Gadamer tentang hermeneutika antara lain adalah:
1.      Hermeneutika merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggung jawabkan pemahaman sebagai proses ontologism di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus existendi manusia. Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historical, dialektik dan kebahasaan.
2.      Meskipun hermeneutik adalah pemahaman namun hal tersebut tidak bersifat metodis, tapi ontologism-dialektis.
3.      Untuk dapat memahami sebuah teks harus membuang jauh segala bentuk prakonsepsi dengan maksud supaya terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks.
4.      Sebuah teks baik itu berupa peraturan perundang-undangan maupun kitab suci, harus dipahami setiap saat, dalam setiap situasi khusus, dalam cara yang baru dan berbeda dengan yang lama, jika hal tersebut ingin dipahami sebagaimana mestinya.[14]

C.      Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Menurut Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di masa depan.[15] Di dalam sejarah, setiap orang mengembangkan cara-cara memahami satu sama lain. Mereka mengkombinasikan berbagai makna menjadi satu sistem makna yang general. Dengan demikian, bahasa suatu masyarakat (native language) tidak hanya sebagai simbol yang merepresentasi diri (self), tetapi juga karakter (nature) dan pemikiran atau pandangan masyarakat (worldview, thought, weltanschaung). Bahasa memiliki kekuatan untuk mengungkap dan juga menyembunyikan suatu makna yang dimiliki atau dipahami secara eksklusif oleh komunitas setempat. Oleh karena itu, orang lain yang hendak memahami bahasa atau pemikiran suatu masyarakat harus masuk ke dalam sejarah dan cara membahasa mereka.[16] Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks. dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi sang penafsir. [17]
Alat Pengetahuan Gadamer adalah bahasa. Bahasa merupakan the concrete expression of ‘form of life’ or ‘tradition’(ekspresi kongkret dari kehidupan atau tradisi), maka bahasa menjadi titik sentral dalam proses pemahaman (understanding/verstehen).[18] Menurut Gadamer, “mengerti” tidak mungkin dapat terlaksana tanpa bahasa. Karena “mengerti” bukan saja dilakukan dalam memahami teks-teks masa lampau, tetapi merupakan sikap paling fundamental dalam eksistensi manusia, maka dapat disimpulkan bahwa bahasa mempunyai relevansi ontologis. “Mengerti” sama dengan mengadakan percakapan atau dialog dengan yang ada, suatu percakapan di mana sungguh-sungguh terjadi sesuatu.[19] Gadamer menegaskan bahwa masalah hermeneutik bukan penguasaan yang benar terhadap bahasa, tetapi pemahaman yang tepat terhadap sesuatu yang terjadi melalui media bahasa.[20] 
Berbicara tentang bahasa, Gadamer sering menekankan bahwa bahasa tidak mengekspresikan pemikiran, tetapi mengekspresikan objek itu sendiri. Menurutnya, tidak ada perkataan yang dapat mengungkapkan suatu objek secara tuntas. Hal ini terjadi bukan karena keterbatasan bahasa, tetapi karena keberhinggaan  subjek manusia.[21] Selanjutnya, Gadamer juga menjelaskan bahwa bahasa lebih dari sekadar suatu sistem tanda. Sebab, objek dan kata tidak dapat dipisahkan. Di antara keduanya terdapat kesatuan yang begitu erat, sehingga mencari suatu kata sebetulnya tidak lain daripada mencari kata yang seakan-akan melekat pada benda. Demikian pula, bahasa dan pemikiran pun membentuk suatu kesatuan yang tak terpisahkan.[22]

D.    Pemikiran Hermeneutika Hans Georg Gadamer
1.      Teori Teori “Kesadaran Keterpengaruhan oleh Sejarah” (wirkungsgeschichtliches Bewusstsein; historically effected
Menurut teori ini, pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya, baik itu berupa tradisi, kultur meaupun pengalaman hidup. Karena itu, pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyogyanya  sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut Gadamer mengatakan: “Seseorang (harus) belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari Wirkungsgeschichte (affective history; “sejarah yang mempengaruhi seseorang) sangat mengambil peran.”  Mengatasi problem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh Gadamer. Pesan dari teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subyektifitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks.[23]
2.      Teori “Prapemahaman” (Vorverständnis; pre-understanding)
Keterpengaruhan oleh situasi hermeneutik atau Wirkungsgeschichte tertentu membentuk pada diri seorang penafsir apa yang disebut Gadamer dengan istilah Vorverständnis atau “prapemahaman” terhadap teks yang ditafsirkan. Prapemahaman yang merupakan posisi awal penafsir memang pasti dan harus ada ketika ia membaca teks. Gadamer mengukakan:
Immer ist im Verstehen ein Vorverständnis im Spiel, das seinerseits durch die bestimmende Tradition, in der der Interpret steht, und durch die in ihr geformte Vorurteile geprägt ist.[24]
(Dalam proses pemahaman prapemahaman selalu memainkan peran; prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, dimana seorang penafsir berada, dan juga diwarnai oleh prejudis-prejudis (Vorurteile; perkiraan awal) yang terbentuk di dalam tradisi tersebut)
Keharusan adanya prapemahaman tersebut, menurut teori ini, dimaksudkan agar seorang penafsir mampu mendialogkannya dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman seseorang tidak akan berhasil memahami teks secara baik. Kaitannya dengan hal ini, wajarlah bahwa Oliver R. Scholz dalam bukunya Verstehen und Rationalität berpendapat bahwa prapemahaman yang disebutnya dengan istilah Präsumtion (“asumsi atau dugaan awal”) merupakan “sarana yang tak terelakkan bagi pemahaman yang benar” (unentbehrliche Mittel für das richtige Verstehen).[25] Meskipun demikian, prapemahaman, menurut Gadamer, harus terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika dia sadar atau mengetahui bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Hal ini sudah barang tentu dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman terhadap pesan teks. Hasil dari rehabilitasi atau koreksi terhadap prapemahaman ini disebutnya dengan istilah Vollkommenheit des Vorverständnisses (“kesempurnaan prapemahaman”).
3. Teori “Penggabungan/Asimilasi Horison” (Fusion of Horizons) dan Teori “Lingkaran Hermeneutik” (Hermeneutical Circle)
Dalam menafsirkan teks, seseorang harus selalu berusaha memperbarui prapemahamannya. Hal ini berkaitan erat dengan teori “penggabungan atau asimilasi horison” (fusion of horizons). Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut muncul.[26]
Seorang pembaca teks harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu berlaku (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara.[27]
Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle). Gadamer menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian, haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu teks, sebelum itu telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu. Tanpa hal tersebut, tidak mungkin seseorang memperoleh pengertian tentang teks tersebut. Jadi dengan membaca teks tersebut, prapengertian terwujud dalam pengertian yang sungguh-sungguh. Proses itulah yang disebut sebagai lingkaran hermeneutika oleh Heidegger dan Gadamer. Meski begitu, lingkaran sudah terdapat pada taraf yang paling fundamental, yang menandai keberadaan seseorang. Atau, mengerti tentang dunia bisa menjadi mungkin, jika telah ada prapengertian tentang dunia dan diri kita sendiri, yang memungkinkan keberadaan kita.[28]
 Menurut Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.[29]

4. Teori “Penerapan/Aplikasi” (Application)
Di atas telah dipaparkan bahwa makna obyektif teks harus mendapat perhatian dalam proses pemahaman dan penafsiran. Ketika makna obyektif telah dipahami, kemudian apa yang harus dilakukan oleh pembaca/penafsir teks yang mengandung pesan-pesan yang harus atau seyogyanya dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kitab suci. Sementara itu, di sisi lain rentang waktu antara munculnya teks tersebut dan masa, ketika seorang penafsir hidup, yang tentunya kondisi sosial, politik, ekonomi dll. juga telah jauh berbeda dengan kondisi pada masa munculnya teks. Menurut Gadamer, ketika seseorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan ada satu hal lagi yang dituntut, yang disebutnya dengan istilah “penerapan” (Anwendung) pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu ditafsirkan.[30] Menurut Gadamer:
The task of interpretation always poses itself when the meaning content of the printed work is disputable and it is the matter of attaining the correct understanding of the ‘information’. However, this ‘information’ is not what the speaker or writer originally said, but what he wanted to say indeed even more: what he would have wanted to say to me if I have been his original interlocutor. It is something of a command for interpretation that the text must be followed, according to its meaningful sense (Sinnesgemäß) (and not literally). Accordingly we must say the text is not a given object, but a phase in the execution of the communicative event.[31]     
Pada kutipan di atas Gadamer berpendapat bahwa pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi “makna yang berarti” (meaningfull sense) atau pesan yang lebih berarti daripada sekadar makna literal. Intinya, dalam membaca dan mamahami teks-teks historis berlaku proses hermeneutis yang dalam istilah Gadamer disebut effective history.[32] Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah teks-teks historis. Pertama, masa lampau, di mana sebuah teks dilahirkan atau dipublikasikan. Di sini, makna teks bukan hanya milik pengarang, tetapi juga milik setiap orang yang berusaha membaca dan memahaminya. Kedua, masa kini, di mana penafsir datang dengan membawa sejumlah prasangka atau praanggapan. Dengan prasangka ini, penafsir akan berdialog dengan masa lalu sehingga melahirkan makna baru yang sesuai dengan kondisi penafsir. Ketiga, masa depan, di mana di dalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.[33]

E. Kritik Hans Georg Gadamer
Secara umum, dunia hermeneutik adalah dunia pemahaman atau penafsiran (verstehen). Dalam perkembangannya, metode pemahaman ini dari generasi ke generasi terus berkembang. Pada tingkat awal, dunia hermeneutik dibuka dengan gagasan Schleiermacher dan Dilthey yang biasa dikenal dengan hermeneutika romantis. Dalam pandangan Schleiermacher dan Dilthey, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Oleh karena itu, seorang penafsir harus memiliki pengetahuan yang luas tentang sejarah dan psikologi. Bagi kedua pemikir perintis hermeneutik ini, interpretasi suatu teks merupakan pekerjaan reproduktif. Mencapai arti yang benar dan genuine dari suatu teks adalah kembali kepada apa yang dihayati dan mau dikatakan oleh sang pengarang. Singkatnya, kerja interpretasi adalah kerja rekonstruksi sebuah teks demi mendulang sebuah makna asli.[34]
Selain itu, dalam pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, seorang interpretator harus sanggup melepaskan diri dari situasi historisnya. Ia seolah-olah dapat “pindah” ke zaman lain. Artinya, seorang interpretator tidak boleh terikat dengan suatu horison historis yang melingkupinya.[35] Tegasnya, ia keluar dari situasi dan kondisi zamannya untuk kemudian melancong ke situasi dan kondisi penulis teks.
Walaupun Gadamer termasuk pengagum Schleiermacher dan Dilthey, dan pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Dilthey, tetapi Gadamer juga banyak memberikan kritik terhadap pemikiran dua tokoh romantik ini. Pertama, Gadamer keberatan dengan pendapat Schleiermacher dan Dilthey yang menerangkan bahwa hermeneutik bertugas menemukan makna asli sebuah teks. Menurut Gadamer, interpretasi tidak sama dengan mengambil suatu teks lalu mencari makna yang dikehendaki oleh pengarang teks tersebut. Bagi Gadamer, arti suatu teks tetap terbuka dan tidak terbatas pada maksud pengarang teks tersebut.[36] Karena itu, interpretasi tidak bersifat reproduktif belaka, tetapi juga produktif.[37]
Kedua, Gadamer juga mengkritik pendapat hermeneutika romantis tentang waktu, yakni bahwa seorang interpretator harus dapat melepaskan diri dari dimensi waktu yang melingkupinya dan berziarah ke dimensi waktu pengarang teks. Menurut Gadamer, kita sebagai interpretator tidak dapat melepaskan diri dari situasi historis di mana kita berada. Arti suatu teks tidak terbatas pada masa lampau waktu teks tersebut ditulis, tetapi juga mempunyai keterbukaan makna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, memahami dan menginterpretasikan suatu teks merupakan tugas yang tidak akan pernah selesai. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks.
Ketiga, Gadamer juga mengkritik secara tajam konsep “tradisi’ dan “prasangka” yang digagas para pengusung hermeneutika romantis. Menurut tradisi hermeneutika romantis, dalam menafsirkan suatu teks, prasangka harus dihindarkan jauh-jauh. Menurut para pemikir hermeneutika romantis, prasangka (prejudice) hanya memiliki arti kurang baik dan bertentangan dengan kebenaran. Gadamer menolak pandangan ini. Menurut Gadamer, dalam memahami suatu teks, kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Akan tetapi, bukan berarti interpretasi menjadi suatu usaha yang subjektif dan tidak kritis. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara prasangka yang legitim dan prasangka yang tidak legitim, serta antara prasangka yang sah dan prasangka yang tidak sah. Demikian pula, sementara hermeneutika romantis menafikan otoritas suatu tradisi, Gadamer justru mengakuinya. Menurut Gadamer, walaupun kita mengakui otoritas suatu tradisi dan bahkan menjadi bagian dari tradisi, tetapi hal itu tidak akan menghambat pengenalan kita terhadap suatu teks. Sebaliknya, tradisi justru akan membantu kita dalam proses pemahaman.[38]
Selain mengkritisi beberapa konsep hermeneutika romantis yang digagas oleh Schleiermacher dan Dilthey, Gadamer juga mengkritik epistemologi hermeneutika romantis yang cenderung metodologis. Yakni, bahwa ilmu pengetahuan apa pun baru diakui sebagai ilmiah jika memiliki basis empirisme. Dengan pola pikir ini, hermeneutika menjadi bagian dari alam positivisme yang mensyaratkan objektivisme. Oleh karena itu, model hermeneutik yang diusung oleh Schleiermacher dan Dilthey, juga Betti, ini sering juga disebut hermeneutika objektivis. Pandangan ini dibantah oleh Gadamer. Gadamer berpendapat bahwa upaya objektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan belaka bagi siapa pun yang akan menafsirkan sebuah teks. Sebab, jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan lagi. Selain itu, penafsir juga tidak dapat dikosongkan dari pengaruh kulturalnya. Oleh karena itu, menurut Gadamer, upaya objektivisme murni dalam hermeneutik hanya akan menjadi kesia-siaan. Hal yang mungkin dilakukan adalah memproduksi makna yang dikandung oleh teks sehingga teks tersebut akan menjadi lebih kaya makna. Gadamer menegaskan bahwa jurang waktu dan jurang tradisi antara pengarang dan penafsir tidak mungkin disatukan. Menurutnya, yang terpenting adalah dialektika atau dialog yang produktif antara masa lalu dan masa kini.



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Gadamer menggelari kerja dan karyanya bukan dengan filsafat hermeneutis, filsafat hermeneutika atau filsafat saja, melainkan dengan hermeneutika filosofis  untuk membedakannya dari hermeneutika yang selama ini dikenal. Bahkan filsafat bukanlah tujuan dari hermeneutika filosofis, filsafat adalah sarananya. Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Gadamer mengatakan bahwa pemahaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa pemahaman, bahkan manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sejarah dan masa lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman juga pengetahuan, pikiran kita. Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karena itu pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Gadamer menekankan, bahwa mengerti mempunyai struktur lingkaran. Maksudnya, agar seseorang dapat mengerti, maka sudah harus ada pengertian dan untuk mencapai pengertian, haruslah bertolak dari pengertian. Mudahnya, untuk mengerti suatu teks, sebelum itu telah ada pengertian tertentu tentang apa yang dibicarakan dalam teks itu.

B.     Saran
Sebagai penulis tidak luput dari kesalahan, karena penulis hanyalah manusia biasa. Karena itu harapan penulis adanya kritik dan saran untuk memperbaiki tulisan makalah ini agar mudah dipahami oleh pembaca dan menjadi lebih baik dari ini.

DAFTAR PUSTAKA


Afandi, Khozin. 2007. Hermeneutika. Surabaya: Alpha
Al Jauhari, Imam Chanafie. 1999. Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta: Ittaqa Press
Bleicher, Josef. 2007. Hermeneutika Kontemporer, terj. Imam Khoiri.Yogyakarta: Fajar Pustaka
E.Sumaryono, 1999. Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat). Yogyakarta: Kanisius
Faiz, Fakhruddin. 2005. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: ELSAQ Press
Gadamer. Hans-Georg. 2004. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina
K. Bertens. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia
Kaelan. 2002. Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma
Poespoprodjo. 2004. Hermeneutika, Bandung: Pustaka Setia
Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa KontemporerMakalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung
Anis Chariri, “Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam http://www.anischariri.multiply.com, diakses pada tanggal 9 November 2014
Elifas Tomix Maspaitella, “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses pada tanggal 9 November 2014.
“Hans-Georg Gadamer”, dalam http://www.id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 9 November 2014.


[1] F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 37.
[2] Ibid.
[3]E.Sumaryono, Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat). (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm. 24
[4]Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: ELSAQ Press, 2005), hlm. 8-11.
[5] E.Sumaryono, Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat………, hlm. 67
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 254.
[7]Ibid., hlm. 254-255.
[8]“Hans-Georg Gadamer”, dalam http://www.id.wikipedia.org, Diakses Pada Tanggal 9 November 2014.
[9]K. Bertens, Filsafat Barat, hlm. 255-256.
[10] Ibid.,
[11]Ibid., hlm. 256-257
[12] E.Sumaryono, Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat)……………….., hlm. 23-24
[13] Ibid,63-64
[14]Imam Chanafie al Jauhari, Hermeneutika Islam: Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta: Ittaqa Press: 1999), hlm. 35
[15]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 21-22.
[16]Elifas Tomix Maspaitella, “Hermeneutika Gadamer dalam Konteks Membahasa Masyarakat”, dalam http://www.kutikata.blogspot.com, diakses pada tanggal 9 November 2014.
[17] E. Sumaryono, Hermeneutik (Sebuah Metode Filsafat)……………….,  hlm. 80.
[18]Anis Chariri, “Philosophy of Social Science: Interpretative Sociology”, dalam http://www.anischariri.multiply.com, diakses pada tanggal 9 November 2014, hlm. 25.
[19] K. Bertens, Filsafat Barat……………., hlm. 265.
[20]Hans-Georg Gadamer. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2004). hlm. 467.
[21] K. Bertens, Filsafat Barat……………, hlm. 265-266.
[22]Ibid., hlm. 266
[23] Syahiron Syamsuddin,  Integrasi Hermeneutika Hans-Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir: Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa KontemporerMakalah pada Annual Conference Islamic Studies (ACIS) yang dilaksanakan oleh Ditpertais Departeman Agama RI, Bandung, hlm. 6-7
[24]Ibid., hlm. 7
[25] Ibid.,
[26]Ibid., hlm. 8
[27] Ibid.,
[28] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman……………, hlm. 258
[29] Ibid., hlm. 8-9.
[30] Gadamer, Wahrheit und Method…………………………….., hlm. 313.
[31] Gadamer, Text and Interpretation……………., hlm. 393-394.
[32]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama,…………….., hlm. 22
[33] Ibid.
[34] K. Bertens, Filsafat Barat……………………, hlm. 256-257
[35] Ibid, hlm. 262
[36] E. Sumaryono, Hermeneutik…………………….., hlm. 109
[37] K. Bertens, Filsafat Barat………………………, hlm. 263
[38] K. Bertens, Filsafat Barat………………………, hlm. 264-265

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates