BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan
memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi
bekal dalam kehidupan masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa
aktual tidak pernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam, Hermes, sampai
zaman kita sekarang bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya. Pendidikan juga
tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Ideologi
ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan di tengah
masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan ideologi
tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia
pendidikan, yaitu konservatif, liberal, dan kapitalis. Perbedaan dari ketiga
ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa
yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang
diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
Sedangkan
Paradigma digunakan untuk mengembangkan pendidikan Islam yang mempunyai
pengaruh besar yang telah menunjukkan pada tataran konseptual. Proses
pendidikan dalam merealisasikaan suatu kebijakan dalam kemajuan pendidikan yang
semakin bersaing terhadap pengembangan ilmu pengetahuan yang semakin canggih
dan modern. Paradigma pendidikan diibaratkan sebagai kacamata yang digunakan
untuk melihat seberapa jauhkah rasio Islam yang akan melahirkan manusia yang
mempunyai paradigma yang luas dan berwawasan internasional, sehingga dapat
bersaing dengan negara-negara yang semakin maju. Paradigma juga meyakini adanya
kekurangan dan kelebihan suatu pendidikan untuk membentuk pemikiran yang
kritis.[1]
Lebih
lanjut makalah ini akan berusaha menggali penjelasan tentang ideologi dan
paradigma pendidikan Islam yang mencakup pendidikan secara umum maupun
pendidikan Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ideologi Politik Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Ideologi Pendidikan
Secara
etimologis, ideologi berasal dari dua suku kata yaitu idios yang berarti
idea atau konsep dan logos yang berarti ilmu, sehingga ideologi
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari ide-ide. Secara terminologi, ideologi
diartikan oleh Lyman Tower Sargent dalam bukunya Contemporary Political
Ideologies yang dikutip William F.O’Neil Ideologi diartikan sebuah sistem
nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok
tertentu.[2]
Ideologi
berupaya menggambarkan mengenai karakteristik-karakteristik umum tentang alam
dan masyarakat, serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakikat moral,
politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif. Oleh
karena itu ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini sebenarnya
tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana seharusnya
manusia atau masyarakat bertindak. Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat
imperatif dan evaluatif tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan
atau struktur sosial masyarakat dibangun.Inilah yang disebut dengan ideologi.[3]
Pada dasarnya
hakikat dan fungsi ideologi merupakan hasil refleksi (perenungan dan pemantulan
kembali) manusia terhadap dunia kehidupannya. Manusia melihat bahwa ada hal-hal
yang baik dan hal-hal yang dianggap baik serta bagaimana cara
mewujudkannya.Apabila hal tersebut dijalankan, maka akan terwujud kehidupan
ideal seperti yang di cita-citakan.[4]
Ideologi bukan
sekedar pengetahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati
menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah satu pilihan yang menuntut suatu
komitmen untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang
berarti semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya. Komitmen
tercermin dalam sikap seseorang yang menyakini ideologinya sebagai
ketentuan-ketentuan normatif yang harus ditaati dalam hidup masyarakat.
2.
Macam-macam
Ideologi dalam dunia Pendidikan
Ada banyak
ideologi pendidikan yang dipakai dan dipraktekkan di beberapa Negara. Dari banyak
ideologi pendidikan tersebut yaitu diantaranya:
a.
Ideologi
fundamentalisme
Ideologi fundamentalisme yaitu ideologi yang ingin meminimalkan
pertimbangan-pertimbangan filosofis dan intelektual serta cenderung mendasarkan
diri kepada penerimaan relatif terhadap realitas tanpa adanya kritik terhadap
kebenaran dan konsensus sosial yang sudah mapan.
b.
Ideologi
intelektualisme
Ideologi intelektualisme yaitu ideologi yang didasarkan pada sistem-sistem
pemikiran filosofis yang otoritarian. Intelektualisme pendidikan ingin mengubah
praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna
dengan cita-cita intelektual yang sudah mapan.
c.
Ideologi
konservatisme
Ideologi
konservatisme yaitu ideologi yang
memandang bahwa ketimpangan dalam masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal
yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Dalam
bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat
pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan sosial atau paling tidak
mempengaruhinya. Secara implisit, ideologi ini mendukung ketaatan terhadap
lembaga-lembaga yang sudah teruji waktu, disertai dengan rasa hormat yang
mendalam terhadap tatanan sosial yang konstruktif. [5]
d.
Ideologi
liberalisme
Ideologi
liberalisme yaitu ideologi yang mengajarkan kebebasan individu dan berusaha
mempromosikan perwujudan potensi individu secara maksimal. Tujuan jangka
panjang pendidikan menurut kaum liberal adalah melestarikan dan memperbaiki
tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap individu bagaimana
menghadapi masalah-masalah dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Peserta
didik memiliki masalah hidup sendiri dan memiliki pendekatan yang berbeda-beda
dalam menyelesaikannya. Yang terpenting adalah bagaimana mereka diarahkan agar
dapat secara optimal menyelesaikan masalah hidup mereka secara mandiri melalui
pendidikan. [6]
e.
Ideologi
anarkhisme
Ideologi
anarkhisme yaitu ideologi yang menolak pembatasan-pembatasan kelembagaan
terhadap perilaku personal. Ideologi ini bercita-cita melakukan
deinstitusionalisasi masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat bebas dari
belenggu lembaga. Pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang
mengusahakan percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus
sistem persekolahan.
f.
Ideologi
kritis-radikal
Ideologi
kritis-radikal yakni ideologi yang berpandangan bahwa perhatian utama
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideologi” ke
arah tranformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang
berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan dan struktur yang
tidak adil dan menindas. Visi pendidikan harusnya adalah melakukan kritik
terhadap sistem dan kelas dominan sebagai perwujudan atas keberpihakan terhadap
rakyat kecil yang tertindas, dalam rangka untuk mewujudkan tatanan sosial yang
lebih adil. [7]
3.
Pancasila
sebagai Ideologi Negara
Memperbincangkan
ideologi pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari dirkursus tentang
ideologi Negara Indonesia yakni ideologi Pancasila, karena ideologi negara
tentunya harus menjadi landasan bagi segala kebijakan dan keputusan bangsa
(dalam hal ini pemerintah) dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk
masalah pendidikan. Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
haruslah berlandaskan pada Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai
luhur dan semangat yang terkandung didalamnya. Terkait dengan hal tersebut,
maka kebijakan pemerintah sangat menentukan dalam pencapaian tujuan pendidikan
nasional. Setidak-tidak ada tiga dimensi kebijakan pemerintah yang harus
ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a.
Dimensi
management pemerintah; kebijakan ini menyangkut bagaimana, sejauh mana
pendidikan nasional harus dikelola serta dikembangkan baik oleh pemerintah
maupun masyarakat.
b.
Dimensi
prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan nasional
mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional disamping bidang-bidang
lainnya.
c.
Dimensi
partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat
mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan.[8]
4.
Problematika
Penerapan Ideologi Pancasila dalam Dunia Pendidikan
Mengingat kondisi dunia pendidikan
di Indonesia, pekerjaan rumah yang harus dirumuskan adalah perwujudan dan
pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila. Beberapa tokoh pendidikan
sudah mulai mencoba untuk merumuskan konsep dasar filsafat pendidikan
Pancasila, antara lain: Notonagoro, Imam Barnadib dan Subiyanto Wiroyudo. Tinggal
bagaimana langkah pemerintah dalam menerapkan ideologi pendidikan Pancasila
kedalam dinamika pendidikan di Indonesia, dengan berbagai macam keberagaman
yang ada didalamnya.
Masalah pendidikan adalah salah satu
masalah yang bersifat universal. Semua manusia tanpa terkecuali sangat
berkepentingan terhadap pendidikan. Masalah pendidikan biasanya muncul ketika
ada deskripansi (kesenjangan) antara dunia cita-cita (das sollen) dengan dunia
nyata (das sein) pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan dilakukan dalam
rangka mengurangi kesenjangan atau paling tidak mendekatkan antara dunia
cita-cita dengan dunia nyata pendidikan. Berdasarkan dimensi kebijakan
pemerintah dalam dunia pendidikan, maka penulis mencoba untuk mengklarifikasi
masalah-masalah yang ada didalamnya, antara lain:
a.
Masalah
dimensi management
Meskipun UU No 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah sudah diberlakukan, namun otonomi daerah sampai saat ini
terkesan masih setengah hati. Hal yang bisa kita telisik dalam dunia pendidikan
adalah bagaimana Ujian Nasional masih dijadikan standarisasi kelulusan peserta
didik oleh pemerintah. Tentunya hal ini bertolak belakang dengan semangat
program MBS (Managemen Berbasis Sekolah) yang baru-baru ini mencuat. Kerancauan
ini diperparah oleh adanya Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang
mempertegas sistem pengelolaan lembaga pendidikan, dimana pendidikan dasar
sampai menengah keatas merupakan tanggung jawab pemerintah daerah sedangkan
pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
b.
Masalah
dimensi prioritas pembangunan
Dalam amanat UUD pasal 31 ayat 4 disebutkan
bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen
dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan Nasional. Seperti halnya dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pemerintah diwajibkan mengalokasikan
dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan anggaran ini belum termasuk
untuk gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun dalam realitasnya praktek
anggaran penyelenggaraan pendidikan belum atau masih sangat jauh dari angka 20
persen. Rendahnya anggaran pendidikan menjadi bukti bahwa bidang pendidikan
belum memperoleh prioritas yang memadai dalam sistem pembangunan nasional; dan
hal ini sekaligus menunjukkan demikian rendahnya perhatian pemerintah terhadap
pendidikan. Hal tersebut sudah barang tentu dapat menciptakan suasana yang
kurang kondusif terhadap keberhasilan usaha pencapaian tujuan pendidikan
nasional.
c.
Masalah
dimensi partisipasi masyarakat
Masyarakat adalah bagian dari
pendidikan, dalam hal ini berarti bahwa masyarakat ikut menentukan arah dan
sekaligus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya
peran serta masyarakat Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan nasional
relatif besar. Hal ini bisa diukur dari betapa banyaknya lembaga pendidikan
swasta di Indonesia. Namun peran serta masyarakat ini terbentur dengan
pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan dan mindset “favorite” yang
ditanamkan oleh pemerintah. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan swasta seolah
tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah, dimana subsidi dana bagi
lembaga pendidikan swasta berbanding sangat jauh dengan lembaga pendidikan
negeri. Serta mindset favorite yang “dikembang biakkan” oleh pemerintah selama
ini mematikan nilai tawar pendidikan swasta dimana mindset itu adalah sekolah
favorit adalah sekolah yang berstatus negeri. Maka tidak heran semakin banyak
sekolah swasta yang akhirnya harus gulung tikar, karena dari segi pendanaan
mereka tidak mencukupi dan dari segi kepercayaan masyarakat, orang tua peserta
didik lebih merasa bergengsi jika anak-anak mereka disekolahkan di lembaga
pendidikan yang berstatus negeri. Bahkan bertahun-tahun sebelum reformasi,
yakni pada zaman orde baru, dengan ideologi developmentalismenya pemerintah
mengebiri aspirasi dan peran serta masyarakat dalam pendidikan. Karakter
pemerintah begitu otoriter dan menindas rakyat. Rakyat difungsikan hanya
sebatas obyek yang perlu “didik”, dimobilisir, didorong bahkan kalau perlu
ditekan demi lancarnya “pembangunan” ala pemerintahan orde baru yang
sesungguhnya tidak membuat rakyat sejahtera tapi malah membuat rakyat semakin
sengsara.[9]
5.
Ideologi
Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam secara normatif sarat dengan nilai-nilai
transendeltal ilahiah dan insaniah. Semua itu dapat di wadahi
dalam bingkai besar yang di sebut humanisme teosentris, yaitu sebuah
pemahaman pendidikan yang menjelaskan bahwa dalam kehidupan harus seimbang
antara beribadah kepada Allah tetapi juga harus memperhatikan kehidupan di dunia,
begitu juga dengan pendidikan Islam tidak membedakan antara pendidikan agama
dengan pendidikan lain.[10]
Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel
atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah,
memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.[11]
Sejak awal abad 20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep
kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada
manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan
keberadaannya sebagai makhluk mulia. Dalam hal ini ali syari’ati
mendeskripsikan ke dalam tujuh prinsip. Dasar kemanusiaan sebagai universal
yaitu:
a.
Manusia
adalah mahkluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri diantara
mahkluk-makhluk yang lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
b.
Manusia
adalah makhluk yang memilki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar
dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat illahiah
yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia.
c.
Manusia
adalah mahkluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia yang paling
menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan
kekuatan berfikir.
d.
Manusia
adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah mehkluk
hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun
peradaban.
e.
Manusia
adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya
mahkluk sempurna didepan alam dan dihadapan Tuhan.
f.
Manusia
mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal artinya dia
tidak menyerah dan menerima “apa yang ada” tetapi selalu berusaha mengubahnya
menjadi “ apa yang semestinya”.
g.
Manusia
adalah mahkluk moral yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme
yang diangkat menjadi paradigma ideologi Islam pada dasarnya juga bertolak dari
ketutuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implicit dalam konsep fitrah
manusia. Namun demikian, humanisme dalam padangan Islam tidak dapat dipisahkan
dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran
Islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai.namun perlu diperjelas, bahwa
semua itu kembali kepada manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam,
Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
6.
Sejarah
Perkembangan Politik Pendidikan Islam di Indonesia
a.
Pendidikan
Islam masa Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama
mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun
swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga
tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat
(BPKNP) pada tanggal 27 Desember 1945.[12]
Sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan agama maka pada
tanggal 3 Januari 1946 mulai diresmikan Kementerian Agama yang menangani urusan
keagamaan dan pendidikan agama, selain itu juga mengurusi bidang pendidikan
yang berhubungan dengan agama. Disamping itu, pemerintah juga mendirikan kementerian
pendidikan dan kebudayaan, sehingga menimbulkan pengelolaan pendidikan yang
dikotomis yang selanjutnya berdampak buruk terhadap nasib pendidikan agama
yaitu berupa adanya perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap
pemberian anggaran pendidikan agama, sumber daya manusia dan sarana prasarana.
Keadaan yang diskriminatif sebagai akibat dari kebijakan yang dikotomis ini
belum sepenuhnya dapat diatasi sampai saat ini.
Selain mendirikan departemen agama tersebut, pemerintah orde lama
juga telah merumuskan peraturan dan undang-undang terkait dengan pendidikan
agama. yaitu undang-undang nomor 12 tahun 1950. Pada Bab XII Pasal 20
undang-undang ini misalnya ditetapkanlah pelajaran agama di dalam
sekolah-sekolah negeri. Sampai di ini pemerintah orde lama juga telah menaruh
perhatian terhadap perkembangan dan pertumbuhan lembaga pendidikan islam
seperti madrasah dan pesantren.
b.
Pendidikan
Islam masa Orde Baru.
Pada dasarnya seluruh kebijakan yang lahir pada zaman orde baru,
termaasuk dalam bidang pendidikan, di arahkan pada upaya menopang pembangunan
dalam bidang ekonomi yang ditopang oleh stabilitas ekonomi dengan pendekatan
sentralistik, monoloyalitas, dan monopoli. Kebijakan dalam bidang politik
selanjutnya bisa di lihat sebagai berikut.
1)
Masuknya
pendidikan islam ke dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dimulai dengan
lahirnya Surat Keputusan Bersama Tiga Mentri (SKB 3 M), yaitu Mentri Pendidikan
Nasional, Mentri Agama, dan Menetri dalam Negeri. Di dalam SKB 3 Menteri
tersebut antara lain dinyatakan bahwa lulusan madrasah dapat melanjutkan ke
jenjang pendidikan umum dan sebaliknya, berhak mendapatkan bantuan, sarana
prasarana dan diakui ijazahnya.
2)
Pembaharuan
Madrasah dan pesantren, baik pada aspek fisik maupun non fisik. Pada aspek
fisik pembaharuan dilakukan pada peningkatan dan perlengkapan infrastruktur,
sarana prasarana, dan fasilitas, seperti buku, perpustakaan, dan peraltan
labolatorium. Adapun pada aspek nonfisik meliputi pembaharuan bidang
kelembagaan, menejemen pengelolaan, kurikulum, mutu sumber daya manusia, proses
belajar mengajar, jaringan Information Technology (IT), dan lain
sebagainya. Pembaharuan Madrasah dan pesantren ini ditujukan agar selain mutu
madrasah dan pesantren tidak kalah dengan mutu sekolah umum, juga agar para
lulusannya dapat memasuki dunia kerja yang lebih luas. Hal ini di anggap
penting, agar lulusan madrasah dan pesantren dapat memiliki berbagai peluang
untuk memasuki lapangan kerja yang lebih luas, dengan demikian umat islam tidak
hanya menjadi objek atau penonton pembangunan, melainkan dapat berperan sebagai
pelaku atau agen pembaharuan dan pembangunan dam segala bidang, dengan cara
demikian, umat islam dapat meningkatkan kesejahteraannya di bidang ekonomi dan
lain sebagainya.[13]
Pembaharuan pendidikan madrasah dan pesantren tersebut dibantu oleh pemerintah
melalui dana, baik yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara)
maupun dana yang berasal dari pinjaman luar negri, seperti dari Islamic
Development Bank (IDB) dan Asian Development Bank (ADB).
3)
Pemberdayaan
pendidikan islam nonformal. Pada zaman orde baru pertumbuhan dan perkembangan
pendidikan nonformal yang dilakasanakan atas inisiatif masyarakat mengalami
peningkatan yang amat signifikan. Pendidikan islam nonformal tersebut antara
lain dalam bentuk majelis taklim baik untuk kalangan masyarakat islam kelompok
masyarakat biasa, maupun bagi masyarakat menengah ke atas. Berbagai majelis
taklim baik yang diselenggarakan lembaga-lembaga kajian, maupun majelis taklim
mengalami perkembangan yang sangat pesat.
4)
Peningkatan
atmosfer dan suasana praktik sosial keagamaan. Dalam kaitan ini, pemerintah
orde baru telah mendukung lahirnya berbagai pranata ekonomi, sosial, budaya dan
kesenian islam. Lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Bank
Mu’amalat Indonesia (BMI), Harian Umum Republika, Undang-Undang
Peradilan Agama, Festifal Iqbal, Bayt Al-Qur’an, dan lainnya adalah
lahir pada zaman Orde Baru. Semua ini antara lain merupakan buah dari
keberhasilan pembaharuan pendidikan islam sebagaimana tersebut di atas.
Beberapa faktor pendukung kemajuan pendidikan islam antara lain: Pertama,
semakkin membaiknya hubungan dan kerjasama anntara umat islam dan pemerintah. Kedua,
Semakin membaiknya ekonomi nasional. Dan Ketiga, semakin stabil dan
amannya pemerintahan.
c.
Pendidikan
Islam Di Zaman Reformasi
Sejalan dengan berbagai kebijakan yang ada, telah menimbulkan
keadaan pendidikan islam yang secara umum keadaannya jauh lebih baik dari
keadaan pendidikan pada masa
pemerintahan orde baru. Keadaan pendidikan tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut:[14]
a)
Kebijakan
tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jika pada
Undang-Undang Nomor 2 Tahun1989, hanya menyebutkkan madrasah saja yang masuk ke
dalam sistem pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
yang masuk ke dalam sistem pendidikan nasional termasuk pesantren, ma’had Ali,
Roudlotul Athfal (taman kanak-kanak), dan majelis taklim. Dengan masuknya ke
dalam sistem pendidikan nasional ini maka selain eksistensi dan fungsi
pendidikan islam semakin diakui. Juga semakin menghilangkan kesan diskriminasi
dan dikotomi.
b)
Kebijakan
tentang peningkatan anggaran pendidikan islam. Kebijakan ini misalnya terlihat
pada di tetapkannya anggaran pendidikan sebanyak 20% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji guru dan dosen, biaya
operasional pendidikan, pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu,
pengadaan buku gratis, pengadaan infrastruktur, sarana prasarana, media
pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang
bernaung di bawah kementrian agama dan kementrian pendidikan nasional. APBN
Tahun 2010, misalnya menetapakan bahwa dana tersebut dialokasikan bagi
penyelenggara pendidikan yang dilaksanakan di berbagai provinsi yang jumlahnya
mencapai 60% dari total anggaran pendidikan dari APBN. Adapun sisanya, yakni
40%, diberikan kepada kementrian pendidikan naional, kementrian agama, serta
berbagai kementrian lainnya. Yang menyelenggarakan program pendidikan.
c)
Program
wajib belajar sembilan tahun, yakni bahwa setiap anak indonesia wajib memiliki
pendidikan minimal sampai dengan tamat sekolah lanjutan pertama, yakni SMP atau
Tsanawiyah. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang
belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan kementrian
pendidikan nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga
pendidikan yang berada di bawah naungan kementrian agama. dalam rangka
pelaksanaan wajib belajar ini, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan sekolah
gratis bagi anak-anak yang berasal dari keluaraga yang kurang mampu. Yakni
bahwa mereka tidak dipungut biaya oprasional pendidikan, karena kepada sekolah
yang yang menyalenggarakan pendidikan gratis tersebut telah diberikan biaya
bantuan oprasional sekolah yang selanjutnya dikenal dengan istilah BOS.
d)
Penyelenggaraan
sekolah bertaraf nasional (SBN), internasional (SBI), yaitu pendidikan yang
seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional.
Visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, sarana prasarana,
menejemen pengelolaan, evaluasi dan lainnya harus berstandar nasional dan
internasional.
e)
Kebijakan
sertifikasi guru dan dosen bagi semua guru dan dosen baik negeri maupun swasta,
baik guru umum maupun guru agama, baik guru yang berada dibawah Kementerian
Pendidikan Nasional maupun guru yang berada dibawah Kementerian Agama.
f)
Pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP/tahun 2006).
g)
Pengembangan
pendekatan pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada guru (teacher centris)
melalui kegiatan teaching, melainkan juga berpusat pada murid melalui
kegiatan learning (belajar) dan research (meneliti).
h)
Penerapan
manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang baik dan memuaskan
kepada para pelanggan
i)
Kebijakan
mengubah nomenklatur dan sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas
keagamaan.
B.
Paradigma Politik Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Paradigma Politik Pendidikan Islam
Paradigma secara etimologis berasal dari bahasa inggris Paradigm
yang berarti type of something, model, pattern (bentuk sesuatu, model,
pola). Menurut Plato kata pardigma adalah “a baste formencompasing your
entire desting” yang berarti sesuatu yang diciptakan untuk suatu sebab.
Sedangkan secara terminologi paradigma berarti a total view of problem; a
total outlook, not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara
pandang atau cara berpikir tentang sesuatu. Paradigma atau kerangka berfikir,
disebut juga mainstream, adalah bagian dari sistem berfikir yang sangat penting
dalam dunia pendidikan. Dengan paradigma diharapkan dapat tercipta sistem dan
pola fikir yang lebih mendekati ke pola yang diharapkan atau di idealkan.[15] Pengertian paradigma yang ada dalam kamus
filsafat diantaranya sebagai berikut:
a.
Cari
memandang sesuatu.
b.
Dalam
ilmu pengetahun diartikan sebagai model, pola, ideal.
c.
Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis
yang menentukan atau mendefinisikan studi ilmiah kongkret.
d.
Dasar
untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.
Dengan
demikian, paradigma digunakan pada konteks perilaku seseorang dalam proses
pembelajaran dan pendidikan,[16]
yang menjelaskan makna paradigma dengan menggunakan metafora bangunan dan
kacamata, bahwa paradigma merupakan sebuah fondasi bangunan. Besar tingginya
bangunan ditentukan oleh seberapa kuat dan lebar fondasinya. Perilaku adalah
bangunan yang nampak oleh mata fisik, paradigma maupun sikap keduanya
tersembunyi, dan perilakulah yang terbaca oleh orang lain.Sedangkan paradigma
sebagai kacamata dapat melihat dunia sekitar.Dengan demikian, paradigma
bukanlah sikap atau sebaliknya. Sikap adalah lensa kacamata yang mungkin kabur,
kotor dan tidak sesuai lagi.Sikap ini terperangkap dalam sebuah bingkai yaitu
paradigma.Sikap ini bisa saja positif maupun negatif.[17]
Tampak
jelas betapa implikasi paradigma dalam jaringan kehidupan manusia hampir tidak
ada satupun aspek dalam kehidupan manusia yang tidak bisa dijalankan melalui
paradigma. Begitu pula yang terjadi dalm sistem pendidikan secara fungsional
merupakan refleksi dari cara pandang tertentu tentang sesuatu dalam semesta
kehidupan manusia.
Bertolak
dari asumsi bahwa life is education and education is life dalam artian
pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan, dan seluruh proses hidup
dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada
dasarnya hendaknya mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan
tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.[18]
2.
Macam-macam
Paradigma Pendidikan
Paradigma
selalu mengalami anomali adalah benar adanya. Hal tersebut tercermin dalam
perkembangan paradigma pendidikan nasional sampai detik ini. Romo Wahono
memaparkan, bahwa kesalahan pendidikan kita utamanya terletak pada kesalahan
paradigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakan warisan kolonial belanda.
Dimasa orde baru, kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya pada ide
kapitalisme liberal. Kemudian, dengan sentuhan fasisme kolonial jepang, sistem
pendidikan menjadi beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, paradigma
liberalis-feodalis ini dipayungi oleh paradigma kompetisi yang diajarkan oleh
globalisasi. Paling tidak berikut akan dipaparkan secara singkat anomali
paradigma pendidikan nasional dari tinjauan historis-sosiologisnya.
a. Paradigma
sentralistik
Paradigma
ini dilaksanakan dengan ketat pada masa orde baru. Semua serba tersentral dan
terstandarisasi. Intervensi yang berlebihan dari pemerintahan orde baru
terhadap dunia pendidikan malah semakin mematikan peran masyarakat serta
menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana bagi penanaman ideologi penguasa
untuk melanggengkan status quo.
b. Paradigma
intelektualis
Dimana
pendidikan lebih menekankan pada aspek kognitif tanpa begitu memperhatikan
aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan adalah bagaimana siswa
mampu menjawab soal-soal buatan yang jauh terlepas dari realitas kehidupan
sehari-hari mereka. Pendidikan adalah mampu menjawab soal-soal matematika
dengan rumus-rumus yang harus dihafal diluar kepala. Standarisasi kelulusan
diukur dengan seberapa besar nilai dari jawaban atas soal-soal ilmu
pengetahuan. Sehingga anak didik menjadi robot ilmu pengetahuan tanpa memiliki
perasaan dan kebebasan dalam mengeksplorasi bakat dan kompetensi dasar mereka
sebagai manusia yang pada hakikatnya berbeda-beda.
c. Paradigma
kompetitif
Pendidikan
sudah kehilangan esensinya sebagai lahan untuk mendidik. Lembaga pendidikan
mengajarkan kepada peserta didik bahwa hidup adalah kompetisi. Barang siapa
yang unggul dia akan bisa menjadi orang yang berada diatas melebihi orang lain.
Kompetisi harus dimenangkan, tak peduli dengan berbagai cara apapun tanpa
mempertimbangkan moralitas. Sehingga banyak peserta didik tidak memiliki
moralitas dan kering hati nuraninya. Implikasinya, mereka menjadi kompetitor
yang menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang paling berkuasa melebihi
orang lain. Inilah mungkin yang menyebabkan dan melahirkan budaya KKN
dikalangan kaum elite dalam pemerintahan. Mereka adalah output nyata dari pendidikan
berparadigma kompetitif.
Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan
mempunyai visi berbeda-beda, perbedaan tersebut tidak bisa lepas dari sistem
politik dan watak sosio-kultural yang mengitarinya. Kemudian setidaknya Muhaimin memetakan setidak-tidaknya telah
muncul beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut:
a.
Paradigma
Formisme
Paradigma
formisme menekankan bahwa aspek kehidupan dipandang dengan sangat sederhana,
dan kata kuncinya adalah dikotomi.[19]
Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki
dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, Madrasah dan
Non-Madrasah, pendidikan agama dan pendidikan umum.[20]
Pandangan dikotomis
inilah yang menyebabkan terjadinya dualisme dalam pendidikan, sehingga
muncullah istilah ilmu agama dan ilmu umum. Paradigma
Formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih
berorientasi pada keakhiratan sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting,
serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan),
sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.
Keterpisahan secara
diametral antara keduanya berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan
bertentangan dengan amanat UU pasal 1 No 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik memiliki moral dan spiritual keagamaan serta memiliki pengetahuan yang
komprehensif yang berguna bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
disebutkan pula dalam pasal diatas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama
dan kebudayaan nasional serta tanggap terhadap kemajuan teknologi dan
perkembangan zaman. [21]
b.
Paradigma
Mekanisme
Paradigma
mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan
dipandang sebagai penamaan dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang
masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Aspek-aspek atau
nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu,
nilai sosial, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai estetik,
nilai biofisik, dan lain-lain.Dengan demikian, aspek atau nilai agama dengan
nilai-nilai kehidupan lainnya.[22]
Paradigma
mekanisme nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang
bukan berciri khas agama Islam. Selama ini kebijakan
yang diberikan hanya terkait masalah kurikulum, profesinalitas guru dalam
memberikan materi pengajaran sesuai dengan silabus yang dipatok oleh
pemerintah. Bahwa materi dipisah-pisah secara parsial dan pembagian waktu jam
pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan aspek afektif dan psikomotorik
siswa. Hal ini dapat dicontohkan seperangkat
mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata
pelajaran atau mata pelajaran pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam
pelajaran perminggu atau 2 SKS, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum,
yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang religius. Paradigma
mekanistik prosedural ini memandang bahwa sekolah adalah tempat proses produksi
dijalankan, dimana siswa diberlakukan sebagai raw input.
c.
Paradigma
Organisme
Pengertian
paradigma organisme yaitu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan Islam adalah
kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit)
yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup Islam, yang
dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang Islami.[23]
Melalui
upaya semacam itu maka, sistem pendidikan Islam diharapkan dapat
mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik,
serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki kematangan profesional, dan sekaligus hidup di dalam
nilai-nilai agama.
Dari
uraian diatas dapat ditegasakan bahwa upaya memotret paradigma pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia memang amat diperlukan untuk mempertajam
pemahaman kita akan keunikan realitas pendidikan Islam yang sedang tumbuh dan
berkembang di Indonesia, kendatipun hal itu bukan pekerjaan yang sederhana dan
bahkan akan menimbulkan kontroversi.
3. Alternatif
Paradigma Baru Pendidikan Nasional Islam
Para pemikir dan
pemerhati pendidikan mencoba untuk memberikan sumbangsih pemikiran mereka dalam
menawarkan alternatif paradigma baru pendidikan yang semestinya dilakukan/diterapkan
bagi masyarakat Indonesia. Khusunya paradigma pendidikan Islam. Diantara sekian
banyak tawaran alternatif paradigma baru pendidikan diantaranya adalah:
a.
Paradigma baru
reformasi pendidikan
Sejalan dengan usulan
Pestalozzi, tokoh sejarah pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim
piatu, yang sesuai dengan konsep filsafat pendidikan Indonesia bahwa pendidikan
ialah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan
ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau intelektual belaka, tapi
kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia dalam berbagai
bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai kehidupan
ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas, kehidupan politik
bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Paradigma reformasi pendidikan berurusan
langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Sesuai dengan
filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang
seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu
reformasi dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika
reformasi ditujukan untuk spiritualitas manusia.
Spiritualitas adalah
unsur fundamental manusia. Di abad mutakhir ini telah muncul kekhawatiran yang
amat serius tentang semakin menipisnya rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat
religius dalam segala aktivitas kehidupan manusia. Konsep pendidikan yang lebih
humanistik, yang memandang seluruh potensi (fitrah) manusia secara komprehensif
dalam upayanya menyerap seluruh wawasan keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya.
Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan proses kehidupan yang terencana
terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan sebagai the great
educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci.
b.
Paradigma
integratif-interkonektif atau paradigma pendidikan holistik-dialogis
Paradigma ini merupakan
alternatif dari anomali paradigma sebelumnya, yakni paradigma dikotomis
(formisme). Dimana dalam paradigma formisme, pengembangan ilmu baik itu ilmu
agamis-spiritualis ataupun ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasanya
sendiri-sendiri dan tidak ada komunikasi yang harmonis dan dinamis diantara
keduanya. Keilmuan apapun tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan
tertentu mengklaim dapat berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan
persoalannya sendiri, tidak memerlukan bantuan dan sumbangan dari ilmu lain;
maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan berubah menjadi
narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikuralitas disiplin
keilmuan. Kerjasama, tegur sapa, saling koreksi dan saling keterhubungan antar
disiplin ilmu akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan
yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Secara
epistemologis, paradigma ini merupakan respon terhadap kesulitan-kesulitan yang
dirasakan selama ini, yang diwariskan selama berabad-abad tentang adanya
dikotomi pendidikan umum dan agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa
perlu adanya saling tegur sapa. Secara aksiologis paradigma ini hendak
menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuwan yang
bermoral, yang lebih terbuka, mampu berdialog dan bekerjasama.[24]
c.
Paradigma
pendidikan demokratis
Pendidikan haruslah
memberikan jawaban kepada kebutuhan (needs) masyarakat itu sendiri. Demokrasi
pendidikan berarti pendidikan dari, untuk dan oleh rakyat. Pendidikan muncul
dan berkembang dari masyarakat, bukan sebagai proyek apalagi perintah dari
penguasa yang seringkali sarat dengan kepentingan tertentu. Pendidikan tumbuh
dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Dan
masyarakat bukanlah obyek pendidikan, tetapi partisipan aktif yang mempunyai
peran dalam setiap dinamika pendidikan. Pendidikan demokratis adalah pendidikan
yang mengakui hak untuk berbeda ( right to be different). Pendidikan tidak
boleh otoriter dan mengandung unsur-unsur doktrinisasi. Proses pendidikan yang
otoriter dan doktrinatif hanya akan melahirkan manusia-manusia yang bisu yang
takut mengajukan pilihan. Pendidikan demokratis berati pendidikan yang
mengembangkan nilai-nilai kebudayaan lokal dalam kerangka kebudayaan nasional
secara komprehensif. Sehingga pendidikan mampu menunjukkan identitas bangsa
Indonesia yang majemuk tetapi tetap dalam satu kesatuan; Bhineka Tunggal Ika.
d.
Paradigma
pendidikan humanis
Pendidikan adalah
proses memanusiakan manusia. Menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk
hidup, tetapi lebih dari itu menjadi manusia berarti memiliki tanggung jawab
terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun karakter kemanusiaan
dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia lain, yang
tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan
yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem
pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai
dan aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem
pendidikan yang menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit”
(paradigma pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa
ciri, yaitu: memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik.
Tidak memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan
sebagai bahan mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat
tertentu. Pendidikan adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang
sama).
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pemaparan makalah ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa Ideologi Ideologi
diartikan sebuah sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau
kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan mengenai
karakteristik-karakteristik umum tentang alam dan masyarakat, serta keterkaitan
antar hakikat dunia dengan hakikat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku
lainnya yang bersifat evaluatif dan imperaatif. Macam-macam Ideologi dalam
dunia Pendidikan: Ideologi fundamentalisme, Ideologi
intelektualisme, Ideologi konservatisme, Ideologi liberalisme , Ideologi
anarkhisme, Ideologi kritis-radikal.
Di Indonesia Pancasila sebagai Ideologi Negara, dalam hal ini pemerintah dalam
setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan. Segala bentuk
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada Pancasila
serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung
didalamnya.
Sedangkan
Paradigma atau kerangka berfikir, disebut juga mainstream, adalah bagian dari
sistem berfikir yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan paradigma
diharapkan dapat tercipta sistem dan pola fikir yang lebih mendekati ke pola
yang diharapkan atau di idealkan. Macam-macam paradigma dalam dunia pendidikan:
Paradigma
sentralistik, Paradigma intelektualis, Paradigma kompetitif. Sedangkan Secara historis-sosiologis, setidaknya telah muncul
beberapa paradigma pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut: paradigma
Formisme, paradigma mekanisme, dan paradigma organisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 2010. Islamic Studies di Perguruan Tinggi;
Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II. Yogyakarta: Pustaka pelajar
Achmadi. 2005. Ideologi Pendidikan Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Amnur, Ali Muhdi. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional,
Yoyakarta; Pustaka Fahima.
Beni Ahmad Saebani, Hendra Akhdiyat, 2009. Ilmu
Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka
Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia,
Bandung :Pustaka setia
Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan Islam (Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah), Bandung: Rosda
Nata, Abuddin M.A. 2011. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana
O’Neil, William F. 2001. Ideologi-ideologi
pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Priatna,
Tedi, 2004. Reaktualisasi Paradigma Pendidikan, Bandung: Pustaka Bani
Quraisy
Rohman, Arif. 2000. Politik ideology
pendidikan. Yogyakarta: LaksBang
Setia
http://
makalah.blogspot.com/2010/07/ideologi-pendidikan-Islam.html, diakses pada tanggal 30
September 2014.
http://dianozkysmirnoff.wordpress.com/2008/10/16/paradigma-liberal/.Di akses pada tanggal 30 September 2014
http://diknas.purbalinggakab.go.id/?page_id=212, diakses pada tanggal 30 September 2014.
http://dunia-belajar-ilmu-pengetahuan.blogspot.com/2012/10/paradigma-pendidikan.html. Diakses pada tanggal 30
September 2014.
http://lihatfoto.pun.bz/pengertian-ideologi-fungsi-dan-lainnya-d.xhtml, diakses pada tanggal 30
September 2014.
http://siswantomasruri.wordpress.com/paradigma-liberal-unggul-dan-sejahtera-dalam-bingkai-pendidikan-global/2010/. di akses pada tanggal 30
September 2014.
[1]http://dunia-belajar-ilmu-pengetahuan.blogspot.com/2012/10/paradigma-pendidikan.html. Diakses pada
tanggal 30 September 2014.
[2] William F.
O’Neil, Ideologi-ideologi pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), Hlm. 32.
[3]Arif
Rohman, Politik ideology pendidikan,
(Yogyakarta: LaksBang, 2000). Hlm. 70-71.
[4]http://lihatfoto.pun.bz/pengertian-ideologi-fungsi-dan-lainnya-d.xhtml, diakses pada
tanggal 30 September 2014.
[5]Beni Ahmad Saebani, Ilmu
Pendidikan,……………..hlm 36.
[6]http://dianozkysmirnoff.wordpress.com/2008/10/16/paradigma-liberal/.Di akses pada tanggal 30 September
2014
[7]Siswanto masruri,http://siswantomasruri.wordpress.com/paradigma-liberal-unggul-dan-sejahtera-dalam-bingkai-pendidikan-global/2010/. di akses pada tanggal 30 September
2014.
[8]Ali Muhdi Amnur, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional,
Yoyakarta; Pustaka Fahima. 2007), hlm. 54
[10] Achmadi, “Ideologi
Pendidikan Islam”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 23
[11]http://
makalah.blogspot.com/2010/07/ideologi-pendidikan-Islam.html, diakses pada
tanggal 30 September 2014.
[12] Dra. Hj. Enung
K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia, (Bandung :Pustaka
setia), Hlm : 65
[13] Prof. Dr. H.
Abuddin Nata, M.A. Sejarah Pendidikan
Islam, (Jakarta: Kencana, 2011). Hlm.335
[14] Ibid., Hlm.352-359
[18] Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam Di Sekolah),
(Bandung: Rosda, 2008), hlm. 39.
[19]kata
'dikotomi'
di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembagian atas dua kelompok yg
saling bertentangan.
[20] Muhaimin, Paradigma
Pendidikan Islam……………………. Hlm. 39.
[24] Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan
Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif. Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2010), hlm. 5
