Sebaik-baik Kalian adalah yang Belajar Al-Qur'an dan Mengamalkannya

Rabu, 13 Juni 2018

MAKALAH IDEOLOGI DAN PARADIGMA POLITIK PENDIDIKAN ISLAM



Foto: nu.org


BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa aktual tidak pernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam, Hermes, sampai zaman kita sekarang bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya. Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan di tengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal, dan kapitalis. Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
Sedangkan Paradigma digunakan untuk mengembangkan pendidikan Islam yang mempunyai pengaruh besar yang telah menunjukkan pada tataran konseptual. Proses pendidikan dalam merealisasikaan suatu kebijakan dalam kemajuan pendidikan yang semakin bersaing terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang semakin canggih dan modern. Paradigma pendidikan diibaratkan sebagai kacamata yang digunakan untuk melihat seberapa jauhkah rasio Islam yang akan melahirkan manusia yang mempunyai paradigma yang luas dan berwawasan internasional, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara yang semakin maju. Paradigma juga meyakini adanya kekurangan dan kelebihan suatu pendidikan untuk membentuk pemikiran yang kritis.[1]
Lebih lanjut makalah ini akan berusaha menggali penjelasan tentang ideologi dan paradigma pendidikan Islam yang mencakup pendidikan secara umum maupun pendidikan Islam di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Ideologi Politik Pendidikan Islam
1.      Pengertian Ideologi Pendidikan
Secara etimologis, ideologi berasal dari dua suku kata yaitu idios yang berarti idea atau konsep dan logos yang berarti ilmu, sehingga ideologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ide-ide. Secara terminologi, ideologi diartikan oleh Lyman Tower Sargent dalam bukunya Contemporary Political Ideologies yang dikutip William F.O’Neil Ideologi diartikan sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu.[2]
Ideologi berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum tentang alam dan masyarakat, serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakikat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif. Oleh karena itu ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana seharusnya manusia atau masyarakat bertindak. Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif dan evaluatif tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan atau struktur sosial masyarakat dibangun.Inilah yang disebut dengan ideologi.[3]
Pada dasarnya hakikat dan fungsi ideologi merupakan hasil refleksi (perenungan dan pemantulan kembali) manusia terhadap dunia kehidupannya. Manusia melihat bahwa ada hal-hal yang baik dan hal-hal yang dianggap baik serta bagaimana cara mewujudkannya.Apabila hal tersebut dijalankan, maka akan terwujud kehidupan ideal seperti yang di cita-citakan.[4]
Ideologi bukan sekedar pengetahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah satu pilihan yang menuntut suatu komitmen untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang berarti semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya. Komitmen tercermin dalam sikap seseorang yang menyakini ideologinya sebagai ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati dalam hidup masyarakat.
2.      Macam-macam Ideologi dalam dunia Pendidikan
Ada banyak ideologi pendidikan yang dipakai dan dipraktekkan di beberapa Negara. Dari banyak ideologi pendidikan tersebut yaitu diantaranya:
a.       Ideologi fundamentalisme
Ideologi fundamentalisme yaitu ideologi yang ingin meminimalkan pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual serta cenderung mendasarkan diri kepada penerimaan relatif terhadap realitas tanpa adanya kritik terhadap kebenaran dan konsensus sosial yang sudah mapan.
b.      Ideologi intelektualisme
Ideologi intelektualisme yaitu ideologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran filosofis yang otoritarian. Intelektualisme pendidikan ingin mengubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual yang sudah mapan.
c.         Ideologi konservatisme
            Ideologi konservatisme yaitu ideologi yang memandang bahwa ketimpangan dalam masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan sosial atau paling tidak mempengaruhinya. Secara implisit, ideologi ini mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga yang sudah teruji waktu, disertai dengan rasa hormat yang mendalam terhadap tatanan sosial yang konstruktif. [5]
d.        Ideologi liberalisme
            Ideologi liberalisme yaitu ideologi yang mengajarkan kebebasan individu dan berusaha mempromosikan perwujudan potensi individu secara maksimal. Tujuan jangka panjang pendidikan menurut kaum liberal adalah melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap individu bagaimana menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Peserta didik memiliki masalah hidup sendiri dan memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikannya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka diarahkan agar dapat secara optimal menyelesaikan masalah hidup mereka secara mandiri melalui pendidikan. [6]
e.       Ideologi anarkhisme
           Ideologi anarkhisme yaitu ideologi yang menolak pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal. Ideologi ini bercita-cita melakukan deinstitusionalisasi masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat bebas dari belenggu lembaga. Pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengusahakan percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus sistem persekolahan.
f.       Ideologi kritis-radikal
           Ideologi kritis-radikal yakni ideologi yang berpandangan bahwa perhatian utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideologi” ke arah tranformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan dan struktur yang tidak adil dan menindas. Visi pendidikan harusnya adalah melakukan kritik terhadap sistem dan kelas dominan sebagai perwujudan atas keberpihakan terhadap rakyat kecil yang tertindas, dalam rangka untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil. [7]

3.      Pancasila sebagai Ideologi Negara
Memperbincangkan ideologi pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari dirkursus tentang ideologi Negara Indonesia yakni ideologi Pancasila, karena ideologi negara tentunya harus menjadi landasan bagi segala kebijakan dan keputusan bangsa (dalam hal ini pemerintah) dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung didalamnya. Terkait dengan hal tersebut, maka kebijakan pemerintah sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Setidak-tidak ada tiga dimensi kebijakan pemerintah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a.       Dimensi management pemerintah; kebijakan ini menyangkut bagaimana, sejauh mana pendidikan nasional harus dikelola serta dikembangkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
b.      Dimensi prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional disamping bidang-bidang lainnya.
c.       Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan.[8]

4.      Problematika Penerapan Ideologi Pancasila dalam Dunia Pendidikan
Mengingat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, pekerjaan rumah yang harus dirumuskan adalah perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila. Beberapa tokoh pendidikan sudah mulai mencoba untuk merumuskan konsep dasar filsafat pendidikan Pancasila, antara lain: Notonagoro, Imam Barnadib dan Subiyanto Wiroyudo. Tinggal bagaimana langkah pemerintah dalam menerapkan ideologi pendidikan Pancasila kedalam dinamika pendidikan di Indonesia, dengan berbagai macam keberagaman yang ada didalamnya.
Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa terkecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Masalah pendidikan biasanya muncul ketika ada deskripansi (kesenjangan) antara dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia nyata (das sein) pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan dilakukan dalam rangka mengurangi kesenjangan atau paling tidak mendekatkan antara dunia cita-cita dengan dunia nyata pendidikan. Berdasarkan dimensi kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, maka penulis mencoba untuk mengklarifikasi masalah-masalah yang ada didalamnya, antara lain:
a.       Masalah dimensi management
Meskipun UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sudah diberlakukan, namun otonomi daerah sampai saat ini terkesan masih setengah hati. Hal yang bisa kita telisik dalam dunia pendidikan adalah bagaimana Ujian Nasional masih dijadikan standarisasi kelulusan peserta didik oleh pemerintah. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan semangat program MBS (Managemen Berbasis Sekolah) yang baru-baru ini mencuat. Kerancauan ini diperparah oleh adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempertegas sistem pengelolaan lembaga pendidikan, dimana pendidikan dasar sampai menengah keatas merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
b.      Masalah dimensi prioritas pembangunan
 Dalam amanat UUD pasal 31 ayat 4 disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional. Seperti halnya dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pemerintah diwajibkan mengalokasikan dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan anggaran ini belum termasuk untuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun dalam realitasnya praktek anggaran penyelenggaraan pendidikan belum atau masih sangat jauh dari angka 20 persen. Rendahnya anggaran pendidikan menjadi bukti bahwa bidang pendidikan belum memperoleh prioritas yang memadai dalam sistem pembangunan nasional; dan hal ini sekaligus menunjukkan demikian rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan. Hal tersebut sudah barang tentu dapat menciptakan suasana yang kurang kondusif terhadap keberhasilan usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
c.       Masalah dimensi partisipasi masyarakat
Masyarakat adalah bagian dari pendidikan, dalam hal ini berarti bahwa masyarakat ikut menentukan arah dan sekaligus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya peran serta masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan nasional relatif besar. Hal ini bisa diukur dari betapa banyaknya lembaga pendidikan swasta di Indonesia. Namun peran serta masyarakat ini terbentur dengan pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan dan mindset “favorite” yang ditanamkan oleh pemerintah. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan swasta seolah tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah, dimana subsidi dana bagi lembaga pendidikan swasta berbanding sangat jauh dengan lembaga pendidikan negeri. Serta mindset favorite yang “dikembang biakkan” oleh pemerintah selama ini mematikan nilai tawar pendidikan swasta dimana mindset itu adalah sekolah favorit adalah sekolah yang berstatus negeri. Maka tidak heran semakin banyak sekolah swasta yang akhirnya harus gulung tikar, karena dari segi pendanaan mereka tidak mencukupi dan dari segi kepercayaan masyarakat, orang tua peserta didik lebih merasa bergengsi jika anak-anak mereka disekolahkan di lembaga pendidikan yang berstatus negeri. Bahkan bertahun-tahun sebelum reformasi, yakni pada zaman orde baru, dengan ideologi developmentalismenya pemerintah mengebiri aspirasi dan peran serta masyarakat dalam pendidikan. Karakter pemerintah begitu otoriter dan menindas rakyat. Rakyat difungsikan hanya sebatas obyek yang perlu “didik”, dimobilisir, didorong bahkan kalau perlu ditekan demi lancarnya “pembangunan” ala pemerintahan orde baru yang sesungguhnya tidak membuat rakyat sejahtera tapi malah membuat rakyat semakin sengsara.[9]
  
5.      Ideologi Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam secara normatif sarat dengan nilai-nilai transendeltal ilahiah dan insaniah. Semua itu dapat di wadahi dalam bingkai besar yang di sebut humanisme teosentris, yaitu sebuah pemahaman pendidikan yang menjelaskan bahwa dalam kehidupan harus seimbang antara beribadah kepada Allah tetapi juga harus memperhatikan kehidupan di dunia, begitu juga dengan pendidikan Islam tidak membedakan antara pendidikan agama dengan pendidikan lain.[10] Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.[11]
Sejak awal abad 20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk mulia. Dalam hal ini ali syari’ati mendeskripsikan ke dalam tujuh prinsip. Dasar kemanusiaan sebagai universal yaitu:
a.       Manusia adalah mahkluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri diantara mahkluk-makhluk yang lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
b.      Manusia adalah makhluk yang memilki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat illahiah yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia.
c.       Manusia adalah mahkluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berfikir.
d.      Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah mehkluk hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun peradaban.
e.       Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya mahkluk sempurna didepan alam dan dihadapan Tuhan.
f.       Manusia mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada” tetapi selalu berusaha mengubahnya menjadi “ apa yang semestinya”.
g.      Manusia adalah mahkluk moral yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideologi Islam pada dasarnya juga bertolak dari ketutuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implicit dalam konsep fitrah manusia. Namun demikian, humanisme dalam padangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran Islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai.namun perlu diperjelas, bahwa semua itu kembali kepada manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam, Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).

6.      Sejarah Perkembangan Politik Pendidikan Islam di Indonesia
a.       Pendidikan Islam masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 27 Desember 1945.[12]
Sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan agama maka pada tanggal 3 Januari 1946 mulai diresmikan Kementerian Agama yang menangani urusan keagamaan dan pendidikan agama, selain itu juga mengurusi bidang pendidikan yang berhubungan dengan agama. Disamping itu, pemerintah juga mendirikan kementerian pendidikan dan kebudayaan, sehingga menimbulkan pengelolaan pendidikan yang dikotomis yang selanjutnya berdampak buruk terhadap nasib pendidikan agama yaitu berupa adanya perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap pemberian anggaran pendidikan agama, sumber daya manusia dan sarana prasarana. Keadaan yang diskriminatif sebagai akibat dari kebijakan yang dikotomis ini belum sepenuhnya dapat diatasi sampai saat ini.
Selain mendirikan departemen agama tersebut, pemerintah orde lama juga telah merumuskan peraturan dan undang-undang terkait dengan pendidikan agama. yaitu undang-undang nomor 12 tahun 1950. Pada Bab XII Pasal 20 undang-undang ini misalnya ditetapkanlah pelajaran agama di dalam sekolah-sekolah negeri. Sampai di ini pemerintah orde lama juga telah menaruh perhatian terhadap perkembangan dan pertumbuhan lembaga pendidikan islam seperti madrasah dan pesantren.
b.      Pendidikan Islam masa Orde Baru.
Pada dasarnya seluruh kebijakan yang lahir pada zaman orde baru, termaasuk dalam bidang pendidikan, di arahkan pada upaya menopang pembangunan dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dengan pendekatan sentralistik, monoloyalitas, dan monopoli. Kebijakan dalam bidang politik selanjutnya bisa di lihat sebagai berikut.
1)      Masuknya pendidikan islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dimulai dengan lahirnya Surat Keputusan Bersama Tiga Mentri (SKB 3 M), yaitu Mentri Pendidikan Nasional, Mentri Agama, dan Menetri dalam Negeri. Di dalam SKB 3 Menteri tersebut antara lain dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan umum dan sebaliknya, berhak mendapatkan bantuan, sarana prasarana dan diakui ijazahnya.
2)      Pembaharuan Madrasah dan pesantren, baik pada aspek fisik maupun non fisik. Pada aspek fisik pembaharuan dilakukan pada peningkatan dan perlengkapan infrastruktur, sarana prasarana, dan fasilitas, seperti buku, perpustakaan, dan peraltan labolatorium. Adapun pada aspek nonfisik meliputi pembaharuan bidang kelembagaan, menejemen pengelolaan, kurikulum, mutu sumber daya manusia, proses belajar mengajar, jaringan Information Technology (IT), dan lain sebagainya. Pembaharuan Madrasah dan pesantren ini ditujukan agar selain mutu madrasah dan pesantren tidak kalah dengan mutu sekolah umum, juga agar para lulusannya dapat memasuki dunia kerja yang lebih luas. Hal ini di anggap penting, agar lulusan madrasah dan pesantren dapat memiliki berbagai peluang untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas, dengan demikian umat islam tidak hanya menjadi objek atau penonton pembangunan, melainkan dapat berperan sebagai pelaku atau agen pembaharuan dan pembangunan dam segala bidang, dengan cara demikian, umat islam dapat meningkatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi dan lain sebagainya.[13] Pembaharuan pendidikan madrasah dan pesantren tersebut dibantu oleh pemerintah melalui dana, baik yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) maupun dana yang berasal dari pinjaman luar negri, seperti dari Islamic Development Bank (IDB) dan Asian Development Bank (ADB).
3)      Pemberdayaan pendidikan islam nonformal. Pada zaman orde baru pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nonformal yang dilakasanakan atas inisiatif masyarakat mengalami peningkatan yang amat signifikan. Pendidikan islam nonformal tersebut antara lain dalam bentuk majelis taklim baik untuk kalangan masyarakat islam kelompok masyarakat biasa, maupun bagi masyarakat menengah ke atas. Berbagai majelis taklim baik yang diselenggarakan lembaga-lembaga kajian, maupun majelis taklim mengalami perkembangan yang sangat pesat.
4)      Peningkatan atmosfer dan suasana praktik sosial keagamaan. Dalam kaitan ini, pemerintah orde baru telah mendukung lahirnya berbagai pranata ekonomi, sosial, budaya dan kesenian islam. Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), Harian Umum Republika, Undang-Undang Peradilan Agama, Festifal Iqbal, Bayt Al-Qur’an, dan lainnya adalah lahir pada zaman Orde Baru. Semua ini antara lain merupakan buah dari keberhasilan pembaharuan pendidikan islam sebagaimana tersebut di atas. Beberapa faktor pendukung kemajuan pendidikan islam antara lain: Pertama, semakkin membaiknya hubungan dan kerjasama anntara umat islam dan pemerintah. Kedua, Semakin membaiknya ekonomi nasional. Dan Ketiga, semakin stabil dan amannya pemerintahan.
c.       Pendidikan Islam Di Zaman Reformasi
Sejalan dengan berbagai kebijakan yang ada, telah menimbulkan keadaan pendidikan islam yang secara umum keadaannya jauh lebih baik dari keadaan  pendidikan pada masa pemerintahan orde baru. Keadaan pendidikan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:[14]
a)      Kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun1989, hanya menyebutkkan madrasah saja yang masuk ke dalam sistem pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang masuk ke dalam sistem pendidikan nasional termasuk pesantren, ma’had Ali, Roudlotul Athfal (taman kanak-kanak), dan majelis taklim. Dengan masuknya ke dalam sistem pendidikan nasional ini maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui. Juga semakin menghilangkan kesan diskriminasi dan dikotomi.
b)      Kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan islam. Kebijakan ini misalnya terlihat pada di tetapkannya anggaran pendidikan sebanyak 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji guru dan dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu, pengadaan buku gratis, pengadaan infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah kementrian agama dan kementrian pendidikan nasional. APBN Tahun 2010, misalnya menetapakan bahwa dana tersebut dialokasikan bagi penyelenggara pendidikan yang dilaksanakan di berbagai provinsi yang jumlahnya mencapai 60% dari total anggaran pendidikan dari APBN. Adapun sisanya, yakni 40%, diberikan kepada kementrian pendidikan naional, kementrian agama, serta berbagai kementrian lainnya. Yang menyelenggarakan program pendidikan.
c)      Program wajib belajar sembilan tahun, yakni bahwa setiap anak indonesia wajib memiliki pendidikan minimal sampai dengan tamat sekolah lanjutan pertama, yakni SMP atau Tsanawiyah. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kementrian pendidikan nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kementrian agama. dalam rangka pelaksanaan wajib belajar ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan sekolah gratis bagi anak-anak yang berasal dari keluaraga yang kurang mampu. Yakni bahwa mereka tidak dipungut biaya oprasional pendidikan, karena kepada sekolah yang yang menyalenggarakan pendidikan gratis tersebut telah diberikan biaya bantuan oprasional sekolah yang selanjutnya dikenal dengan istilah BOS.
d)     Penyelenggaraan sekolah bertaraf nasional (SBN), internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana, menejemen pengelolaan, evaluasi dan lainnya harus berstandar nasional dan internasional.
e)      Kebijakan sertifikasi guru dan dosen bagi semua guru dan dosen baik negeri maupun swasta, baik guru umum maupun guru agama, baik guru yang berada dibawah Kementerian Pendidikan Nasional maupun guru yang berada dibawah Kementerian Agama.
f)       Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP/tahun 2006).
g)      Pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada guru (teacher centris) melalui kegiatan teaching, melainkan juga berpusat pada murid melalui kegiatan learning (belajar) dan research (meneliti).
h)      Penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan kepada para pelanggan
i)        Kebijakan mengubah nomenklatur dan sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan.

B. Paradigma Politik Pendidikan Islam
1.      Pengertian Paradigma Politik Pendidikan Islam
Paradigma secara etimologis berasal dari bahasa inggris Paradigm yang berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model, pola). Menurut Plato kata pardigma adalah “a baste formencompasing your entire desting” yang berarti sesuatu yang diciptakan untuk suatu sebab. Sedangkan secara terminologi paradigma berarti a total view of problem; a total outlook, not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berpikir tentang sesuatu. Paradigma atau kerangka berfikir, disebut juga mainstream, adalah bagian dari sistem berfikir yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan paradigma diharapkan dapat tercipta sistem dan pola fikir yang lebih mendekati ke pola yang diharapkan atau di idealkan.[15]   Pengertian paradigma yang ada dalam kamus filsafat diantaranya sebagai berikut:
a.       Cari memandang sesuatu.
b.      Dalam ilmu pengetahun diartikan sebagai model, pola, ideal.
c.        Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan studi ilmiah kongkret.
d.      Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Dengan demikian, paradigma digunakan pada konteks perilaku seseorang dalam proses pembelajaran dan pendidikan,[16] yang menjelaskan makna paradigma dengan menggunakan metafora bangunan dan kacamata, bahwa paradigma merupakan sebuah fondasi bangunan. Besar tingginya bangunan ditentukan oleh seberapa kuat dan lebar fondasinya. Perilaku adalah bangunan yang nampak oleh mata fisik, paradigma maupun sikap keduanya tersembunyi, dan perilakulah yang terbaca oleh orang lain.Sedangkan paradigma sebagai kacamata dapat melihat dunia sekitar.Dengan demikian, paradigma bukanlah sikap atau sebaliknya. Sikap adalah lensa kacamata yang mungkin kabur, kotor dan tidak sesuai lagi.Sikap ini terperangkap dalam sebuah bingkai yaitu paradigma.Sikap ini bisa saja positif maupun negatif.[17]
Tampak jelas betapa implikasi paradigma dalam jaringan kehidupan manusia hampir tidak ada satupun aspek dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dijalankan melalui paradigma. Begitu pula yang terjadi dalm sistem pendidikan secara fungsional merupakan refleksi dari cara pandang tertentu tentang sesuatu dalam semesta kehidupan manusia.
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam artian pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendaknya mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.[18]

2.      Macam-macam Paradigma Pendidikan
Paradigma selalu mengalami anomali adalah benar adanya. Hal tersebut tercermin dalam perkembangan paradigma pendidikan nasional sampai detik ini. Romo Wahono memaparkan, bahwa kesalahan pendidikan kita utamanya terletak pada kesalahan paradigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakan warisan kolonial belanda. Dimasa orde baru, kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya pada ide kapitalisme liberal. Kemudian, dengan sentuhan fasisme kolonial jepang, sistem pendidikan menjadi beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, paradigma liberalis-feodalis ini dipayungi oleh paradigma kompetisi yang diajarkan oleh globalisasi. Paling tidak berikut akan dipaparkan secara singkat anomali paradigma pendidikan nasional dari tinjauan historis-sosiologisnya.
a.       Paradigma sentralistik
Paradigma ini dilaksanakan dengan ketat pada masa orde baru. Semua serba tersentral dan terstandarisasi. Intervensi yang berlebihan dari pemerintahan orde baru terhadap dunia pendidikan malah semakin mematikan peran masyarakat serta menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana bagi penanaman ideologi penguasa untuk melanggengkan status quo.
b.      Paradigma intelektualis
Dimana pendidikan lebih menekankan pada aspek kognitif tanpa begitu memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan adalah bagaimana siswa mampu menjawab soal-soal buatan yang jauh terlepas dari realitas kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan adalah mampu menjawab soal-soal matematika dengan rumus-rumus yang harus dihafal diluar kepala. Standarisasi kelulusan diukur dengan seberapa besar nilai dari jawaban atas soal-soal ilmu pengetahuan. Sehingga anak didik menjadi robot ilmu pengetahuan tanpa memiliki perasaan dan kebebasan dalam mengeksplorasi bakat dan kompetensi dasar mereka sebagai manusia yang pada hakikatnya berbeda-beda.
c.       Paradigma kompetitif
Pendidikan sudah kehilangan esensinya sebagai lahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan mengajarkan kepada peserta didik bahwa hidup adalah kompetisi. Barang siapa yang unggul dia akan bisa menjadi orang yang berada diatas melebihi orang lain. Kompetisi harus dimenangkan, tak peduli dengan berbagai cara apapun tanpa mempertimbangkan moralitas. Sehingga banyak peserta didik tidak memiliki moralitas dan kering hati nuraninya. Implikasinya, mereka menjadi kompetitor yang menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang paling berkuasa melebihi orang lain. Inilah mungkin yang menyebabkan dan melahirkan budaya KKN dikalangan kaum elite dalam pemerintahan. Mereka adalah output nyata dari pendidikan berparadigma kompetitif.
Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan mempunyai visi berbeda-beda, perbedaan tersebut tidak bisa lepas dari sistem politik dan watak sosio-kultural yang mengitarinya. Kemudian setidaknya  Muhaimin memetakan setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
a.       Paradigma Formisme
Paradigma formisme menekankan bahwa aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi.[19] Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, Madrasah dan Non-Madrasah, pendidikan agama dan pendidikan umum.[20]
Pandangan dikotomis inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme dalam pendidikan, sehingga muncullah istilah ilmu agama dan ilmu umum. Paradigma Formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan), sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.
Keterpisahan secara diametral antara keduanya berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan bertentangan dengan amanat UU pasal 1 No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik memiliki moral dan spiritual keagamaan serta memiliki pengetahuan yang komprehensif yang berguna bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. disebutkan pula dalam pasal diatas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional serta tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan zaman. [21]

b.      Paradigma Mekanisme
Paradigma mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penamaan dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik, nilai biofisik, dan lain-lain.Dengan demikian, aspek atau nilai agama dengan nilai-nilai kehidupan lainnya.[22]
Paradigma mekanisme nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Selama ini kebijakan yang diberikan hanya terkait masalah kurikulum, profesinalitas guru dalam memberikan materi pengajaran sesuai dengan silabus yang dipatok oleh pemerintah. Bahwa materi dipisah-pisah secara parsial dan pembagian waktu jam pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan aspek afektif dan psikomotorik siswa. Hal ini dapat dicontohkan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 SKS, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Paradigma mekanistik prosedural ini memandang bahwa sekolah adalah tempat proses produksi dijalankan, dimana siswa diberlakukan sebagai raw input.


c.       Paradigma Organisme
Pengertian paradigma organisme yaitu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.[23]
Melalui upaya semacam itu maka, sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
Dari uraian diatas dapat ditegasakan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan pendidikan Islam di Indonesia memang amat diperlukan untuk mempertajam pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan berkembang di Indonesia, kendatipun hal itu bukan pekerjaan yang sederhana dan bahkan akan menimbulkan kontroversi.

3.      Alternatif Paradigma Baru Pendidikan Nasional Islam
Para pemikir dan pemerhati pendidikan mencoba untuk memberikan sumbangsih pemikiran mereka dalam menawarkan alternatif paradigma baru pendidikan yang semestinya dilakukan/diterapkan bagi masyarakat Indonesia. Khusunya paradigma pendidikan Islam. Diantara sekian banyak tawaran alternatif paradigma baru pendidikan diantaranya adalah:
a.       Paradigma baru reformasi pendidikan
Sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, yang sesuai dengan konsep filsafat pendidikan Indonesia bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Paradigma reformasi pendidikan berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Sesuai dengan filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia.
Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Di abad mutakhir ini telah muncul kekhawatiran yang amat serius tentang semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Konsep pendidikan yang lebih humanistik, yang memandang seluruh potensi (fitrah) manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci.
b.      Paradigma integratif-interkonektif atau paradigma pendidikan holistik-dialogis
Paradigma ini merupakan alternatif dari anomali paradigma sebelumnya, yakni paradigma dikotomis (formisme). Dimana dalam paradigma formisme, pengembangan ilmu baik itu ilmu agamis-spiritualis ataupun ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri dan tidak ada komunikasi yang harmonis dan dinamis diantara keduanya. Keilmuan apapun tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain; maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikuralitas disiplin keilmuan. Kerjasama, tegur sapa, saling koreksi dan saling keterhubungan antar disiplin ilmu akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Secara epistemologis, paradigma ini merupakan respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan selama berabad-abad tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa perlu adanya saling tegur sapa. Secara aksiologis paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuwan yang bermoral, yang lebih terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama.[24]
c.       Paradigma pendidikan demokratis
Pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) masyarakat itu sendiri. Demokrasi pendidikan berarti pendidikan dari, untuk dan oleh rakyat. Pendidikan muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai proyek apalagi perintah dari penguasa yang seringkali sarat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dan masyarakat bukanlah obyek pendidikan, tetapi partisipan aktif yang mempunyai peran dalam setiap dinamika pendidikan. Pendidikan demokratis adalah pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda ( right to be different). Pendidikan tidak boleh otoriter dan mengandung unsur-unsur doktrinisasi. Proses pendidikan yang otoriter dan doktrinatif hanya akan melahirkan manusia-manusia yang bisu yang takut mengajukan pilihan. Pendidikan demokratis berati pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai kebudayaan lokal dalam kerangka kebudayaan nasional secara komprehensif. Sehingga pendidikan mampu menunjukkan identitas bangsa Indonesia yang majemuk tetapi tetap dalam satu kesatuan; Bhineka Tunggal Ika.
d.      Paradigma pendidikan humanis
Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi lebih dari itu menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya. Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun karakter kemanusiaan dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia lain, yang tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai dan aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem pendidikan yang menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit” (paradigma pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik. Tidak memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan sebagai bahan mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat tertentu. Pendidikan adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang sama).



BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pemaparan makalah ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Ideologi Ideologi diartikan sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum tentang alam dan masyarakat, serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakikat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif dan imperaatif. Macam-macam Ideologi dalam dunia Pendidikan: Ideologi fundamentalisme, Ideologi intelektualisme, Ideologi konservatisme, Ideologi liberalisme , Ideologi anarkhisme, Ideologi kritis-radikal.
Di Indonesia Pancasila sebagai Ideologi Negara, dalam hal ini pemerintah dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung didalamnya.
Sedangkan Paradigma atau kerangka berfikir, disebut juga mainstream, adalah bagian dari sistem berfikir yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan paradigma diharapkan dapat tercipta sistem dan pola fikir yang lebih mendekati ke pola yang diharapkan atau di idealkan. Macam-macam paradigma dalam dunia pendidikan: Paradigma sentralistik, Paradigma intelektualis, Paradigma kompetitif. Sedangkan Secara historis-sosiologis, setidaknya telah muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut: paradigma Formisme, paradigma mekanisme, dan paradigma organisme.







DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, M. Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Amnur, Ali Muhdi. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yoyakarta; Pustaka Fahima.
Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka
Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia, Bandung :Pustaka setia
Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah), Bandung: Rosda
Nata, Abuddin M.A. 2011. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana
O’Neil, William F. 2001. Ideologi-ideologi pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Priatna, Tedi, 2004. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan, Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Rohman,  Arif. 2000. Politik ideology pendidikan. Yogyakarta: LaksBang
Setia

http://dianozkysmirnoff.wordpress.com/2008/10/16/paradigma-liberal/.Di akses pada tanggal 30 September 2014

http://diknas.purbalinggakab.go.id/?page_id=212, diakses pada tanggal 30 September 2014.


 




[2] William F. O’Neil, Ideologi-ideologi pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm. 32.
[3]Arif Rohman,  Politik ideology pendidikan, (Yogyakarta: LaksBang, 2000). Hlm. 70-71.

[5]Beni Ahmad Saebani, Ilmu Pendidikan,……………..hlm 36.

[8]Ali Muhdi Amnur, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yoyakarta; Pustaka Fahima. 2007), hlm. 54
[10] Achmadi, “Ideologi Pendidikan Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 23
[12] Dra. Hj. Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia, (Bandung :Pustaka setia), Hlm : 65
[13] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.  Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011). Hlm.335
[14] Ibid., Hlm.352-359

[15]http://diknas.purbalinggakab.go.id/?page_id=212, diakses pada tanggal 30 September 2014.
                [16]Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm 24-25
                [17]Tedi Priatna, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hlm 25.
[18] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah), (Bandung: Rosda, 2008), hlm. 39.
[19]kata 'dikotomi' di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembagian atas dua kelompok yg saling bertentangan.
[20] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam……………………. Hlm. 39.
[21]Ibid,.hlm. 40.
[22]Ibid,.hlm. 43.
[23]Ibid,.hlm. 46.
[24] Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2010), hlm. 5

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates