Foto: nu.org
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan sarana efektif untuk mencerdaskan bangsa. Maju tidaknya suatu bangsa
bisa dilihat dari perkembangan pendidikan yang sudah berjalan. Reorientasi
pendidikan dengan mendorong peran pemerintah lebih optimal serta revitalisasi
pendidik merupakan salah satu langkah awal yang harus ditempuh untuk menjadikan
pendidikan sebagai alat perbaikan dan pembentukan karakter bangsa. Pendidikan Indonesia saat ini
dihadapkan banyak persoalan, krisis yang dialami bangsa Indonesia tidak hanya
krisis ekonomi maupun politik, tapi lebih dari itu. Bangsa Indonesia tengah
menghadapi krisis karakter atau jati diri yang menjadi landasan fundamental
bagi pembangunan karakter bangsa (nation carcter building). Berbagai
peristiwa atau kejadian yang sering berlangsung dalam kehidupan sehari-hari
yang disaksikan melalui TV maupun media cetak, menunjukkan betapa masyarakat
Indonesia tengah mengalami degradasi jati diri dan menurunny amartabat bangsa
yang berkeadaban.
Pendidikan
karakter yang merupakan satu dari sekian banyak paradigma pendidikan di
Indonesia, kini semakin ramai dibahas sejak dicanangkannya gerakan pendidikan
karakter. Kemunculan pendidikan karakter sebagaimana paradigma pendidikan lain,
dilatarbelakangi oleh konstruksi filosofis yang berdiri di belakangnya. Kemudian
muncul pula bagaimana konsep pendidikan karakter dan apa sebenarnya urgensinya
bagi pendidikan di Indonesia, serta bagaimana pendidikan karakter tersebut bisa
diterapkan di lingkungan sekolah, di keluarga, atau di masyarakat. Hal itulah
yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
Beberapa
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Apakah
definisi dari pendidikan karakter?
2. Aliran filsafat yang mendasari dan berhubungan
dengan pendidikan karakter?
3. Apa saja teori atau aliran yang digunakan dalam pembentukan dan
pengembangan pendidikan karakter?
4. Bagaimana
tahap-tahap pembentukan karakter?
5. Bagaimana konsep dan metode
penerapan pendidikan karakter?
C. Tujuan
Penulisan
Bedasarkan rumusan
masalah di atas maka, tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1. Mengetahui definisi
dari pendidikan karakter.
2. Mengetahui
Aliran filsafat yang mendasari dan berhubungan dengan pendidikan karakter.
3. Mengetahui teori atau aliran yang digunakan dalam pembentukan dan
pengembangan pendidikan karakter.
4. Mengetahui
tahap-tahap pembentukan karakter?
5. Mengetahui konsep dan metode
penerapan pendidikan karakter?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter merupakan gabungan dari dua kata, yaitu pendidikan dan
karakter. Kita ketahui bahwa pengertian pendidikan begitu banyak versi yang menyebutkan.
Salah satunya adalah Ki Hadjar Dewantara dalam Kongres Taman Siswa yang pertama
tahun 1930 mengatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intelek), dan tubuh anak; dalam Taman Siswa tidak boleh dipisahkan
bagian-bagian itu agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan dan
penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.[1]
Sedangkan pada Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.[2]
Sedangkan
karakter secara etimologis, kata karakter
(Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave”.
Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan,
atau menggoreskan.[3]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang
dengan yang lain, dan watak.[4]
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh beberapa ahli.
Menurut koesoema A, karakter sama dengan
kepribadian. Kepribadian adalah ciri atau karakteristik, gaya atau sifat khas
dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari
lingkungan. Karakter menurut Suyanto adalah cara berfikir dan berprilaku yang
menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.[5]
Pendidikan karakter menurut winton, segala hal positif yang dilakukan oleh guru
yang berpengaruh kepada karakter siswanya. Pendidikan karakter sebagai
pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia dari peserta didik dengan
mempraktikan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang
beradab dalam hubungan sesama manusia maupun dengan Tuhan.[6]
Pendidikan karakter dalam perspektif islam yang disebut dengan
pendidikan akhlak, sebagaimana yang telah dirumuskan oleh tokoh filosof serta
pendidikan seperti Ibnu Miskawih, al-Qabisi, Ibnu Sina, al-Ghazali, dan
al-Zarnuji menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah
terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini
adalah jelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.[7] Menurut Sa’adudin,
akhlak mengandung tiga arti, yaitu:
a.
Tabiat, adalah sifat dalam diri yang terbentuk
oleh manusia tanpa dikehendaki dan tanpa diupayakan;
b.
Adat, adalah sifat dalam diri yang diupayakan
menusia melalui latihan;
c.
Watak, adalah yang tercakup kedalam hal yang
menjadi tabiat, dan hal yang diupayakan hingga menjadi adat.[8]
Suatu
perilaku dapat disebut dengan perilaku akhlak, apabila perilaku atau perbuatan
itu lahir secara spontanitas tanpa olahan pikiran. Sebagai contoh, seseorang
yang sedang mengendarai sepeda motor dijalanan, kemudian pengendara lain yang
berada di sampingnya terjatuh. Lalu secara spontan Ia menghentikan laju
kendaraannya lalu menolong pengendara tadi, tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Dilihat
dari beberapa pengetian tersebut, bahwa karakter dan akhlak tidak terdapat
perbedaan yang signifikan. Karakter dan akhlak sama-sama menunjukkan sebuah
perbuatan yang lahir secara spontan tanpa olahan pikiran untuk memikirkan
untung dan rugi, dengan kata lain bisa disebut dengan kebiasaan.
Dari kedua pandangan difenisi
tersebut disimpulkan suatu perbuatan yang merupakan proses bimbingan dan
pembentukan yang dilakukan oleh stake holders agar tercapainya insan yang
bermoral, serta berakhlak mulia. Pendidikan
karakter kemudian diharapkan menjadi sebuah jalan untuk melakukan tindakan
prefentif terhadap rusaknya moral bangsa dengan melaksanakan proses atau
langkah-langkah dari pembinaan akhlak atau karakter secara menyeluruh, baik
dari murid terlebih dahulu, kemudian keluarga, pendidik, lembaga pendidikan,
kurikulum, serta segala sesuatu yang terlibat dalam pendidikan.
B. Landasan Filosofis
Tentang Pendidikan Karakter
Setiap paradigma
pendidikan tidak bisa lepas dari akar filosofisnya. Sebab pendidikan sebagai
ilmu merupakan cabang dari filsafat dalam aplikasinya. Dalam filsafat
pendidikan terdapat beberapa aliran yang saling merekonstruksi masing-masing
paradigma pendidikan tersebut. Berangkat dari aliran-aliran filsafat tersebut
kemudian membentuk paradigma yang berbeda-beda. Paradigma yang dimaksud di sini
adalah sebagai salah satu perspektif filosofis dalam membaca persoalan mengenai
pendidikan. Dalam filsafat kontemporer terdapat jenis aliran filsafat diantaranya
aliran progresivisme, esensialisme, perenialisme, deksistensialisme, dan rekonstruksialisme.
Aliran progresivisme
memiliki ciri utama yaitu memberi kebebasan penuh terhadap manusia untuk
menentukan hidupnya. Hal ini didasari kepercayaaan bahwa manusia memiliki
kemampuan atau dengan kata lain potensi-potensi alamiah yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah-masalah hidupnya (problem solving) yang
bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri. Oleh karena itu,
manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang penuh dengan
rintangan. Lingkungan dan pengalaman menjadi hal yang penting dalam aliran ini.
Masalah atau problem yang dihadapi manusia biasanya berasal dari lingkungan dan
dengan pengalaman-pengalaman yang dialaminya pada lingkungan dimana dia berada,
manusia menjadi semakin mudah dan bijak dalam menyelesaikan problem hidup.
Serta dengan makin seringnya manusia menghadapi tuntutan lingkungan dan makin
banyak pengalaman yang didapat, maka makin matang persiapan seseorang dalam
menghadapi tantangan atau tuntutan masa depan.
Filsafat progresivisme
merupakan aliran yang anti kemapanan sehingga bertentangan dengan esensialisme.
Maksudnya, progresivisme berpandangan berpikir kearah kedepan (adanya
kemajuan), secara terus-menerus merekonstruksi pengetahuan-pengetahua menuju
sebuah kesempurnaan. Dalam perspektif
progresivisme, pendidikan bukanlah sekadar memberikan pengetahuan, lebih dari
itu pendidikan melatih kemampuan berpikir (aspek kognitif). Manusia memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dibanding makhluk lain, yaitu dianugerahi akal dan
kecerdasan. Sehingga dengan akal dan kecerdasan tersebut diharapkan manusia
atau seseorang dapat mengetahui, memahami, dan mengembangkan potensi-potensi
yang telah ada pada dirinya sejak dilahirkan. Akal membuat seseorang bersifat
kreatif dan dinamis sebagai bekal dalam menghadapi dan menyelesaikan problem
yang dihadapi sekarang maupun masa depan.
Aliran inilah yang
menjadi dasar atau landasan terbentuknya pendidikan karakter. Pandangan yang
mengatakan bahwa manusia memiliki potensi-potensi dan kemampuan untuk mengatasi
masalah-masalah. Progresivisme yang juga menaruh kepercayaan terhadap kebebasan
manusia dalam menentukan hidupnya, serta lingkungan hidup yang dapat
mempengaruhi kepribadiannnya. Beberapa hal yang terkandung dalam aliran
progresivisme ini kemudian secara mendalam dipikirkan untuk kemudian
memunculkan sebuah paradigma pendidikan yang sedang menjadi primadona paradigma
pendidikan dewasa ini, yang tidak lain adalah pendidikan karakter.
Pada ranah Islam kita
mengenal istilah filsafat akhlak. Fisafat akhlak ini sangat dekat dengan
tasawuf, karena tasawuf sebagai akar dari filsafat akhlak yang memberikan
pengaruh terhadap pembentukan karakter. Pemikir akhlak salah satunya adalah
Al-Ghazali dengan karyanya Ihya Ulum al-Din. Pengalaman spiritual para
sufi yang membawa implikasi kesucian akhlak merupakan pokok pemikiran akhlak.
Dari peneladanan terhadap para sufi tersebut, akan melahirkan sebuah kebiasaan
(habit) yang senantiasa berbuat kebajikan. Pendidikan akhlak yang
dipraktekkan secara terus menerus akan membentuk sebuah karakter seseorang.
Pendidikan akhlak pada konteks ini menginspirasi terbentuknya pendidikan
karakter dan penerapannya.[9]
Prinsip
dasar pendidikan karakter haruslah mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang
menjadi dasar filosifis pendidikan Islam. Berikut ini adalah beberapa nilai
filosofis yang mengandung nilai pendidikan Islam menurut Toto Tasmara:[10]
1. The man of wisdom, pendidik tidak hanya menguasai dan terampil dalam prosfesinya,
tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan. (QS.
al-Baqarah: 268)
2. High in integrity, baik pendidik maupun peserta didik bersungguh-sungguh untuk
meningkatkat kualitas keilmuan. Tidak hanya memikirkan apa yang tampak, tetapi
mapu melihat apa di balik yang tampak melalui proses perenungan dan tafakkur.
(QS. Ali imran: 190)
3. Willingness to learn, memiliki motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mampu
mengambil pelajaran dari setiap pelajaran dan peristiwa yang dihadapinya. (QS. yusuf: 111)
4. Proactive stance, bersikap proaktif ingin memberikan kontribisi positif terhadap
lingkungannya. Melalui pengalaman dan kemampuan dirinya, mampu mengampu
keputusan yang terbaik dan menjauhi perbuatan yang merygikan. (QS. Al-maidah:
100)
5. Faith in God, mencintai Allah SWT dan karenanya, selalu mendapatkan petunjuk
dari-Nya. Hidup bagaikan telah dihibahkan kepada Allah sehingga tumbuh rasa
optimis untuk menjadikan Allah satu-satunya tempat bersandar dan bertawakal.
(QS. ali imran: 30-31, QS. al-baqarah: 138)
6. Creditable and reputable, selalu berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai insan yang
dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkari janji atau mengkhianati
amanah yang dipikulkan kepada dirinya. (QS. ar-ra’d: 19-22)
7. Being the best, selalu ingin menjadikan dirinya sebagai teladan dan menampilkan
unjuk kerja yang terbaik. (QS. ali imran: 110)
8. Empathy and compassion, menanamkan rasa cinta kepada orang lain sebagaimana ia mencintai
dirinya sendiri. (QS. at-taubah: 128)
9. Emosional maturity, mereka memiliki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah
mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah
terperangkap dalam keputusan yang emosional. (QS. luqman: 17)
10. Balance, memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam al-Qur’an
sebagai nafsul muthmainnah. (QS. al-fajr: 27-30, QS. asy-syu’ara: 89)
11. Sense of mission,
memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupannya. (QS. at-taubah:
33, QS. al-fath:28, QS. ash-shaf: 9)
12. Sense of competition, memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena sadar bahwa
setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya. (QS. al-baqarah: 148).
Pada
dasarnya pendidikan Karakter memiliki tujuan menciptakan akhlak terpuji. Namun
dalam hal ini, Islam lebih rinci dan kopleks dalam memaparkan nilai pendidikan
disertai dengan ayat-ayat yang jelas.
C. Jenis-jenis Pendidikan Karakter
Ada empat jenis karakter yang selama ini
dikenal dan dilaksanakan dalam proses pendidikan , yaitu sebagai berikut:
1.
Pendidikan karakter berbasis nilai religius, yang
merupakan kebenaran wahyu Tuhan ( konservasi moral).
2.
Pendidikan karakter berbasis nilai budaya , antara
lain yang berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra, keteladanan tokoh-tokoh
sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi lingkungan).
3.
Pendidikan
karakter berbasis lingkungan (konservasi lingkungan).
4.
Pendidikan karakter berbasis potensi diri, yaitu sikap
pribadi, hasil proses kesadaran pemberdayaan potensi diri yang diarahkan untuk
meningkatkan kualitas pendidikan (konservasi humanis).[11]
C. Teori
Pengembangan Karakter
Bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan
karakternya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu:
1.
Aliran yang berpandangan fatalis-pasif, mempercayai
bahwa setiap individu sudah berkarakter atau tuna karaktermelalui ketetapan
Allah . Baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian saja. Faktor-faktor
eksternal, termasuk paradigma pendidikan karakter tidak begitu berpengaruh
karena setiap individu terikat dengan ketetapan yang telah ditentukan
sebelumnya. Karakter positif atau negatif seseorang telah ditentukan lebih
dahulu sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.
Implikasi dari pandangan ini bahwa faktor internal dan eksternal termasuk
lingkungan dan pendidikan adalah pasif dalam pembentukan kepribadian.
2.
Pandangan netral-pasif, yakni anak lahir dalam keadaan
suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong. Sama halnya dengan teori
tabularasa yang dikemukakan John Lock bahwa manusia lahir seperti kertas putih
tanpa ada sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik dan
tidak baik itu karena mendapat pengaruh dari luar terutama orang tua. Pengaruh
baik dan buruk tersebut akan terus mengiringi kehidupan setiap insan dan
karakter yang terbentuk tergantung mana yang dominan memberi pengaruh. Jika
pengaruh baik lebih dominan, maka seseorang akan berkarakter baik, begitu pula
sebaliknya apabila yang lebih dominan adalah pengaruh buruk, maka karakter yang
terbentuk karakter tidak baik. Pandangan ini mengambil argumen dari QS. Al-Nahl
(16):78
ª!$#ur Nä3y_t÷zr& .`ÏiB ÈbqäÜç/ öNä3ÏF»yg¨Bé& w cqßJn=÷ès? $\«øx© @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur öNä3ª=yès9 crãä3ô±s? ÇÐÑÈ
Artinya: “Dan
Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.”
3.
Aliran positif-aktif yakni bawaan dasar atau sifat
manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif, sedangkan sesorang
menjadi tuna karakter bersifat aksidental atau sementara. Artinya sesorang
lahir sudah membawa karakter. Karakter tersebut bersifat dinamis dan aktif
mempengaruhi lingkungan sekitar. Dan lingkunganlah yang membelenggu manusia sehingga ia
menjauh dari sifat bawaannya. Para ahli
berpandangan positif-aktif membangun dasar argumennya dari QS. Al-A’raf (7):
172
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
4.
Aliran dualis-aktif yakni manusia memiliki dua
sifat ganda yang sama kuatnya. Sifat baik dan buruk. Tergantung kedekatan
manusia terhadap lingkungan yang baik atau buruk. Jika ia dekat dengan
teman yang berkarakter baik, maka seseorang tersebut akan mengambil sifat
baiknya, dan sebaliknya. Penanaman kebiasaan positif amat penting untuk
diupayakan sejak kecil agar karakter atau sifat baik lebih kuat.[12]
D. Tahap-Tahap Pembentukan Karakter
Dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah guru yang
merupakan singkatan dari digugu lan ditiru. Guru dalam ranah keluarga
adalah kedua orangtua. Sehingga apapun perkataan, perbuatan atau sikap dari
orangtua akan diikuti oleh anak, entah itu baik maupun buruk. Sebab ketika
seseorang berada pada masa anak-anak, pendidikan yang dominan adalah
keteladanan. Ucapan dan tindakan dari orangtua yang itu termasuk hal yang baik
atau buruk, secara langsung ataupun tidak langsung akan membentuk karakter si
anak sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila, dan makhluk
keagamaan. Orangtua yang menanamkan nilai-nilai agama pada anak, misalnya
sering mengajak sholat, mengajari membaca Al-Quran, mengenalkan Allah,
mendorong untuk cinta kepada Muhammad, maka anak cenderung akan terbentuk
karakter orang yang religius. Orangtua yang sering mengajarkan kebaikan, bertutur
kata yang lemah lembut, dermawan pada orang lain, maka karakter si anak
cenderung baik. Akan tetapi jika orang tua berkata atau bersikap yang tidak
baik, apalagi sering bertengkar di depan anak, maka dalam diri seorang anak
akan terbentuk karakter yang tidak baik.
Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri
atas tiga taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Tujuannya untuk membentuk aspek
kejasmanian dari kepribadian, atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan
sesuatu (pengetahuan hafalan). Contohnya antara lain membiasakan puasa dan
sholat. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan minat. Setelah melakukan
pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian atau pengetahuan tentang
amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga, pembentukan kerohaniyahan yang
luhur. Pembentukan ini menanamkan kepercayaan yang ada pada rukun iman.
Hasilnya seseorang akan lebih mendalami apa yang dilakukan atau diucapkan
sehingga meningkatkan tanggungjawab terhadap setiap apa yang dikerjakan.[13]
Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah
proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan
yaitu:[14]
1.
Knowing the good
Untuk membentuk karakter, anak
tidak hanya sekadar tahu mengenai hal-hal yang baik, namun mereka harus dapat
memahami kenapa perlu melakukan hal itu. Selama ini mereka tahunya mana yang
baik dan buruk, namun mereka tidak tahu alasannya. Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam
pendidikan karakter. Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan
pengetahuan tentang nilai-nilai. Siswa harus mampu: a) membedakan nilai-nilai
akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal; b) memahami secara
logis dan rasional pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam
kehidupan; c) mengenal sosok Nabi Muhammad SAW sebagai figur teladan akhlak
mulia melalui hadits-hadits dan sunahnya.
2.
Feeling the good
Konsep ini mencoba membangkitkan
rasa cinta anak untuk melakukan perbuatan baik. Di sini anak dilatih untuk
merasakan efek dari perbuatan baik yang dia lakukan. Jika feeling the good
sudah tertanam, itu akan menjadi ‘mesin’ atau kekuatan luar biasa dari dalam
diri seseorang untuk melakukan kebaikan atau menghindarkan perbuatan negatif.
3.
Acting the good
Pada tahap ini, anak dilatih
untuk berbuat mulia. Tanpa melakukan apa yang sudah diketahui atau dirasakan oleh seseorang,
tidak akan ada artinya. Selama ini hanya himbauan saja, padahal berbuat sesuatu
yang baik itu harus dilatih, dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Jadi ketiga faktor tersebut harus dilatih secara terus
menerus hingga menjadi kebiasaan. Konsep yang dibangun, adalah habit of the
mind, habit of the heart, dan habit of the hands. Karakter juga menjadi
kunci utama sebuah bangsa untuk bisa maju. Indonesia yang kaya dengan sumber
daya alam, tidak akan maju jika sumber daya manusia (SDM) tidak berkarakter,
tidak jujur, tidak bertanggungjawab, tidak mandiri, serta tidak jujur.
Sementara itu M.Furqon
Hidayatullah mengklasifikasikan pendidikan karakater dalam beberapa tahap
sesuai dengan hadits Rasulullah yaitu:
1.
Tahap Penanaman Adab (umur 5-6 tahun)
2.
Tahap Penanaman Tanggung Jawab (umur 7-8 tahun)
3.
Tahap Penanaman Kpedulian (umur 9-10 tahun)
4.
Tahap Penanaman Kemandirian (umur 11-12 tahun)
E. Konsep Dan Metode Penerapan Pendidikan Karakter
Penerapan pendidikan karakter harus
dilakukan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, perlu adanya metode. Pendidikan
karakter seharusnya berangkat dari konsep dasar manusia, fitrah. Setiap anak
dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati
dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple
intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa konsep sebagai pendekatan pembelajaran, antara lain:
1.
Metode Tilâwah. Untuk mengembangkan
kemampuan membaca, tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan
kepekaan dalam melihat fenomena.
2.
Metode ta’lim. Untuk mengembangkan
potensi fitrah berupa akal (pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual
quotient)).
3.
Metode tarbiyah. Metode tarbiyah
digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam
hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa.
4.
Metode ta’dîb. Untuk mengembangan
kecerdasan emosional (emotional quotient).
5.
Metode tazkiyah. Untuk mengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Berfungsi juga untuk mensucikan jiwa.
6.
Metode tadlrib. Digunakan untuk
mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik (physical
quotient atau adversity quotient).
Selanjutnya, Pendidikan karakter jika ingin
efektif dan utuh mesti menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramanny,
yaitu:
Pertama, desain pendidikan
karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik
dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Relasi guru dengan siswa bukan monolog,
melainkan dialog, sehingga siswa itu berkesempatan untuk mengeluarkan ide-ide dan
pendapatnya. Baik itu masalah materi pelajaran maupun hal-hal yang non
pelajaran. Misalnya tentang manajemen kelas, yang membantu terciptanya suasana
kelas yang nyaman.
Kedua, desain pendidikan karakter
berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu
membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai
tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai
kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak
didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran
melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap
setiap perilaku ketidakjujuran.
Ketiga, desain pendidikan
karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang
sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat
umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan
pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara
lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah
mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk
menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama. Pendidikan
karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter ini
dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita hanya akan
bersifat parsial, tidak konsisten, dan tidak efektif.[16]
F. Pilar-Pilar Karakter Dalam
Menghadapi Arus Budaya Global
Dalam pasal I UU Sisdiknas tahun
2003 disebutkan bahwadi antara tujuan
pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki
kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian pendidikan tidak
hanya membentuk insan cerdas, namun juga berkarakter dan berakhlak mulia yang
bernafas dengan nilai-nilai luhur bangsa dan agama. Jika dihubungkan dengan
filsafat pendidikan Islam dan nilai-nilai luhur bangsa, maka paling tidak ada sebelas pilar (nilai)
karakter untuk orang menjadi sukses menghadapi budaya arus global:[17]
1.
Nilai spiritual
keagamaan (ma’rifatullah),
Rasa keterkaitan dan
kesadaran bahwa segala yang dialami dalam hidup ini selalu terkait dengan Tuhan.
Berkarakter adalah karakter beriman kepada Allah, tawakal kepada-Nya, dan
meminta pertolangan Kepada-Nya disetiap waktu.
2.
Niali tanggung jawab,
integritas dan kemandirian
Tanggung jawab
merupakan suatu bentuk lanjutan dari spiritual keagamaan. Setiap orang
bertanggung jawab terhadap apa yang ia katakan dan lakukan dalam tindakan
manusiawi secara mandiri dan integritas. Dengan nilai tanggung jawab ini akan
berimplikasi kepada nilai lain yakni integritasdan kemandirian. Orang yang
bertanggung jawab mempunyai pribadi yang utuh dan bulat (integritas) dan
mandiri.
3.
Nilai hormat/
menghargai dan rasa cinta-sayang
Rasa hormat berarti
menunjukkan penghargaan kita terhadap harga diri sendiri, harga diri orang lain
ataupun hal lain selain diri sendiri. Menghormati dan menyayangi dapat berjalan
dengan baik jika sesorang merasa dirinya bagian tak terpisahkan dari
masyarakatnya dan merasa sayang terhadap orang lain.
4.
Nilai amanah dan
kejujuran
Amanah artinya sesuatuyang
dipercayakan kepadanya. Allah mengamanatkan kepada manusia untuk berfungsi
sebagai hamba dan sebagai khalifa. Dengan nilai spiritual keagamaan sesorang
yanng kuat Akan mampu mengemban amanat itu dengan jujur.
5.
Nilai
bersahabat/berkomunikasi (silaturrahmi), kerjasama, demokratis dan peduli
Kebanyakan orang sukses
justru ditentukan sejauuh mana sesorang menghormnati, menghargai, menolong,
toleran dan santun dalam berkomunikasi dan bertindak. Intelegensi hanya salah
satu faktor saja untuk menuju sukses.
6.
Nilai percaya diri,
kreatif, pekerja keras dan pantang menyerah
7.
Nilai disiplin dan
teguh pendirian (istiqamah)
Agama sangat
menghargai waktu. Tidak ada manusia sukses kecuali dia disiplin dan teguh
pendirian dalam segala aspek. Pribadi yang berkarakter mengetahui kekuatan
hukum konsentrsi dan cara mengensampingkan hal-hal lain agar tetap fokus pada
sesuatu yang diinginkan.
8.
Nilai sabar dan rendah
hati
Dalam Islam sangat
dianjurkan manusia untuk bersabar dan orang bersabar adalah beserta Tuhan.
Sisamping bersabar juga nilai rendah hati sebagai lawan dari sombong. Hakikat
sombong adalah merasa dirinya serba cukup dan karenanya menghina orang lain
bahkan dirinya sendiri. Karena salah satu induk kejahatan adalah sombong.
9.
Nilai teladan dalam
hidup
Panji-panji Islam dapat
ditegakkan apabila sesorang menempatkan dirinya sebagai teladan yang baik (uswatun
hasanah) bagi masyarakat dan keluarganya. Tidak akan dapat menciptakan
tatanan yang bermoral apabiila terutama para pemimpinnya belum dapat menjadikan
diri mereka sebagai teladan bagi yang dipimpinnya.
10. Toleransi (tasamuh), dan kedamaian
Lahirnnya toleransi
dan kedamaian berwal dari spiritual keagamaan yang menekankan bertoleransi
terhadap orang lain. Dasar filsafatnya bahwa manusia diciptakan dalam perbedaan
dan makhluk sosial.
11. Nilai semangat dan rasa ingin tahu
Orang yang berkarakter ialah yang
tau betul apa yang diinginkan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Ia tahu
alasan menginginkan sesuatu, kapan menginginkannya, dan bagaimana cara mendapatkannya
dengan mengerahkan seluruh potensi serta kemungkinan yang ada. Pribadi yang
berkarakter tidak hanya fokus pada pemecahan masalah, tapi bagaimana dapat mengambil
pelajaran dari setiap masalah yang dihadapi. pelajaran itu akan ia gunakan untuk
merencanakan masa depan. Dengan demikian ia mengolah masalah menjadi peluang,
keahlian, keterampilan dan pengalaman
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pendidikan
karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan
tindakan (action). Ketika ketiga hal tersebut dapat berjalan beriringan,
maka akan terbentuk karakter seseorang yang bisa baik atau buruk.
2. Teori pengembangan karakter dapat dikelompokkan menjadi empat aliran
yaitu (1) fatalis-pasif (2) netral-pasif (3) positif-aktif dan (4)
dualis-aktif. Proses pembentukan karakter atau kepribadian terdiri atas tiga
taraf, yaitu pertama, pembiasaan. Kedua, pembentukan pengertian, sikap, dan
minat. Setelah melakukan pembiasaan, selanjutnya seseorang diberi pengertian
atau pengetahuan tentang amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Ketiga,
pembentukan kerohaniyahan yang luhur.
3. Pendidikan karakter atau kepribadian memerlukan sebuah proses yang simultan
dan berkesinambungan yang melibatkan aspek membelajarkan knowing the good
(mengetahui hal yang baik), feeling the good (merasakan hal yang baik), desiring
the good (merindukan kebaikan), loving the good (mencintai
kebaikan), dan acting the good (melakukan kebaikan).
4. Metode penerapan pendidikan karakter menurut Islam antara lain: metode tilâwah,
metode ta’lîm’, metode tarbiyah, metode ta’dîb, metode
tazkiyah dan metode tadlrîb. Penerapan pendidikan karakter dapat
dilaksanakan di keluarga, di sekolah, di masyarakat, bahkan negara dengan
tujuan yang sama, yaitu membentuk karakter seseorang sebagai bekal di kehidupan
masa depan. Namun, dimanapun pendidikan karakter itu diterapkan, penerapan di
keluargalah yang paling penting dan berpengaruh bagi pembentukan karakter
seseorang. Penanaman nilai-nilai seperti nilai agama, nilai sosial, akan lebih
menancap di sanubari seseorang ketika masih berada di lingkungan keluarga.
Karena karakter seseorang akan lebih mudah dibentuk ketika masih dalam usia
anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Jamal Ma’mur. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter
di Sekolah. Jogjakarta: Diva Press
Echols, John M. dan Hassan Shadily.
1897. Kamus Inggris Indonesia, Cet. XV. Jakarta: Gramedia
Ihsan, Fuad. 2005. Dasar-dasar Kependidikan: komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta
Khan,
Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Mendongkrak
Kualitas Pendidikan. Yogyakarta: Pelangi Publishing
Majid, Abdul dan Dian Andayanin. 2012. Pendidikan Karakter
Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya
Marimba, Ahmad D. 1974. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Ma’arif
Muslich, Mansur. 2011. Pendidikan
Karakter. Jakarta: Bumi Aksara
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Cet. I, 2008. Kamus Bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
Samani, Hariyanto Muchlas. 2012. Konsep
dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosdakarya
Siregar, Maragustam. 2010. Mencetak
Pembelajar menjadi Insan Paripurna, Falsafah Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Nuha Litera
________________. 2014. Filsafat
PendidikanIslam. Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta
http://calongurukimia.blogspot.com/2012/06/pendidikan-karakter.html, Diakses pada
tanggal 4 Januari 2015
[3]Echols,
John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. XV, (Jakarta:
Gramedia, 1897). Hlm. 214
[4]Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Cet. I,
Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), Hlm. 682
[5]
Mansur Muslich, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011),
Hlm.70
[6]Hariyanto
Muchlas Samani, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), Hlm.43-45
[7]Abdul Majid,
Dian Andayanin, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), Hlm. 9-10
[8]Ibid.,
[9]http://calongurukimia.blogspot.com/2012/06/pendidikan-karakter.html, Diakses pada tanggal 4 Januari 2015
[10]Abdul Majid,
Dian Andayanin, Pendidikan Karakter Perspektif Islam……, Hlm. 32-33
[11]Yahya
Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Mendongkrak Kualitas
Pendidikan, ( Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 2
[12]Maragustam
Siregar, Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna, Falsafah Pendidikan
Islam, (Yogyakarta: Nuha Litera, 2010) , hlm. 93
[14]Maragustam
Siregar, Mencetak Pembelajar menjadi Insan Paripurna, Falsafah Pendidikan
Islam,……………., hlm. 126-127
[15] Jamal Ma’mur Asmuni, Buku Panduan
Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Jogjakarta: Diva
Press, 2011), hlm.85
[17]Maragustam
Siregar, Filsafat PendidikanIslam, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
2014), Hlm. 255-264

0 komentar:
Posting Komentar