Sebaik-baik Kalian adalah yang Belajar Al-Qur'an dan Mengamalkannya

Minggu, 18 November 2018

MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER




Foto: nu.org



BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana efektif untuk mencerdaskan bangsa. Maju tidaknya suatu bangsa bisa dilihat dari perkembangan pendidikan yang sudah berjalan. Reorientasi pendidikan dengan mendorong peran pemerintah lebih optimal serta revitalisasi pendidik merupakan salah satu langkah awal yang harus ditempuh untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perbaikan dan pembentukan karakter  bangsa. Pendidikan Indonesia saat ini dihadapkan banyak persoalan, krisis yang dialami bangsa Indonesia tidak hanya krisis ekonomi maupun politik, tapi lebih dari itu. Bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis karakter atau jati diri yang menjadi landasan fundamental bagi pembangunan karakter bangsa (nation carcter building). Berbagai peristiwa atau kejadian yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang disaksikan melalui TV maupun media cetak, menunjukkan betapa masyarakat Indonesia tengah mengalami degradasi jati diri dan menurunny amartabat bangsa yang berkeadaban.
Pendidikan karakter yang merupakan satu dari sekian banyak paradigma pendidikan di Indonesia, kini semakin ramai dibahas sejak dicanangkannya gerakan pendidikan karakter. Kemunculan pendidikan karakter sebagaimana paradigma pendidikan lain, dilatarbelakangi oleh konstruksi filosofis yang berdiri di belakangnya. Kemudian muncul pula bagaimana konsep pendidikan karakter dan apa sebenarnya urgensinya bagi pendidikan di Indonesia, serta bagaimana pendidikan karakter tersebut bisa diterapkan di lingkungan sekolah, di keluarga, atau di masyarakat. Hal itulah yang akan dibahas dalam makalah ini.


B. Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1.      Apakah definisi dari pendidikan karakter?
2.       Aliran filsafat yang mendasari dan berhubungan dengan pendidikan karakter?
3.      Apa saja teori atau aliran yang digunakan dalam pembentukan dan pengembangan pendidikan karakter?
4.      Bagaimana tahap-tahap pembentukan karakter?
5.      Bagaimana konsep dan metode penerapan pendidikan karakter?

C. Tujuan Penulisan
Bedasarkan rumusan masalah di atas maka, tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.      Mengetahui definisi dari pendidikan karakter.
2.       Mengetahui Aliran filsafat yang mendasari dan berhubungan dengan pendidikan karakter.
3.      Mengetahui teori atau aliran yang digunakan dalam pembentukan dan pengembangan pendidikan karakter.
4.      Mengetahui tahap-tahap pembentukan karakter?
5.      Mengetahui konsep dan metode penerapan pendidikan karakter?


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan gabungan dari dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. Kita ketahui bahwa pengertian pendidikan begitu banyak versi yang menyebutkan. Salah satunya adalah Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama tahun 1930 mengatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.[1] Sedangkan pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[2]
Sedangkan karakter secara etimologis, kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave”. Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan.[3] Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak.[4]
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut koesoema A, karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian adalah ciri atau karakteristik, gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Karakter menurut Suyanto adalah cara berfikir dan berprilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.[5] Pendidikan karakter menurut winton, segala hal positif yang dilakukan oleh guru yang berpengaruh kepada karakter siswanya. Pendidikan karakter sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia dari peserta didik dengan mempraktikan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan.[6]
Pendidikan karakter dalam perspektif islam yang disebut dengan pendidikan akhlak, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh tokoh filosof serta pendidikan seperti Ibnu Miskawih, al-Qabisi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan al-Zarnuji menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini adalah jelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.[7] Menurut Sa’adudin, akhlak mengandung tiga arti, yaitu:
a.       Tabiat, adalah sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan;
b.      Adat, adalah sifat dalam diri yang diupayakan menusia melalui latihan;
c.       Watak, adalah yang tercakup kedalam hal yang menjadi tabiat, dan hal yang diupayakan hingga menjadi adat.[8]
Suatu perilaku dapat disebut dengan perilaku akhlak, apabila perilaku atau perbuatan itu lahir secara spontanitas tanpa olahan pikiran. Sebagai contoh, seseorang yang sedang mengendarai sepeda motor dijalanan, kemudian pengendara lain yang berada di sampingnya terjatuh. Lalu secara spontan Ia menghentikan laju kendaraannya lalu menolong pengendara tadi, tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Dilihat dari beberapa pengetian tersebut, bahwa karakter dan akhlak tidak terdapat perbedaan yang signifikan. Karakter dan akhlak sama-sama menunjukkan sebuah perbuatan yang lahir secara spontan tanpa olahan pikiran untuk memikirkan untung dan rugi, dengan kata lain bisa disebut dengan kebiasaan.
Dari kedua pandangan difenisi tersebut disimpulkan suatu perbuatan yang merupakan proses bimbingan dan pembentukan yang dilakukan oleh stake holders agar tercapainya insan yang bermoral, serta berakhlak mulia. Pendidikan karakter kemudian diharapkan menjadi sebuah jalan untuk melakukan tindakan prefentif terhadap rusaknya moral bangsa dengan melaksanakan proses atau langkah-langkah dari pembinaan akhlak atau karakter secara menyeluruh, baik dari murid terlebih dahulu, kemudian keluarga, pendidik, lembaga pendidikan, kurikulum, serta segala sesuatu yang terlibat dalam pendidikan.

B. Landasan Filosofis Tentang Pendidikan Karakter
Setiap paradigma pendidikan tidak bisa lepas dari akar filosofisnya. Sebab pendidikan sebagai ilmu merupakan cabang dari filsafat dalam aplikasinya. Dalam filsafat pendidikan terdapat beberapa aliran yang saling merekonstruksi masing-masing paradigma pendidikan tersebut. Berangkat dari aliran-aliran filsafat tersebut kemudian membentuk paradigma yang berbeda-beda. Paradigma yang dimaksud di sini adalah sebagai salah satu perspektif filosofis dalam membaca persoalan mengenai pendidikan. Dalam filsafat kontemporer terdapat jenis aliran filsafat diantaranya aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme, deksistensialisme, dan rekonstruksialisme.
Aliran progresivisme memiliki ciri utama yaitu memberi kebebasan penuh terhadap manusia untuk menentukan hidupnya. Hal ini didasari kepercayaaan bahwa manusia memiliki kemampuan atau dengan kata lain potensi-potensi alamiah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hidupnya (problem solving) yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Oleh karena itu, manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang penuh dengan rintangan. Lingkungan dan pengalaman menjadi hal yang penting dalam aliran ini. Masalah atau problem yang dihadapi manusia biasanya berasal dari lingkungan dan dengan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada lingkungan dimana dia berada, manusia menjadi semakin mudah dan bijak dalam menyelesaikan problem hidup. Serta dengan makin seringnya manusia menghadapi tuntutan lingkungan dan makin banyak pengalaman yang didapat, maka makin matang persiapan seseorang dalam menghadapi tantangan atau tuntutan masa depan.
Filsafat progresivisme merupakan aliran yang anti kemapanan sehingga bertentangan dengan esensialisme. Maksudnya, progresivisme berpandangan berpikir kearah kedepan (adanya kemajuan), secara terus-menerus merekonstruksi pengetahuan-pengetahua menuju sebuah kesempurnaan. Dalam perspektif progresivisme, pendidikan bukanlah sekadar memberikan pengetahuan, lebih dari itu pendidikan melatih kemampuan berpikir (aspek kognitif). Manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding makhluk lain, yaitu dianugerahi akal dan kecerdasan. Sehingga dengan akal dan kecerdasan tersebut diharapkan manusia atau seseorang dapat mengetahui, memahami, dan mengembangkan potensi-potensi yang telah ada pada dirinya sejak dilahirkan. Akal membuat seseorang bersifat kreatif dan dinamis sebagai bekal dalam menghadapi dan menyelesaikan problem yang dihadapi sekarang maupun masa depan.
Aliran inilah yang menjadi dasar atau landasan terbentuknya pendidikan karakter. Pandangan yang mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah. Progresivisme yang juga menaruh kepercayaan terhadap kebebasan manusia dalam menentukan hidupnya, serta lingkungan hidup yang dapat mempengaruhi kepribadiannnya. Beberapa hal yang terkandung dalam aliran progresivisme ini kemudian secara mendalam dipikirkan untuk kemudian memunculkan sebuah paradigma pendidikan yang sedang menjadi primadona paradigma pendidikan dewasa ini, yang tidak lain adalah pendidikan karakter.
Pada ranah Islam kita mengenal istilah filsafat akhlak. Fisafat akhlak ini sangat dekat dengan tasawuf, karena tasawuf sebagai akar dari filsafat akhlak yang memberikan pengaruh terhadap pembentukan karakter. Pemikir akhlak salah satunya adalah Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din. Pengalaman spiritual para sufi yang membawa implikasi kesucian akhlak merupakan pokok pemikiran akhlak. Dari peneladanan terhadap para sufi tersebut, akan melahirkan sebuah kebiasaan (habit) yang senantiasa berbuat kebajikan. Pendidikan akhlak yang dipraktekkan secara terus menerus akan membentuk sebuah karakter seseorang. Pendidikan akhlak pada konteks ini menginspirasi terbentuknya pendidikan karakter dan penerapannya.[9]
Prinsip dasar pendidikan karakter haruslah mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjadi dasar filosifis pendidikan Islam. Berikut ini adalah beberapa nilai filosofis yang mengandung nilai pendidikan Islam menurut Toto Tasmara:[10]
1.      The man of wisdom, pendidik tidak hanya menguasai dan terampil dalam prosfesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan. (QS. al-Baqarah: 268)
2.      High in integrity, baik pendidik maupun peserta didik bersungguh-sungguh untuk meningkatkat kualitas keilmuan. Tidak hanya memikirkan apa yang tampak, tetapi mapu melihat apa di balik yang tampak melalui proses perenungan dan tafakkur. (QS. Ali imran: 190)
3.      Willingness to learn, memiliki motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mampu mengambil pelajaran dari setiap pelajaran dan peristiwa  yang dihadapinya. (QS. yusuf: 111)
4.      Proactive stance, bersikap proaktif ingin memberikan kontribisi positif terhadap lingkungannya. Melalui pengalaman dan kemampuan dirinya, mampu mengampu keputusan yang terbaik dan menjauhi perbuatan yang merygikan. (QS. Al-maidah: 100)
5.      Faith in God, mencintai Allah SWT dan karenanya, selalu mendapatkan petunjuk dari-Nya. Hidup bagaikan telah dihibahkan kepada Allah sehingga tumbuh rasa optimis untuk menjadikan Allah satu-satunya tempat bersandar dan bertawakal. (QS. ali imran: 30-31, QS. al-baqarah: 138)
6.      Creditable and reputable, selalu berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai insan yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkari janji atau mengkhianati amanah yang dipikulkan kepada dirinya. (QS. ar-ra’d: 19-22)
7.      Being the best, selalu ingin menjadikan dirinya sebagai teladan dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik. (QS. ali imran: 110)
8.      Empathy and compassion, menanamkan rasa cinta kepada orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (QS. at-taubah: 128)
9.      Emosional maturity, mereka memiliki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah terperangkap dalam keputusan yang emosional. (QS. luqman: 17)
10.  Balance, memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam al-Qur’an sebagai nafsul muthmainnah. (QS. al-fajr: 27-30, QS. asy-syu’ara: 89)
11.   Sense of mission, memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupannya. (QS. at-taubah: 33, QS. al-fath:28, QS. ash-shaf: 9)
12.  Sense of competition, memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena sadar bahwa setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya. (QS. al-baqarah: 148).
Pada dasarnya pendidikan Karakter memiliki tujuan menciptakan akhlak terpuji. Namun dalam hal ini, Islam lebih rinci dan kopleks dalam memaparkan nilai pendidikan disertai dengan ayat-ayat yang jelas.

C.  Jenis-jenis Pendidikan Karakter
Ada empat jenis karakter yang selama ini dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan , yaitu sebagai berikut:
1.      Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang merupakan kebenaran wahyu Tuhan ( konservasi moral).
2.      Pendidikan karakter berbasis nilai budaya , antara lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan).
3.       Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan).
4.      Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).[11]

C.  Teori Pengembangan Karakter
Bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu:
1.    Aliran yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai bahwa setiap individu sudah berkarakter atau tuna karaktermelalui ketetapan Allah . Baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian saja. Faktor-faktor eksternal, termasuk paradigma pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Karakter positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah. Implikasi dari pandangan ini bahwa faktor internal dan eksternal termasuk lingkungan dan pendidikan adalah pasif dalam pembentukan kepribadian.
2.    Pandangan netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong. Sama halnya dengan teori tabularasa yang dikemukakan John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik dan tidak baik itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan setiap insan dan karakter yang terbentuk tergantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula sebaliknya apabila yang lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka karakter yang terbentuk karakter tidak baik. Pandangan ini mengambil argumen dari QS. Al-Nahl (16):78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& Ÿw šcqßJn=÷ès? $\«øx© Ÿ@yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur   öNä3ª=yès9 šcrãä3ô±s? ÇÐÑÈ  
 Artinya:  “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
3.    Aliran positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan sesorang menjadi tuna karakter bersifat aksidental atau sementara. Artinya sesorang lahir sudah membawa karakter. Karakter tersebut bersifat dinamis dan aktif mempengaruhi lingkungan sekitar. Dan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga ia menjauh dari sifat bawaannya. Para ahli berpandangan positif-aktif membangun dasar argumennya dari QS. Al-A’raf (7): 172
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
4.    Aliran dualis-aktif yakni manusia memiliki dua sifat ganda yang sama kuatnya. Sifat baik dan buruk. Tergantung kedekatan manusia terhadap lingkungan yang baik  atau buruk. Jika ia dekat dengan teman yang berkarakter baik, maka seseorang tersebut akan mengambil sifat baiknya, dan sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif amat penting untuk diupayakan sejak kecil agar karakter atau sifat baik lebih kuat.[12]

D.  Tahap-Tahap Pembentukan Karakter
Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah guru yang merupakan singkatan dari digugu lan ditiru. Guru dalam ranah keluarga adalah kedua orangtua. Sehingga apapun perkataan, perbuatan atau sikap dari orangtua akan diikuti oleh anak, entah itu baik maupun buruk. Sebab ketika seseorang berada pada masa anak-anak, pendidikan yang dominan adalah keteladanan. Ucapan dan tindakan dari orangtua yang itu termasuk hal yang baik atau buruk, secara langsung ataupun tidak langsung akan membentuk karakter si anak sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk keagamaan. Orangtua yang menanamkan nilai-nilai agama pada anak, misalnya sering mengajak sholat, mengajari membaca Al-Quran, mengenalkan Allah, mendorong untuk cinta kepada Muhammad, maka anak cenderung akan terbentuk karakter orang yang religius. Orangtua yang sering mengajarkan kebaikan, bertutur kata yang lemah lembut, dermawan pada orang lain, maka karakter si anak cenderung baik. Akan tetapi jika orang tua berkata atau bersikap yang tidak baik, apalagi sering bertengkar di depan anak, maka dalam diri seorang anak akan terbentuk karakter yang tidak baik.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Tujuannya untuk membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu (pengetahuan hafalan). Contohnya antara lain membiasakan puasa dan sholat. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan yang luhur. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang ada pada rukun iman. Hasilnya seseorang akan lebih mendalami apa yang dilakukan atau diucapkan sehingga meningkatkan tanggungjawab terhadap setiap apa yang dikerjakan.[13]
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan yaitu:[14]
1.      Knowing the good
Untuk membentuk karakter, anak tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka tahunya mana yang baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya. Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. Siswa harus mampu: a) membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal; b) memahami secara logis dan rasional pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan; c) mengenal sosok Nabi Muhammad SAW sebagai figur teladan akhlak mulia melalui hadits-hadits dan sunahnya.
2.      Feeling the good
Konsep ini mencoba membangkitkan rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling the good sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
3.      Acting the good
Pada tahap ini, anak dilatih untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang, tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun, adalah habit of the mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter, tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur.
Sementara itu M.Furqon Hidayatullah mengklasifikasikan pendidikan karakater dalam beberapa tahap sesuai dengan hadits Rasulullah yaitu:
1.      Tahap Penanaman Adab (umur 5-6 tahun)
2.      Tahap Penanaman Tanggung Jawab (umur 7-8 tahun)
3.      Tahap Penanaman Kpedulian (umur 9-10 tahun)
4.      Tahap Penanaman Kemandirian (umur 11-12 tahun)
5.      Tahap Penanaman Pentingnya Bermasyarakat (13 tahun keatas).[15]



E. Konsep Dan Metode Penerapan Pendidikan Karakter
Penerapan pendidikan karakter harus dilakukan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, perlu adanya metode. Pendidikan karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia, fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa konsep sebagai pendekatan pembelajaran, antara lain:
1.      Metode Tilâwah. Untuk mengembangkan kemampuan membaca, tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan dalam melihat fenomena.
2.      Metode ta’lim. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal (pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient)).
3.      Metode tarbiyah. Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
4.      Metode ta’dîb. Untuk mengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient).
5.       Metode tazkiyah. Untuk mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Berfungsi juga untuk mensucikan jiwa.
6.      Metode tadlrib. Digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik (physical quotient atau adversity quotient).
Selanjutnya, Pendidikan karakter jika ingin efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramanny, yaitu:
Pertama, desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan siswa bukan monolog, melainkan dialog, sehingga siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan pendapatnya. Baik itu masalah materi pelajaran maupun hal-hal yang non pelajaran. Misalnya tentang manajemen kelas, yang membantu terciptanya suasana kelas yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.[16]

F. Pilar-Pilar Karakter Dalam Menghadapi Arus Budaya Global
Dalam pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 disebutkan  bahwadi antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian pendidikan tidak hanya membentuk insan cerdas, namun juga berkarakter dan berakhlak mulia yang bernafas dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Jika dihubungkan dengan filsafat pendidikan Islam dan nilai-nilai luhur bangsa, maka  paling tidak ada sebelas pilar (nilai) karakter untuk orang menjadi sukses menghadapi budaya arus global:[17]


1.    Nilai spiritual keagamaan (ma’rifatullah),
Rasa keterkaitan dan kesadaran bahwa segala yang dialami dalam hidup ini selalu terkait dengan Tuhan. Berkarakter adalah karakter beriman kepada Allah, tawakal kepada-Nya, dan meminta pertolangan Kepada-Nya disetiap waktu.
2.    Niali tanggung jawab, integritas dan kemandirian
Tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari spiritual keagamaan. Setiap orang bertanggung jawab terhadap apa yang ia katakan dan lakukan dalam tindakan manusiawi secara mandiri dan integritas. Dengan nilai tanggung jawab ini akan berimplikasi kepada nilai lain yakni integritasdan kemandirian. Orang yang bertanggung jawab mempunyai pribadi yang utuh dan bulat (integritas) dan mandiri.
3.      Nilai hormat/ menghargai dan rasa cinta-sayang
Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan kita terhadap harga diri sendiri, harga diri orang lain ataupun hal lain selain diri sendiri. Menghormati dan menyayangi dapat berjalan dengan baik jika sesorang merasa dirinya bagian tak terpisahkan dari masyarakatnya dan merasa sayang terhadap orang lain.
4.    Nilai amanah dan kejujuran
Amanah artinya sesuatuyang dipercayakan kepadanya. Allah mengamanatkan kepada manusia untuk berfungsi sebagai hamba dan sebagai khalifa. Dengan nilai spiritual keagamaan sesorang yanng kuat Akan mampu mengemban amanat itu dengan jujur.
5.      Nilai bersahabat/berkomunikasi (silaturrahmi), kerjasama, demokratis dan peduli
Kebanyakan orang sukses justru ditentukan sejauuh mana sesorang menghormnati, menghargai, menolong, toleran dan santun dalam berkomunikasi dan bertindak. Intelegensi hanya salah satu faktor saja untuk menuju sukses.
6.      Nilai percaya diri, kreatif, pekerja keras dan pantang menyerah


7.      Nilai disiplin dan teguh pendirian (istiqamah)
Agama sangat menghargai waktu. Tidak ada manusia sukses kecuali dia disiplin dan teguh pendirian dalam segala aspek. Pribadi yang berkarakter mengetahui kekuatan hukum konsentrsi dan cara mengensampingkan hal-hal lain agar tetap fokus pada sesuatu yang diinginkan.
8.      Nilai sabar dan rendah hati
Dalam Islam sangat dianjurkan manusia untuk bersabar dan orang bersabar adalah beserta Tuhan. Sisamping bersabar juga nilai rendah hati sebagai lawan dari sombong. Hakikat sombong adalah merasa dirinya serba cukup dan karenanya menghina orang lain bahkan dirinya sendiri. Karena salah satu induk kejahatan adalah sombong.
9.      Nilai teladan dalam hidup
Panji-panji Islam dapat ditegakkan apabila sesorang menempatkan dirinya sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah) bagi masyarakat dan keluarganya. Tidak akan dapat menciptakan tatanan yang bermoral apabiila terutama para pemimpinnya belum dapat menjadikan diri mereka sebagai teladan bagi yang dipimpinnya.
10.  Toleransi (tasamuh), dan kedamaian
Lahirnnya toleransi dan kedamaian berwal dari spiritual keagamaan yang menekankan bertoleransi terhadap orang lain. Dasar filsafatnya bahwa manusia diciptakan dalam perbedaan dan makhluk sosial.
11.  Nilai semangat dan rasa ingin tahu
Orang yang berkarakter ialah yang tau betul apa yang diinginkan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia tahu alasan menginginkan sesuatu, kapan menginginkannya, dan bagaimana cara mendapatkannya dengan mengerahkan seluruh potensi serta kemungkinan yang ada. Pribadi yang berkarakter tidak hanya fokus pada pemecahan masalah, tapi bagaimana dapat mengambil pelajaran dari setiap masalah yang dihadapi. pelajaran itu akan ia gunakan untuk merencanakan masa depan. Dengan demikian ia mengolah masalah menjadi peluang, keahlian, keterampilan dan pengalaman


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Ketika ketiga hal tersebut dapat berjalan beriringan, maka akan terbentuk karakter seseorang yang bisa baik atau buruk.
2.      Teori pengembangan karakter dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif  (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif. Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan yang luhur.
3.      Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good (mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan).
4.      Metode penerapan pendidikan karakter menurut Islam antara lain: metode tilâwah, metode ta’lîm’, metode tarbiyah, metode ta’dîb, metode tazkiyah dan metode tadlrîb. Penerapan pendidikan karakter dapat dilaksanakan di keluarga, di sekolah, di masyarakat, bahkan negara dengan tujuan yang sama, yaitu membentuk karakter seseorang sebagai bekal di kehidupan masa depan. Namun, dimanapun pendidikan karakter itu diterapkan, penerapan di keluargalah yang paling penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter seseorang. Penanaman nilai-nilai seperti nilai agama, nilai sosial, akan lebih menancap di sanubari seseorang ketika masih berada di lingkungan keluarga. Karena karakter seseorang akan lebih mudah dibentuk ketika masih dalam usia anak-anak.




DAFTAR PUSTAKA


Asmuni, Jamal Ma’mur.  2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1897. Kamus Inggris Indonesia, Cet. XV. Jakarta: Gramedia
Ihsan, Fuad. 2005. Dasar-dasar Kependidikan: komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta
Khan, Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Mendongkrak Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing
Majid, Abdul dan  Dian Andayanin. 2012. Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Marimba, Ahmad D. 1974. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif
Muslich, Mansur. 2011. Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Cet. I,  2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Samani, Hariyanto Muchlas. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya
Siregar, Maragustam. 2010. Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna, Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta: Nuha Litera
________________. 2014. Filsafat PendidikanIslam. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta
http://edukasi.kompas.com/Pendidikan Karakter Integral. Diakses Pada tanggal 4 Januari 2014





[1] Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan: komponen MKDK, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), Hlm.5
[2] Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 1. Ayat 1
[3]Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XV, (Jakarta: Gramedia, 1897). Hlm. 214
[4]Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Cet. I,  Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Hlm. 682
[5] Mansur Muslich, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), Hlm.70
[6]Hariyanto Muchlas Samani, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm.43-45
[7]Abdul Majid, Dian Andayanin, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), Hlm. 9-10
[8]Ibid.,
[10]Abdul Majid, Dian Andayanin, Pendidikan Karakter Perspektif Islam……, Hlm. 32-33
[11]Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Mendongkrak Kualitas Pendidikan, ( Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 2
[12]Maragustam Siregar, Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna, Falsafah Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010) , hlm. 93
[13] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1974.), hlm. 81-88
[14]Maragustam Siregar, Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna, Falsafah Pendidikan Islam,……………., hlm. 126-127
[15] Jamal Ma’mur Asmuni, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press, 2011), hlm.85
[16]http://edukasi.kompas.com/Pendidikan Karakter Integral. Diakses Pada tanggal 4 Januari 2014
[17]Maragustam Siregar, Filsafat PendidikanIslam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2014), Hlm.  255-264

0 komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates